" Omong kosong, tutup mulutmu kau tahu sendiri pernikahan ini hanya berdasarkan perjodohan dan paksaan dari ayah kita masing-masing!"
" Mereka sudah melakukan perjanjian darah sebelumnya agar kita berdua dapat menikah, atau bisnis gelap ayahmu akan hancur lebur kalau tidak ditolong oleh keluargaku"
" Sebenarnya aku hanya meminta imbalan sederhana yaitu mengandung lah anakku"
Wajah Shania seketika menggelap lalu menancapkan kuku tangannya di paha hingga berdarah.
" Terserah apa katamu sampai kapanpun aku nggak sudi hamil anak darimu!"
" Kalian telah membunuh Ferdy aku bahkan keguguran serta kehilangan bayiku karena peristiwa itu" ujar Shania terengah.
Evan menarik nafas dalam serta menyipitkan matanya.
" Kau lah yang terlebih dahulu mengkhianati aku Shania, kita sudah sepakat akan menuruti permintaan orang tua kita, tapi kau malah lebih memilih kabur dengan pacar sialan mu itu, apa tidak memikirkan perasaanku yang sudah mencintaimu!"sentak Evan disertai raut muka dingin nan kelam.
Shania melengos dia memang sudah punya kekasih saat sang ayah memaksa untuk menikah dengan Evan.
Akhirnya pada saat dua hari lagi Evan dan dirinya akan resmi menikah, dia memutuskan kabur bersama sang kekasih.
Shania termangu sesaat dan bermonolog di hatinya.
" Kau memang bodoh Evan, aku sengaja mendatangi dokter kandungan dan menutup rahimku agar benihmu itu tak bisa berkembang, hal itu semata untuk menghukum mu" gumamnya di hati.
Shania akhirnya menolehkan wajah manisnya pada Ray,
" Jadi mau sampai kapan kita akan berdebat seperti ini Tuan Alywar?!"
Evan memutar bola matanya seraya menyeringai kejam.
" Kakekku sudah memberi ultimatum bila selama tujuh tahun kau belum juga hamil, maka aku harus menikahi wanita lain dan membuatnya mengandung anakku" jawab Evan datar.
" Aku harus segera memiliki penerus kalau tidak maka Aaron lah yang akan menggantikan aku sebagai penerus kerajaan bisnis keluarga Miller" pungkas Evan dingin.
Aaron adalah anak dari pamannya, saudara sepupu Evan.
Shania Febiola istri dari pria matang dengan ketampanan bak dewa itu tercekat sesaat, tapi sejurus kemudian dia tersenyum miring.
" Lakukan apa saja yang kau mau, aku tidak akan melarangnya" ujarnya terkekeh.
Evan tersenyum tipis dia bangkit dari duduknya dan menghampiri Shania yang menatapnya lekat.
" Baguslah kalau kau paham, tapi sekarang aku ingin dirimu, lakukan kewajibanmu dan ikut aku ke kamar" ucap Evan dengan aura intimidasi yang tak bisa ditolak, sambil berdiri tepat di depan istrinya dan mencekal lengan Raquel.
" Aku sedang tidak mau!"
" Kau tidak punya hak untuk menolak!"
***
Satu bulan kemudian
Di lain tempat di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, itu adalah tempat tinggal Henry dan putrinya yang bernama Rossie.
Rossie adalah seorang gadis berusia di awal dua puluh tahun, berparas sangat cantik dengan pahatan garis wajah yang sempurna ditambah proporsi badan yang ideal, disempurnakan oleh rambut hitam panjang berkilau.
Sedangkan Henry adalah petugas pengurus kuda-kuda di ranch milik Evan yang berada tak jauh dari kediaman rumah Evan sang miliarder.
Selama dua minggu ini Evan sakit sehingga Rossie lah sebagai anak gadisnya yang menggantikan tugas sang ayah.
Sesudah makan malam Henry duduk dengan tenang mendadak pria paruh baya itu memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.
" Ahh.. sakit sekali"
" Brakk ..
Henry hendak berdiri tapi malah terjatuh dari kursinya.
" Ayah..!"
Rossie berlari memburu ayahnya lantas membantu berdiri.
" Ayah kenapa?"
" Dada ini terasa sakit" jawab Henry terengah dan keringat dingin membasahi wajahnya.
" Tokk..Tokk "
Suara keras di pintu masuk terdengar membuat Rossie kaget, gadis cantik ini lekas membukakan pintu.
Rossie mengernyit saat melihat dua orang petugas berseragam polisi memperlihatkan lencananya dan berkata tegas.
