Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Pernikahan Kontrak Sang Pendendam
 Pernikahan Kontrak Sang Pendendam

Pernikahan Kontrak Sang Pendendam

5.0

Keira hancur lebur. Seminggu sebelum hari pernikahannya, ia harus menanggung malu tak terperi: tunangannya, Adnan, telah menghamili wanita lain. Ironisnya, semua ini terjadi karena Keira berpegangan teguh pada prinsipnya untuk menjalani hubungan yang sehat-tanpa hubungan intim sebelum menikah. Kini, reputasinya sebagai "gadis baik-baik" seolah menjadi bumerang yang mempecundangi dirinya. Merasa sakit hati dan harga dirinya terinjak-injak, Keira mengambil keputusan ekstrem. Ia menikahi Dion, seorang pria yang bersedia menikahinya atas dasar kontrak. Jika pasangan menikah kontrak lain menghindari sentuhan fisik, Keira justru sebaliknya. Ia bertekad bulat untuk menyerahkan mahkota (keperawanannya) kepada suaminya. Keira ingin membuktikan-terutama pada dirinya sendiri dan Adnan-bahwa ia tidak lagi takut pada sentuhan dan siap melangkah maju, bahkan jika itu harus dilakukan dengan cara yang gegabah. Namun, rencananya tidak berjalan mulus. Meskipun Keira menunjukkan sisi dirinya yang seksi dan agresif, Dion tampak tidak bergairah dan dingin terhadapnya. Apakah keputusan Keira untuk menikah hanya demi melepaskan keperawanannya adalah cara yang tepat untuk menyembuhkan luka hatinya akibat dikhianati? Bagaimana nasib akhir pernikahan kontrak yang didasari dendam dan sakit hati ini?

Konten

Bab 1 gadis yang tahu diri

Keira. Aku benci nama itu. Selama dua puluh tujuh tahun, nama itu identik dengan 'gadis baik-baik', 'gadis yang tahu diri', 'gadis yang menyimpan mahkotanya untuk malam pertama'.

Sekarang, nama itu cuma jadi bahan tertawaan se-Jakarta Selatan.

Semua orang tahu. Semua. Mulai dari tante-tante arisan di Menteng sampai penjual kopi keliling di depan kantor Ayah, mereka semua tahu: Pernikahan Keira dan Adnan batal seminggu sebelum hari-H. Alasannya klise, menjijikkan, dan sangat menusuk harga diri: Adnan menghamili wanita lain.

Dan kenapa dia menghamili wanita lain? Karena Keira terlalu suci.

"Lo bilang lo mau jaga diri, Keira! Demi apa?! Demi mahkota yang sebentar lagi jadi barang rongsokan?! Demi dia?" Sarah, sahabatku sejak SMP, membanting segelas es kopi di meja kafe yang sepi. Matanya merah, lebih marah daripada mataku sendiri.

Aku cuma menatap genangan es kopi yang mulai mencair di meja marmer. Kenapa aku harus repot-repot memarahi Adnan, kalau seluruh alam semesta sudah melakukan itu untukku?

"Gue nggak bilang gue nyesel," kataku pelan, suaraku serak. Gaun pengantin yang rencananya mau kupakai sudah tergantung rapi di lemari, dikelilingi sarung plastik. Setiap melihatnya, perutku serasa diaduk-aduk. Bukan cuma marah, tapi jijik pada diriku sendiri.

Aku menjaga prinsip itu mati-matian. Bertahan dari godaan Adnan selama tiga tahun pacaran. Malam Minggu kami selalu diakhiri dengan kecupan di kening, bukan desahan di kamar hotel. Aku bangga. Aku merasa istimewa.

Ternyata, Adnan merasa bosan.

"Dia bilang, dia nggak kuat, Keira. Nggak kuat," Sarah mengulang kata-kata yang sempat Adnan bisikkan padaku dalam telepon memohon maaf dua hari lalu. "Sinting! Lo tunangannya, lo yang seharusnya jadi satu-satunya. Kenapa lo masih anggap prinsip itu mulia kalau akhirnya lo yang dicampakkan?"

