Aku tidak pernah mengerti, pengorbanan dan kesabaranku selama ini seolah tak ada artinya. Aku dijebak, dikhianati, dan ditinggalkan oleh semua orang yang kucintai.
Setelah kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku, aku akhirnya sadar. Di pesta perayaan perusahaan, aku membawa sebuah "hadiah" untuk Dara, berisi semua bukti kejahatannya. Kali ini, aku akan menghancurkan mereka semua.
Bab 1
Alissa POV:
"Tanpanya, keluarga kami tidak akan ada hari ini," tulis Tristan Idris di akun media sosialnya.
Sebuah foto yang diunggahnya menampilkan dia dan Dara Umar, sahabatku, berdiri berdampingan.
Senyum Dara begitu cerah, sementara Tristan menatapnya dengan tatapan penuh penghargaan.
Foto itu diunggah di perayaan sepuluh tahun pulihnya perusahaan keluarga Idris.
Tristan memberanikan diri memberiku penghargaan "Penyelamat Perusahaan" tapi bukan kepadaku, melainkan kepada sahabatku, Dara.
Aku, Alissa Rafli, yang mengorbankan karier arsitekturku demi keluarga ini, hanya bisa menulis komentar.
"Pahlawan yang hebat," tulisku.
Tidak lama kemudian, postingan itu dihapus.
Malam harinya, Tristan pulang.
Pintu dibanting keras.
Aku tahu, badai akan datang.
"Aku sudah susah payah membuat kondisi perusahaan stabil, kenapa kamu malah menyindir Dara?" bentaknya, suaranya memenuhi ruang tamu.
Aku berdiri di depannya, menatapnya tanpa ekspresi.
Rehan, putra kami, baru saja turun dari kamarnya.
Dia mendengar teriakan ayahnya.
"Semua ini salah Mama!" teriak Rehan padaku.
Pipiku terasa panas, tapi aku tidak bereaksi.
"Kalau bukan karena kesalahan Mama dulu, Tante Dara tidak akan menderita!" lanjutnya, menunjukku dengan jarinya.
Aku terdiam, hatiku mencelos.
Putraku sendiri menuduhku.
Aku mengeluarkan sebuah amplop dari saku gaunku.
Isinya adalah perjanjian perceraian yang sudah kusiapkan semalam.
Kuserahkan kepada Tristan.
"Ya, ini salahku!" kataku, suaraku bergetar, tapi mataku menatap tajam ke arahnya.
"Jadi biarkan aku pergi."
Aku menatap Tristan, lalu ke Rehan.
"Semoga kalian bertiga menjadi keluarga pebisnis yang sukses!"
Kalimat itu, penuh ironi, keluar dari mulutku dengan getir.
Perjanjian perceraian itu baru kucetak tadi pagi.
Aku tidak tidur semalaman.
Pikiranku berputar-putar, hatiku hancur berkeping-keping.
Semalam adalah ulang tahun Rehan.
Aku sudah menyiapkan pesta kecil di rumah.
Kue tart dengan lilin angka 10, hidangan kesukaan Rehan, semuanya sudah tertata rapi di meja makan.
Tapi mereka tidak pernah pulang.
Kue itu kini meleleh, krimnya meluber, bentuknya sudah tidak karuan.
Seperti hatiku.
Tristan merenggut amplop dari tanganku.
Matanya melotot saat melihat isi di dalamnya.
"Apa-apaan ini, Alissa?!" gertaknya.
Dia merobek kertas-kertas itu menjadi serpihan kecil.
"Kamu benar-benar gila!"
"Aku sudah berusaha keras menjelaskan ketidakhadiranku semalam!"
Aku mengingatnya.
Tristan memang mengirim pesan singkat, mengatakan ada rapat darurat.
Aku memilih untuk percaya.
Kini, melihat meja makan yang dingin dengan makanan yang tak tersentuh, setiap keraguan dalam diriku berubah menjadi kepastian.
Tristan melihat ke arah meja makan, ekspresi wajahnya berubah sedikit.
Sedikit rasa bersalah muncul di matanya.
"Sayang, aku tahu kamu kecewa," katanya, suaranya melunak.
Dia mencoba meraih tanganku.
"Tapi kamu tahu kan bagaimana perusahaan ini? Aku tidak punya pilihan."
Aku menarik tanganku.
"Aku bisa mengerti," kataku datar.
"Tapi apa yang kamu tawarkan padaku sebagai gantinya?"
"Kita bisa pergi liburan, ke mana pun kamu mau," katanya, mencoba membujukku.
"Kita bisa membeli vila baru di Bali, kamu selalu menginginkannya, kan?"
Aku menatapnya dengan mata kosong.
Ini adalah pola yang sama.
Setiap kali dia membuat kesalahan, dia akan mencoba menebusnya dengan materi.
Setiap kali aku merasa sakit, dia akan mencoba menutupinya dengan hadiah.
Aku sudah muak.
"Aku tidak menginginkan vila baru, Tristan."
"Aku menginginkan keadilan."
Aku mengeluarkan satu lagi lembar perjanjian perceraian dari saku gaunku yang lain.
"Ini ada salinannya."
Tristan terkejut.
Dia tidak menyangka aku punya cadangan.
Wajahnya memerah.
Dia meraih piring yang ada di meja makan, lalu membantingnya ke lantai.
Pecahan piring itu berserakan, seperti hatiku.
"Kamu benar-benar tidak tahu diri, Alissa!" teriaknya.
