"Dua puluh lima ribu..." gumamnya, suaranya nyaris hilang ditelan bising kendaraan yang mulai ramai di depan gang. "Dua puluh lima ribu untuk enam orang. Hari ini masak apa lagi, ya Allah?"
Pikiran Lia langsung berputar liar. Otaknya sudah terlalu lelah melakukan simulasi ekonomi mikro setiap pagi. Jika dia beli ayam seperempat, harganya sudah pasti melampaui separuh jatah. Itu baru lauk. Belum sayur, bumbu, apalagi tempe yang merupakan penyelamat umat berbudget cekak.
Kemarin, Lia mencoba memberanikan diri. Karena ia tahu suaminya, Dion, dan terutama ibu mertuanya, paling sensitif kalau urusan perut. Kemarin, ia hanya mampu membeli ikan asin yang paling murah, plus satu ikat kangkung. Ia pikir, sudahlah, dimasak sambal pedas pasti tertolong.
Ternyata tidak.
Begitu makan malam disajikan, suasana ruang makan yang biasanya sudah tegang menjadi semakin mencekam. Ayah mertua memang diam, fokus pada nasi. Tapi Ibu Mertua, Mami Sandra, langsung menyodok piring Lia dengan pandangan tajamnya.
"Lia, ini apa?" tanya Mami Sandra, nadanya sudah seperti pisau dapur yang diasah.
Lia, yang selalu berusaha tenang di bawah tekanan, menelan ludah. "Ikan asin jambal roti, Mi. Digoreng kering, sama sambal terasi..."
"Jambal roti?" Mami Sandra tertawa kecil, tawa yang menusuk gendang telinga. "Saya kira ini sampah dapur. Bau. Mana cukup buat enam orang, hah? Kamu kasih suami saya, anak saya, makan ginian? Mau jadi apa anak saya kalau tiap hari kamu kasih makanan murahan begini?"
Dion, yang duduk di sampingnya, seharusnya membela. Seharusnya dia bilang, "Kan ini uang dari aku, Ma." Tapi Dion? Pria itu hanya sibuk mengaduk nasinya, pura-pura fokus pada remah-remah di piring, seolah telinganya budek mendadak. Sikap Dion itu yang paling melukai Lia. Bukan kritikan mertua, tapi pengkhianatan diam-diam dari suaminya sendiri.
"Ini semua karena kamu tidak becus mengelola uang, Lia," lanjut Mami Sandra, nadanya semakin tinggi. "Dion sudah kasih kamu jatah, ya. Kenapa kamu tidak bisa pintar-pintar membelikan bahan yang lebih baik? Kamu ini ibu rumah tangga macam apa? Pemalas!"
Air mata Lia sudah tertahan di ujung pelupuk mata. Kata 'pemalas' itu sungguh menyakitkan. Demi dua puluh lima ribu itu, Lia sudah bangun jam empat pagi, jalan kaki jauh ke pasar tradisional, membandingkan harga tiap sayuran, menawar sampai urat lehernya terasa mau putus, dan kembali ke rumah sebelum subuh untuk memasak. Semua itu dia lakukan sendirian, tanpa bantuan. Dan balasannya? Disebut pemalas.
Pria yang Lia nikahi, Dion, adalah akar dari segala masalah ini. Bukan, bukan karena Dion tidak punya uang. Dion bekerja di perusahaan lumayan, dan gajinya sebenarnya cukup untuk hidup layak, jauh dari kata pas-pasan. Tapi Dion punya filosofi hidup yang aneh: dia sangat pelit, tidak hanya pada Lia, tapi pada dirinya sendiri. Dia selalu percaya, menyimpan uang adalah segalanya. Namun, kekikiran Dion ini hanya berlaku pada pengeluaran rumah tangga yang dikelola Lia. Untuk urusan pribadinya? Beda cerita.
Lia ingat pernah sekali ia memberanikan diri protes.
"Mas, masa sih nggak bisa dinaikin dikit jatahnya? Tiga puluh ribu aja deh, Mas. Biar aku bisa beli protein yang layak buat anak-anak."
Dion, yang saat itu sibuk melihat layar ponselnya, menjawab tanpa menoleh. "Nggak bisa. Dua puluh lima ribu itu sudah standar. Itu sudah cukup kalau kamu pintar. Istriku dulu juga bisa tuh, masak enak dengan uang segitu."
Istriku dulu. Kata-kata itu selalu sukses membuat hati Lia mencelos. Dion tidak pernah berhenti membandingkannya dengan 'mantan istri' (sebenarnya mantan pacar paling serius, bukan istri sah) yang selalu dianggapnya sempurna.
"Kamu itu harusnya kayak Sarah. Dia pintar masak, pintar hemat, pintar dandan. Coba kamu lihat dia di Instagram, penampilannya selalu rapi," ucap Dion, lagi-lagi membuat Lia merasa dirinya hanya seonggok kegagalan.
Lia menarik napas dalam-dalam. Dua puluh lima ribu hari ini. Harus bagaimana?
Ia memutuskan untuk pergi ke warung sayur di ujung gang saja. Warung itu menjual eceran, lebih mahal sedikit memang, tapi menghemat ongkos jalan kaki ke pasar yang lumayan jauh. Ia tidak punya waktu. Dia harus segera memasak sebelum jam sarapan keluarga mertua.
Di warung itu, mata Lia tertumbuk pada sekumpulan ikan teri yang kecil-kecil, harganya Rp 7.000 per ons. Mahal. Tapi kalau digoreng kering dan dijadikan pelengkap, lumayan. Lalu, ia melihat bayam yang tampak segar, satu ikat Rp 3.000. Dan... penyelamat sejati: tahu putih. Dua buah tahu besar hanya Rp 5.000. Total sementara: Rp 15.000.