Aku terdiam. Ya, kenapa?

Aku menyimpan sesuatu yang sangat berharga, yang kubayangkan akan kuserahkan pada suamiku di malam sakral pernikahan. Aku membayangkan momen itu sebagai penobatan, sebagai perayaan kesetiaan.

Ternyata, di mata Adnan, 'kesetiaan' dan 'kesucian' itu cuma jadi rem. Rem yang dia injak sampai dia menemukan jalan lain, jalan tol yang lebih cepat, ke wanita lain yang tak punya rem.

"Gue capek jadi suci," bisikku pada Sarah, nyaris tak terdengar.

Sarah langsung menoleh, wajahnya tegang. "Maksud lo?"

Aku mengangkat pandangan, menatap Sarah lurus-lurus. Di bola matanya, aku melihat pantulan Keira yang baru: mata yang mati, tapi menyimpan api yang siap membakar.

"Gue bakal nikah, Ra. Dalam dua minggu ini."

Sarah terbatuk. "Lo serius? Sama siapa? Siapa yang mau sama lo setelah skandal ini?"

Sakit. Tapi benar. Siapa yang mau? Aku bukan lagi 'gadis baik-baik' yang siap dinikahi. Aku adalah Keira, korban pengkhianatan yang gagal nikah.

"Sama siapa aja yang mau. Tapi bukan nikah biasa. Ini marriage of convenience."

Awalnya, ide itu muncul seperti bisikan setan. Setelah malam nangis-nangis di kamar, aku membuka laptop. Mencari apa saja. Dan tak sengaja menemukan forum gelap tentang jasa pernikahan kontrak.

Awalnya itu cuma lelucon, tapi semakin kupikirkan, semakin masuk akal. Ini bukan tentang cinta lagi. Ini tentang membuktikan. Membuktikan pada Adnan, pada keluargaku yang malu, dan yang paling penting, pada diriku sendiri, bahwa Keira tidak lagi takut pada sentuhan.

Keira bisa memilih. Keira bisa mendominasi.

"Syarat utama gue cuma satu," lanjutku, suaraku kini lebih tegas. "Gue nggak mau nikah kontrak yang cuma formalitas. Gue nggak mau pisah kamar. Gue nggak butuh cinta atau harta, tapi gue butuh malam itu."

Sarah mencondongkan tubuh, matanya membesar. "Lo... lo mau jual mahkota lo, Keira?"

"Jual?" Aku tertawa, tawa yang terdengar seperti pecahan kaca. "Bukan jual. Ini transaksi. Aku udah simpan ini baik-baik, tapi dia jadi alasan aku dikhianati. Sekarang, aku mau kasih ini ke pria yang nggak peduli sama sekali. Pria yang nggak akan pernah mengungkit 'kesucian' ini lagi. Aku mau buang beban ini."

Aku menghubungi kontak yang kudapat dari forum itu. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang bergerak cepat. Nama pria itu muncul: Dion. Profilnya minim. Pengusaha, usia sekitar tiga puluhan, butuh 'istri' untuk memenuhi syarat warisan atau perjanjian bisnis. Transaksional. Sempurna.

Pertemuan pertama kami diadakan di sebuah kantor pengacara yang sangat dingin, di lantai paling atas gedung pencakar langit. Dion duduk di seberang meja kaca tebal, didampingi pengacaranya yang tampak kaku.

Dia adalah pria yang tenang. Sangat tenang. Terlalu tenang, malah. Wajahnya tampan dengan garis rahang tajam, mata gelap yang sangat profesional, dan setelan jas yang terlihat mahal. Dia memancarkan aura 'uang' dan 'bisnis', bukan 'cinta' atau 'gairah'.

"Jadi, Nona Keira," kata pengacaranya, suaranya kering, "Anda sudah membaca draf kontraknya. Anda setuju dengan durasi satu tahun, kompensasi finansial, dan tidak adanya hak waris?"

Aku mengangguk, melirik Dion yang hanya menatapku tanpa ekspresi, seolah aku adalah sebuah proposal investasi yang kurang menarik.