"Kamu cemburu karena Rehan lebih menyayangi Dara daripada kamu, ibunya sendiri?"
"Bukankah sudah sepatutnya kamu bersyukur atas semua pengorbanan Dara?"
"Kamu tahu kan, kita semua berutang budi padanya!"
"Semua ini salahmu!"
"Kamu harus menebusnya, Alissa!"
Aku menatap kearahnya.
Aku tidak pernah mengerti apa yang membuatku bersalah.
Sepuluh tahun yang lalu, aku dan Dara mendirikan firma desain bersama.
Kami adalah sahabat sejak bangku kuliah, bermimpi untuk menaklukkan dunia arsitektur bersama.
Awalnya, semuanya berjalan lancar.
Kami mendapatkan banyak proyek besar, nama firma kami mulai dikenal.
Sampai suatu hari, Dara melakukan penggelapan dana besar-besaran.
Itu hampir membuat perusahaan kami bangkrut.
Aku ingat sekali.
Aku sedang berada di lokasi proyek, mengawasi pembangunan.
Tristan, yang saat itu masih menjadi tunanganku, meneleponku dengan panik.
Dia bilang, ada masalah besar di firma.
Ketika aku sampai di kantor, Tristan sudah ada di sana bersama orang tuanya.
Wajah mereka semua tegang.
Dara ada di sana, menangis tersedu-sedu, memegang tanganku erat-erat.
"Alissa, maafkan aku," katanya, air mata membasahi pipinya.
"Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Semua uang lenyap."
Aku tidak mengerti.
Tristan menatapku dengan mata penuh kekecewaan.
"Alissa, bagaimana ini bisa terjadi?" tanyanya, suaranya dingin.
"Ini proyek yang kamu tangani, kan?"
Dara dengan licik memutarbalikkan fakta.
Dia membuat seolah-olah itu adalah kesalahan fatal aku.
Dia bilang, aku terlalu sibuk dengan proyek Tristan, sehingga mengabaikan keuangan firma.
Dia bilang, aku terlalu ceroboh, dan tidak pernah memeriksa laporan keuangan dengan teliti.
Aku mencoba membela diri.
Aku bilang, aku tidak pernah menyentuh pembukuan.
Itu selalu menjadi tugas Dara.
Tapi tidak ada yang percaya padaku.
Semua bukti mengarah padaku.
Semua orang menatapku dengan tatapan menuduh.
Bahkan orang tuaku sendiri.
Dara kemudian berakting sebagai pahlawan.
Dia bilang, dia akan menjual semua aset pribadinya untuk menutupi kerugian.
Dia bilang, dia tidak akan membiarkan firma kami hancur.
Dia bilang, dia akan tetap berada di sisiku, membantu memperbaiki kesalahanku.
Dan semua orang percaya padanya.
Sejak saat itu, aku hidup dalam rasa bersalah yang mendalam.
Tristan dan seluruh keluarga Idris merasa berutang budi pada Dara.
Mereka memujanya sebagai penyelamat.
Sementara aku, aku menjadi kambing hitam.
Penyebab dari semua masalah.
Pengorbanan dan kesabaranku selama sepuluh tahun tidak dihargai.
Aku selalu mencoba memperbaiki hubungan dengan Rehan.
Aku ingin menjadi ibu yang baik baginya.
Aku mengantar dan menjemputnya dari sekolah, memasak makanan kesukaannya, menemaninya belajar.
Tapi dia selalu menghindariku.
Jika aku mendekatinya, dia akan merengek dan memanggil Tristan atau Dara.
Mereka akan datang, dan Rehan akan bersembunyi di belakang Dara.
Mereka akan menatapku dengan tatapan penuh tuduhan.
"Mama, kenapa Tante Dara menangis?" tanya Rehan, menatapku dengan mata penuh kebencian.
"Kenapa Mama selalu menyakiti Tante Dara?"
Aku menatapnya, hatiku hancur.
"Rehan, Mama tidak menyakiti Tante Dara," kataku, mencoba menjelaskan.
"Tante Dara bilang, Mama yang membuatnya sakit," jawabnya, suaranya keras.
"Mama yang membuat Tante Dara kehilangan semuanya."
"Mama jahat!"
Aku menatap Tristan, mencari dukungan.
Dia hanya diam, menatapku dengan tatapan kosong.
"Siapa yang memberitahumu semua ini, Nak?" tanyaku pada Rehan, mencoba menahan air mata.
"Apakah itu bibi Dara?"
"Memang kenapa kalau Tante Dara yang bilang?," jawabnya, menatapku dengan jijik.
"Memangnya semua yang Tante Dara bilang itu salah?"
Aku menatap Tristan lagi.
Dia masih diam.
Dia tidak akan pernah membelaku.
Aku tahu itu.
Aku memejamkan mata, merasakan sakit yang tak tertahankan di dadaku.
Kepalaku pusing, tenggorokanku tercekat.
Semua ini terlalu banyak.
Aku sudah tidak tahan lagi.
Aku membuka mataku, menatap Tristan dengan tatapan dingin.
"Aku akan pergi besok," kataku, suaraku datar.
"Aku akan menemuimu di pengadilan."
Aku berbalik, mengambil koper kecilku yang sudah kukemas semalam.
Aku berjalan menuju pintu, meninggalkan Tristan dan Rehan berdiri di sana.
"Alissa!" teriak Tristan.
Aku tidak menoleh.
Aku harus pergi.
Tristan mengejarku, menangkap lenganku.
"Kamu mau pergi ke mana?"
Tiba-tiba, pintu terbuka.