/0/3051/coverbig.jpg?v=17061afea057a3832330204c02699111)
Pertemuan mereka adalah takdir semesta. Perpisahan mereka pun kehendak semesta Dan, semesta kembali seolah bercanda mempertemukan mereka kembali. Namun, pertemuan tersebut adalah pertemuan yang sama-sama mereka inginkan. Langit dan Benua Asia adalah saksi kisah yang mereka rajut dalam kesederhanaan dengan mengundang kebahagiaan. Kisah Langit Asia adalah kisah cinta dan kehendak semesta.
"Pokoknya ayah tidak mau tau! Kamu harus melanjutkan S2 di Singapura!" suara bentak seorang ayah kepada anaknya terdengar sampai keseluruh ruangan rumah yang besar itu.
"Ayah, aku bukan tidak mau melanjutkan S2. Tapi kurasa S1 saja sudah cukup bagiku lagian aku gak mau ngejar pangkat yang tinggi. Intinya aku bahagia, Yah.." suara lelaki itu membalas bentakan ayahnya.
"Kamu harus melanjutkan S2 di Singapura agar perusahaan ayah bisa kamu lanjutin dan bisa bikin kita bahagia. Dimana-dimana tamatan S2 akan sukses dan bahagia!" bentakkan mulai menggelegar di seluruh ruangan rumah.
"Ingat Yah..! Aku gak gila pangkat dan harta seperti ayah!" balas lelaki tersebut yang membuat ayahnya marah besar dan 'praakk'. Seorang Ayah menampar anaknya hingga pipi anaknya berwarna merah.
"Sudah... Berhenti Andi apa yang kau lakukan itu membuat anak kita akan merasa kesakitan!" suara seorang wanita masuk dalam percakapan yang panas itu.
"Sudah bu, biarkan saja ayah memukulku aku sudah dewasa dan berhak menentukan kebahagiaanku sendiri." ujar lelaki itu lembut dan masih memegang pipinya yang merah.
"Apa?!" bentakan ayahnya kembali memuncak.
"Sudah.. ku mohon berhenti..." kata wanita tua itu hingga air matanya terjatuh.
"Aku mau pergi sama teman dulu bu. Aku tidak mau melanjutkan percakapan yang tidak penting ini!" ujar lelaki itu meninggalkan kedua orang tuanya dan beranjak keluar rumah dan melajukan motornya.
***
Xavier, ia adalah lelaki yang tadi membuat amarah ayahnya, namanya adalah Mohammad Xavier Andiyunus yang sekarang duduk di bangku S1 perkuliahan dengan jurusan Ekonomi dam Bisnis di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Ia adalah tipikal pria yang baik, pintar, dan dia suka membaca buku karya Boy Candra bahkan dia suka menulis cerita. Xavier tidak suka bergaul dengan para perokok dan pecandu napza serta peminum miras dan sebagainya. Xavier adalah anak tunggal dalam keluarganya, sebab itulah ia menjadi prioritas sebagai penerus perusahaan ayahnya.
Cuaca sore ini sangatlah sejuk, hembusan bayu merasuk hingga ke tubuh membuat pikulan beban pikiran yang berat menjadi ringan walaupun puncak merapi merada ketubuh Xavier sore ini, ia keluar rumah menenangkan sedikit pikirannya. Ia memiliki janji untuk menemui temannya di taman kota sore ini.
"Xavier, kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita saat Xavier duduk disampingnya.
"Aku baik-baik saja Fidyah, hanya ada sedikit masalah," jawab Xavier tersenyum.
"Masalah apa?" tanya Fidyah.
"Adalah... gak perlu diceritain." jawab Xavier.
"Ceritain aja, gak apa-apa kok!" ujar Fidyah.
"Nanti kamu tau sendiri," ujar Xavier.
"Hmm.." gumam Fidyah. "Eh tunggu itu bibirmu berdarah, dan kau bilang kau baik-baik saja!" Fidyah mengambil tissu dari sakunya dan menghapus aliran darah di ujung bibir Xavier.
"Ahh.." rintih Xavier sedikit kesakitan.
"Tahan aja dulu" ujar Fidyah.
"Makasih Fid, selama ini kamu banyak menolongku"
"Ah santai aja, biasa juga kamu yang tolong aku kalau lagi gak bawa duit, heheh" tawa Fidyah yang membuat percakapan ini lebih hangat dari percakapan sebelumnya yang dirasakan Xavier.
"Aku senang bertemu denganmu" ujar Xavier.
"Apaan sih, sering juga ketemu di kampus" ujar Fidyah.
"Heheh iya juga ya" tawa kecil Xavier.
"Besok kamu masuk kampus?" tanya Fidyah.
"Iya" jawab Xavier.
"Kamu tau kan, aku besok masuk kampus juga," tawa kecil Fidyah seperti membuat kode untuk Xavier.
"Iya aku tau kok, nanti aku yang jemput" ujar Xavier paham dengan maksud kode Fidyah.
"Hahaha kamu tau aja!" tawa Fidyah. "Eh aku boleh pinjam novel Boy Candra kamu gak?"
"Ada apa? Tiba-tiba mau minjem novel biasanya kamu baca buku mata kuliah kamu yang pendidikan itu," tawa Xavier membuat Fidyah sedikit kesal.
Fidyah memang satu kampus dengan Xavier hanya saja mereka beda jurusan, Fidyah mengambil fakultas pendidikan karena ia bercita-cita menjadi seorang pengajar. Sedangkan Xavier memilih fakultas Ekonomi pembangunan karena ingin bertujuan merubah ekonomi bangsa Indonesia dan ingin menjadi pebisnis sukses.
"Tiba-tiba saja aku suka membaca novel" ujar Fidyah.
"Novel Boy Candra?" tanya Xavier.
"Awalnya aku baca novel dari Tere Liye dan aku senang membacanya dan tiba-tiba aku mau baca novel Boy Candra, punyamu kan banyak!" ujar Fidyah.
"Oh gitu, besok aku bawain deh!" kata Xavier tersenyum.
"Kenapa senyum?" tanya Fidyah heran.
"Ya gak apa-apa emang kenapa? Salah ya? Bukannya semua orang berhak untuk mengekspresikan perasaannya? 'Kan?" ujar Xavier.
"Iya boleh kok, raut wajah kamu kayak bahagia gitu," pertanyaan Fidyah sontak membuat Xavier menelan ludah.
"Kita itu wajib bahagia Fidyah. Walaupun dunia kita sedang hancur dan berantakan. Kan tadi aku udah bilang kalau aku senang bertemu denganmu yang berarti aku bahagia bukan?" ujar Xavier.
"Iya aku mengerti. Aku juga bahagia bertemu dengan mu" ujar Fidyah.
"Hah beneran?" tanya Xavier dan wajahnya sudah dekat dengan wajah Fidyah. Tiba-tiba warna kemerahan muncul dari pipi Fidyah.
"Ih apaan sih, munduran dikit!" ujar Fidyah nampak malu.
"Ih kok malu hahah" tawa Xavier.
"Lagian aku gak suka!" ujar Fidyah memalingkan wajah.
"Pipinya merah nih, hahah malu ya haha" tawa Xavier semakin menjadi. Fidyah tidak menjawab.
"Ooh udah pintar ngambekan," ujar Xavier mulai menghangatkan suasana yang sebelumnya terasa canggung.
"Emang aku gak pintar ngambek!" ujar Fidyah dengan nada suara naik.
"Hahah kamu cantik kalau lagi ngambek gitu" ujar Xavier.
"Berarti kalau aku gak ngambek, aku gak cantik gitu, dasar cowok!". ujar Fidyah.
"Kamu cantik kok, tapi kalau lagi ngambek cantiknya nambah" ujar Xavier yang membuat pipi Fidyah merah kembali.
"Ih apaan sih!". ujar Fidyah malu.
"Hahah gak usah malu-malu gitu, senyum dong, senyummu ka bisa menimbulkan penyakit eak!" ujar Xavier.
"Penyakit apaan? emang senyumku bakteri? Virus?!"
"Penyakit Diabetes. Karena senyummu itu terlau manis bahkan lebih manis dari gula ataupun pemanis lainnya!" perkataan Xavier tersebut menambah merah di wajah Fidyah.
"Ih wajahnya merah hahah" tawa Xavier.
"Kamu tuh nyebelin!" ujar Fidyah menutup kedua mukanya dengan kedua telapak tangannya.
"Maafin aku deh" ujar Xavier berhenti tertawa dan membentuk senyum di bibirnya.
"Aku gak mau maafin!" ujar Fidyah.
"Jangan gitu dong. Tunggu sini deh aku beliin es krim dulu" ujar Xavier.
"Cepetan sana!" ujar Fidyah.
"Giliran es krim cepet banget responnya!"
"Udah cepetan sana gue ngambek lagi nih!"
"Iyaiya tungguin!" Xavier pergi ke salah satu toko yang menjual es krim di samping jalan raya dekat taman. Ia membeli 2 es krim cokelat kesukaan Fidyah.
Xavier menyebarang jalan yang ramai dan padat dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Sore ini para pejalan kaki terlihat ramai dari sebelumnya. Xavier membawa 2 es krim cokelat dan duduk kembali ke bangku taman di sebelah Fidyah.
"Nih es krimnya!" ujar Xavier memberikan es krim.
"Makasih" kata Fidyah tersenyum.
Mereka bersantai sore ini dan menggenggam es krim di taman kota dengan percakapakan yang hangat membuat Xavier tersenyum dan sedikig melupakan konflik keluarganya. Ia senang bertemu dengan Fidyah, temansejak SMP nya itu. Mereka menatap langit yang sedikit demi sedikit merubah warna dari kebiruan menjadi jingga. Suara pengajian di masjid mulai terdengar. Mereka berdua menuju masjid yang dekat dari taman, untuk sholat maghrib secara berjamaah.
***
Setelah selesai melaksanakan kewajiban mereka sebagia seorang muslim. Mereka kembali pulang kerumah mereka masing-masing. Xavier mengantar Fidyah dengan motornya.
Perjalanan mulai terasa dingin, Xavier telah sampai di depan gang rumah Fidyah.
"Makasih" ujar Fidyah turun dari kendaraan dan tersenyum.
"Aku yang berterima kasih," ujar Xavier.
"Terserah deh, aku tau kamu bahagia sore tadi bersamaku!" ujar Fidyah.
"Itu kamu tau," tawa kecil Xavier.
"Aku mau masuk dulu, hati-hati yah! Ingat besok ya!" ujar Fidyah.
"Iya aku ingat. Kamu harus bangun cepat besok jangan kesiangan terus!"
"Ih siapa bilang aku sering kesiangan?"
"Emang biasanya gitu"
"Itu saat libur aja. Kamu mungkin yang sering kesiangan!"
"Siapa bilang? Aku bangun cepat terus!"
"Waktu itu kamu di hukum karena terlambat!"
"Baru sekali juga!"
"Ngomong ama kamu nih gak ada habisnya!"
"Ya udah habisin"
"Ih kamu nih nyebelin, aku mau masuk dulu"
"Ya udah masuk sana"
"Kamu belum mau pulang?"
"Belum"
"Kenapa?"
"Yah gak apa-apa"
"Gak jelas nih anak, beneran kamu belum mau pulang?"
"Khawatir ya? Hahha"
"Gak kok, biasa aja, aku masuk dulu"
"Ya udah masuk aja, dari tadi gak masuk-masuk.!" ujar Xavier dan Fidyah masuk kedalam rumahnya melambaikan tangan kepada Xavier.
Xavier tersenyum, ia menyalakan kendaraannya dan melajukannya. 'Semoga besok perasaanya sama seperti sore dan malam ini' pikirnya.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.