"Saya setuju dengan semuanya," kataku. Aku menarik napas dalam-dalam, ini bagian tersulit. Aku harus menyerang langsung. "Kecuali satu klausul. Tentang skinship."

Pengacara itu mengangkat alis. "Klausul 4.1 menyatakan bahwa keintiman fisik tidak diwajibkan dan akan didiskusikan dari waktu ke waktu. Apa keberatan Anda?"

Aku mendorong map tebal itu ke tengah meja. Mataku lurus menatap Dion, mengabaikan pengacaranya.

"Keintiman fisik tidak diwajibkan, tapi saya mewajibkannya," kataku. "Saya tahu ini pernikahan kontrak. Tapi saya mau satu hal dari Anda, Tuan Dion."

Dion akhirnya bereaksi, meski hanya sedikit. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi kulit, pandangannya tetap datar. "Apa itu?"

Aku memaksakan senyum, senyum paling tajam dan paling menyakitkan yang pernah kubuat. "Saya mau malam pertama itu terjadi. Saya ingin ini menjadi pernikahan yang sah, seutuhnya. Saya ingin... menyerahkan diri saya pada Anda. Saya tidak mau menunggu. Malam itu harus terjadi."

Pengacara itu tersentak. Dion tetap diam, tapi aku melihat ada sesuatu yang berkelebat di matanya-mungkin rasa jijik? Atau keheranan?

"Nona Keira," ujar pengacara itu, nadanya menuduh, "apakah ini permintaan tambahan kompensasi? Karena jika ya-"

"Bukan!" potongku cepat. "Ini bukan tentang uang. Ini syarat saya. Saya lelah disebut gadis baik-baik. Saya mau menyingkirkan label itu, dengan siapapun, dan Anda adalah yang termudah."

Aku sengaja menggunakan kata-kata yang kasar dan telanjang. Aku ingin dia tahu betapa terlukanya aku, betapa gilanya keputusanku. Aku ingin dia menganggapku sebagai wanita yang putus asa dan agresif.

Dion akhirnya berbicara, suaranya rendah dan serak, memecah keheningan ruangan. "Anda agresif."

"Ya. Anda butuh istri. Saya butuh suami untuk tujuan tertentu. Saya tidak mau pernikahan yang cuma foto dan tanda tangan. Saya mau semuanya." Aku mencondongkan tubuh. "Tuan Dion, saya seorang perawan. Mantan tunangan saya mencampakkan saya karena saya mempertahankan status itu. Saya mau Anda mengambilnya. Bukan karena cinta, bukan karena gairah, tapi murni sebagai transaksi. Anda menyelesaikan masalah saya, saya menyelesaikan masalah Anda."

Keheningan melayang. Pengacara itu sibuk berbisik di telepon, jelas terkejut dengan permintaan yang tidak profesional ini.

Dion mengambil pena. Dia memutar-mutarnya di antara jari-jarinya yang panjang.

"Baik," katanya, suaranya sedingin es. "Saya terima."

Jantungku langsung berdebar kencang, antara lega dan teror. Aku berhasil.

"Tapi ada tambahan klausul dari saya, Nona Keira," lanjut Dion, mengabaikan pengacaranya yang mulai protes. "Saya terima tuntutan Anda. Namun, perlu Anda ketahui: Saya tidak berjanji akan bergairah. Saya tidak menjamin Anda akan mendapatkan kepuasan. Saya hanya berjanji akan melaksanakan tugas sebagai suami. Jika Anda gagal menarik perhatian saya, itu risiko Anda."

Kalimat itu menohokku lebih keras daripada kabar pengkhianatan Adnan. Dion baru saja bilang aku tidak semenarik itu, bahkan saat aku menawarkan diri secara total. Harga diriku yang baru saja kupaksakan untuk tegak, roboh lagi.

"Saya... saya terima risiko itu," kataku, mencoba terdengar mantap.

"Bagus," Dion menandatangani kontraknya tanpa ragu. "Pernikahan akan dilakukan tujuh hari dari sekarang. Upacara tertutup, hanya melibatkan pihak pengacara dan keluarga terdekat."