"Selamat malam, kami datang hendak membawa saudara Henry Davis sebagai tersangka pembunuhan!"
Lalu keduanya meringsek masuk dan berjalan menghampiri Henry yang sedang terkulai lemas.
"Hah..apa?!" Rossie spontan membelalakkan matanya.
"Tu.. tunggu apa yang terjadi ?!"
Rossie menjerit histeris saat kedua lengan ayahnya diborgol dan dibawa paksa oleh mereka.
"Pak polisi tolong jangan bawa ayah saya, dia sedang sakit, tak mungkin ayahku seorang pembunuh, itu sangat mustahil kalian pasti salah orang!"pekik Rossie bersikeras sambil menarik baju salah satu polisi.
"Maaf nona kami memiliki bukti yang memberatkan saudara tersangka, jadi tolong jangan halangi tugas kami"
Akhirnya Rossie hanya bisa melihat dengan mata berkaca-kaca saat ayahnya digiring paksa dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.
"Ayah aku akan menemanimu ke kantor polisi" ujarnya seraya mengambil sepeda motor di halaman rumah lantas mulai mengikuti kendaraan yang membawa ayahnya.
Evan sedang duduk di sofa besar sambil menyilangkan satu kakinya, asap mengepul dari benda yang terhimpit diantara kedua bibirnya.
Evan adalah seorang pria yang tampan dengan rambut hitam dan rahang tegas auranya sangat dominan.
Tak lama terdengar suara langkah assisten nya mendekat.
"Tuan Evan, semua sudah berjalan sesuai rencana anda, sekarang gadis itu dan ayahnya sudah berada di kantor polisi.
Evan menatap datar pada Joel assisten kepercayaannya, tak lama mengulas senyum tipis dibibir.
"Hmm...sudah kubilang Rossie , kau takkan lepas dariku!"
" Ayo kita berangkat ke kantor polisi dan menemui calon pengantinku, apa kau sudah membawa surat perjanjian nya " tandas Evan sambil berdiri dan mengenakan jasnya yang tersampir di pinggiran sofa.
" Sudah saya siapkan tuan, anda tak perlu khawatir" sahut Joel sigap.
Rossie masih berada di kantor polisi sambil menunggui ayahnya di luar sel, gadis cantik itu sangat cemas karena ayahnya tampak gelisah dan sesekali mengaduh kesakitan sambil memegangi bagian dadanya.
"Ayah bertahanlah, aku akan coba bicara lagi dengan polisi-polisi kejam itu, mereka sangat tidak manusiawi"
Rossie sangat emosi karena tidak ada seorangpun yang tampak perduli pada sang ayah.
TAP TAP..
Suara langkah kaki tegas yang ditimbulkan oleh sepatu mahal menyeruak di telinga Bunga, sontak dia mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk karena gundah gulana.
"Kamu yang bernama Rossie?!"
"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu" suara berat itu mengejutkan Rossie.
Evan sedang berdiri tegak di depan Rossie lantas dia berkata sambil melipat kedua tangannya.
"A-anda.. bukankah anda tu-tuan Evan?!" Rossie terhenyak sambil berkata gugup.
Mengangguk Evan menjawab dingin.
"Iya "
Rossie serta merta langsung menjatuhkan dirinya di hadapan pria bertubuh tinggi itu.
"Tuan Evan tolong... tolonglah ayahku dia sedang sakit tapi sekarang dia dituduh atas kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukannya!"
"Tolong bebaskan ayahku" pinta Rosie memelas.
Evan menatap sang gadis cantik beberapa saat lamanya dengan seringai misterius.
"Berdirilah dan ayo duduk disana!"
Rossie dapat merasakan aura tegas yang tak dapat dibantah dari lelaki didepannya.
Setelah mereka duduk berhadapan, Evan mulai memulai membuka percakapan.
"Dengarkan baik-baik Rossie, aku akan menolong mengeluarkan ayahmu dari kurungan sel penjara itu juga mengobati penyakitnya dengan perawatan terbaik, tetapi ada syaratnya"
Evan menghentikan ucapannya lalu menghembus panjang.
"Apa syaratnya tuan, katakanlah saja ...ayah saya harus segera diobati karena punya penyakit jantung, hanya dia satu-satunya yang ku punya di dunia ini"tanya Rossie disertai isak tangis perlahan muncul dari bibir ranum.
"Syaratnya mudah saja, kau harus menikah denganku dan mengandung anak untukku!"
Evan berkata dengan netranya yang tak lepas memindai keseluruhan tubuh Bunga.
***