"Masih sisa sepuluh ribu..." pikir Lia.
Ia membeli telur. Satu butir telur, harganya Rp 2.500. Sisanya ia gunakan untuk membeli sedikit bawang, cabai, dan minyak eceran. Total pengeluaran hari ini adalah Rp 24.500. Sisa Rp 500. Fiuuh, misi harian selesai.
Lia bergegas pulang. Pagi ini menu wajibnya: Sayur bayam bening, tahu goreng, dan ikan teri sambal. Standar aman, setidaknya tidak akan membuat Mami Sandra muntab karena bau.
Saat ia sedang mengulek sambal terasi di dapur, ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi, notifikasi WhatsApp masuk bertubi-tubi dari grup pertemanan lamanya. Lia mengusap tangannya yang belepotan terasi dan membuka ponsel.
Itu dari Rani, sahabatnya. Rani baru saja membagikan screenshot dirinya mendapatkan pembayaran dari sebuah aplikasi menulis.
"Gila, gue cuma nulis review resep doang, semalem langsung dibayar Rp 300 ribu, guys! Mana cepet banget transfernya!" tulis Rani di grup.
Lia berhenti mengulek. Tangannya beku di udara. Tiga ratus ribu? Dia mendapatkan Rp 25.000 untuk sehari penuh mengurus enam orang dan menahan cacian. Rani mendapatkan tiga ratus ribu hanya untuk menulis review resep.
Ia segera menghubungi Rani secara pribadi. Lia bertanya detail tentang aplikasi itu. Rani menjelaskan, itu adalah platform freelance yang mencari penulis konten ringan, mulai dari review produk, cerita pendek, sampai pengalaman sehari-hari. Bayarannya memang kecil untuk setiap tulisan, tapi kalau dikumpulkan dan dilakukan secara rutin, lumayan.
Saat itu, sebuah ide jahat nan manis langsung merambat di benak Lia.
Ia harus punya uang sendiri. Titik.
Ia sudah terlalu lelah bergantung pada belas kasihan Dion yang pelitnya minta ampun. Jika ia punya uang sendiri, ia tidak perlu lagi menawar mati-matian hanya untuk sebongkah tempe. Jika ia punya uang sendiri, ia bisa memberi makan anak-anaknya sesuatu yang lebih bergizi tanpa harus mendengar sindiran mertua.
Malam itu, setelah semua anggota keluarga tidur pulas, Lia mulai beraksi.
Ia menginstal aplikasi yang Rani rekomendasikan. Ia mulai membaca semua tutorial. Lia memang punya bakat menulis yang terpendam, selalu suka merangkai kata. Ia mencoba menulis satu kisah fiksi pendek tentang seorang ibu rumah tangga yang super hemat. Tentu saja, ia tidak jujur menceritakan detail Rp 25.000 itu. Ia memodifikasi ceritanya agar terdengar menghibur dan inspiratif.
Jantung Lia berdebar kencang saat ia menekan tombol submit. Rasanya seperti sedang melakukan kejahatan besar.
Beberapa jam kemudian, ponselnya berbunyi pelan. Notifikasi transfer.
Matanya terbelalak. Rp 85.000 sudah masuk ke rekening pribadinya. Uang yang Lia buat sendiri, dalam waktu semalam, tanpa meminta-minta, tanpa harus dicaci maki.
Rp 85.000. Itu hampir empat kali lipat jatah harian yang diberikan Dion.
Saat Lia menatap layar ponselnya, senyum pertama yang tulus dan penuh kemenangan muncul di wajahnya setelah sekian lama. Rasanya, uang itu bukan hanya nominal, tapi simbol kemerdekaan kecil yang ia dapatkan.
Keesokan harinya, Lia tetap memasak dengan budget Rp 25.000 dari Dion. Sayur bayam, tahu, teri. Tapi di dalam hatinya, ia sudah memiliki rahasia manis. Rahasia yang memberinya kekuatan.
Saat malam tiba, dan Lia kembali menyentuh ponselnya untuk menulis, ia tidak lagi merasa bersalah. Yang ia rasakan hanyalah tekad. Tekad untuk mengumpulkan cuan itu sebanyak mungkin, demi dirinya dan anak-anaknya. Ia tahu, kejujuran saat ini harus ia simpan rapat-rapat, dikunci di dalam brankas hati. Keluarga suaminya? Mereka tidak berhak tahu. Keluarga yang pelit dan selalu mencaci maki usahanya hanya pantas menerima kebohongan yang ia ciptakan.
Lia mulai merencanakan hidupnya di dalam kepala. Dengan uang ini, ia bisa menabung. Ia bisa membeli baju yang bagus untuk anak-anaknya tanpa harus berdalih itu hadiah dari teman. Ia bahkan bisa mentraktir dirinya sendiri secangkir kopi mahal yang selalu diimpikannya.
Saat itu, Lia belum tahu, bahwa rahasia finansial ini hanyalah awal dari drama besar yang akan datang, drama yang melibatkan perselingkuhan suaminya dan fitnah keji yang akan menghancurkan segalanya. Yang Lia tahu saat ini, ia sudah punya senjata rahasia. Dan ia tidak akan pernah mau hidup di bawah kekangan dua puluh lima ribu rupiah lagi.
Apakah Lia akan menggunakan uang rahasianya untuk balas dendam atau murni untuk kemandirian finansial? Kita lanjutkan ke bab berikutnya, ya!