Semudah itu. Dalam sepuluh menit, aku menjual sisa-sisa kehormatanku pada pria asing yang jelas-jelas tidak tertarik.

Tujuh hari kemudian, aku berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih. Bukan gaun pengantin yang kubeli untuk Adnan, tapi gaun sederhana nan elegan, dibeli Dion secara terburu-buru.

Sarah masuk ke kamar rias, matanya sembap. "Lo yakin, Keira? Ini gila banget."

"Gila apanya? Cuma tukar status. Setelah setahun, gue bebas, Adnan kaget, dan gue bisa tidur nyenyak tanpa bayang-bayang masa lalu," kataku, memaksakan senyum palsu.

Tapi jauh di lubuk hati, aku tahu ini bukan tentang bebas. Ini tentang hukuman. Hukuman untuk Adnan, tapi terutama, hukuman untuk diriku sendiri yang terlalu naif.

"Dion itu ganteng, Keira. Really ganteng," Sarah mengakui. "Tapi dia sedingin bongkahan es. Kenapa dia setuju sama syarat gila lo itu?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin dia lagi iseng. Atau mungkin dia butuh hiburan yang nggak terduga."

Namun, ucapan Dion di kantor pengacara terus terngiang: Saya tidak berjanji akan bergairah.

Itu tantangan. Adnan bilang aku terlalu dingin. Dion bilang aku tidak menarik. Aku akan buktikan pada Dion bahwa aku bisa sangat agresif, sangat menggoda, sampai dia lupa semua kontrak dan trauma. Aku akan gunakan tubuh yang kujaga mati-matian ini untuk balas dendam paling manis: membuat pria yang tidak tertarik padaku, bertekuk lutut.

Malam harinya, setelah upacara singkat dan formal, kami tiba di penthouse Dion yang super mewah dan steril. Tidak ada karangan bunga, tidak ada dekorasi romantis, hanya furnitur mahal dan keheningan yang mematikan.

"Anda bisa memilih kamar tamu," kata Dion tanpa melihatku, sibuk membuka kancing mansetnya.

Aku berbalik, menyilangkan tangan di depan dada. Gaunku sedikit terbuka di bagian punggung, dan aku tahu aku terlihat menarik.

"Nggak, Tuan Dion," kataku, suaraku rendah dan menggoda. "Saya sudah bilang, ini bukan pernikahan formalitas. Malam ini, saya mau kamar utama. Bersama kamu."

Aku berjalan mendekat, aroma parfumku tercium di antara kami. Aku sengaja menabrak lengannya saat melewatinya menuju kamar tidur utama.

"Kontrak kita mulai berlaku sekarang. Dan saya mau mahkota yang saya jaga selama ini, langsung hilang. Malam ini juga. Lo siap, Suamiku?" tantangku, menatapnya tajam.

Dion menoleh, pandangannya masih datar, tak terbaca. Dia melepaskan jasnya.

"Saya siap," jawabnya. "Tapi saya peringatkan sekali lagi, Nona Keira. Keputusan Anda ini mungkin akan jauh lebih menyakitkan daripada pengkhianatan mantan tunangan Anda."

Dia tidak terdengar mengancam, melainkan memperingatkan. Aku tak peduli. Aku hanya melihat api di depanku, dan aku harus melewatinya. Aku ingin segera terbakar, agar aku bisa memulai hidup yang baru dari abu.

Aku membuka ikatan gaun, membiarkannya meluncur ke lantai marmer dengan suara desiran. Hanya tersisa pakaian dalam renda yang seksi.

"Kita lihat saja, Tuan Dion," bisikku. "Siapa yang akan menyesal besok pagi."

Namun, di dalam diri, Keira yang hancur itu berbisik balik: Aku hanya ingin sakit hati ini selesai. Dengan cara apa saja. Dan itulah konflik terbesar di malam ini. Aku datang ke pernikahan ini dengan nafsu balas dendam, padahal pria di depanku hanya menawarkan profesionalitas dan... penolakan.

Apakah dia akan tetap sedingin itu, bahkan saat aku sudah melepaskan seluruh bentengku?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY