Di ulang tahun pernikahan kami yang kelima, aku berdiri gemetar memegang test pack positif, siap memberikan kejutan terindah untuk suamiku.
Namun, kejutan itu berbalik menamparku saat aku melihat Bara justru sedang memeluk mesra sepupuku sendiri, Fathia, di ruang kerjanya.
"Diah itu membosankan, sayang. Dia cuma pajangan rumah yang patuh, tidak ada gairah," kata Bara dengan nada meremehkan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Saat Fathia khawatir aku akan hamil, Bara tertawa dan berkata, "Tenang saja, dia tidak hamil. Lagipula, dia terlalu sibuk dengan hal tidak penting."
Darahku mendidih, tapi aku menahan diri untuk tidak melabrak mereka saat itu juga.
Aku menyimpan kembali alat tes kehamilan itu ke dalam kotak beludru. Bara tidak pantas tahu bahwa dia akan menjadi ayah.
Aku menghapus air mataku dan memasang topeng senyum terbaikku.
Aku akan bersandiwara menjadi istri sempurna selama tiga hari terakhir ini, lalu menghilang selamanya dari hidup mereka dengan membawa serta anakku.
Bab 1
Diah (POV):
Di ulang tahun pernikahan kelima kami, aku memegang tes kehamilan positif di tangan, sebuah kejutan yang seharusnya mengubah segalanya. Tapi yang kutemukan adalah suamiku, Bara, di pelukan sepupuku sendiri, Fathia. Mereka tidak tahu aku mendengar setiap kata menjijikkan yang keluar dari mulut mereka.
Bau kopi segar memenuhi dapur, seperti pagi-pagi kami sebelumnya yang penuh kehangatan yang semu. Aku berdiri di depan cermin, mengelus perutku yang masih rata. Ada kehidupan baru di sana, rahasia kecil kami yang akan kuberikan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan. Aku sudah membayangkan wajah Bara, matanya yang biasanya dingin akan meleleh menjadi kelembutan.
Tes kehamilan itu, dua garis merah yang begitu jelas, tersembunyi rapi dalam kotak beludru di laci meja rias. Aku ingin momen ini sempurna. Hadiah termanis untuk pria yang kucintai, yang telah kuberikan segalanya. Termasuk karier arsitek interior gemilangku.
Ponsel Bara berdering lagi di ruang kerja. Suaranya terdengar terlalu pelan, terlalu hati-hati. Aku tahu nada itu. Nada yang selalu dia pakai, bukan untukku. Itu adalah nada yang sama saat ia berbicara dengan rekan bisnisnya, dengan nada yang penuh taktik dan manipulasi halus. Tapi ini bukan rekan bisnis. Aku mendengar samar-samar suara tawa seorang wanita, cempreng dan manja. Fathia.
Aku berjalan mendekat, langkahku tanpa suara di atas karpet tebal. Pintu ruang kerjanya sedikit terbuka. Aku melihat Bara. Dia bersandar di meja, ponsel di telinganya. Ada senyum di bibirnya yang tidak pernah ia tunjukkan kepadaku lagi. Senyum itu, dulu milikku.
"Apa yang kau inginkan sekarang, sayang?" tanyanya, suaranya licin seperti minyak. "Kau tahu, Diah terlalu membosankan. Dia seperti pajangan rumah yang patuh. Tidak ada gairah."
Jantungku seperti ditusuk jarum es, dingin dan sakit. Kata-kata itu, diulang-ulang di kepalaku. Pajangan rumah yang patuh. Membosankan. Aku bukan Diah yang sama lagi, Diah yang dulu penuh mimpi dan ambisi. Aku adalah Diah yang ia bentuk, istri yang sempurna di matanya. Tapi itu tidak cukup.
Aku mundur selangkah, menahan napas. Suara Fathia terdengar lagi, merengek manja. "Aku ingin Bara. Aku ingin Bara menemaniku ke pesta itu. Diah pasti akan memamerkan kehamilannya."
Bara tertawa, tawa yang membuat perutku mual. "Oh, Fathia. Kau ini lucu sekali. Diah tidak hamil. Kami sepakat untuk menunda. Lagipula, dia terlalu sibuk dengan kegiatan sosialnya yang tidak penting itu."
Darahku serasa membeku. Dua garis merah di laci meja riasku, bukti nyata masa depan yang baru saja Bara hancurkan. Dia bahkan tidak tahu. Atau lebih tepatnya, dia tidak peduli.
Aku merasakan kepalaku berdenyut. Suara mereka terus mengalir, seperti racun yang meresap ke setiap pori-pori kulitku. Bara terus meremehkanku, merendahkanku di hadapan Fathia, sepupu yang kubiayai kuliahnya. Fathia, yang dulu memohon bantuan sambil menangis di depanku, kini tertawa mengejekku di belakang punggungku.
Aku tidak berhak marah. Aku yang memilih jalur ini. Aku yang menimbun ambisiku demi menjadi "istri penurut". Tapi kebencian itu, pahit dan tebal, memenuhi tenggorokanku. Aku harus menelan semuanya. Aku adalah Diah Darwis, wanita yang tidak mudah meledak.
Aku merasakan tangan kananku gemetar. Sebuah kekuatan aneh, seperti naluri, muncul dalam diriku. Aku harus memastikan ini. Aku harus melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri. Aku menarik napas dalam, menstabilkan diri.
Ini bukan kemarahan yang membakar. Ini adalah ketenangan yang menakutkan. Aku akan tahu. Dan aku akan pergi.