Harus kuakui bahwa aku memang terlalu sibuk dan kurang memperhatikan kebutuhan biologis istriku. Berkali-kali aku dapatkan sinyal itu darinya baik secara verbal atau dari tingkah laku.
Biasanya dia menjadi sensitif kalau libidonya tak terlampiaskan. Selama ini aku tidak menganggap hal itu serius, maka tidak kuambil tindakan.
Aku pikir seharusnya Diana memahami kesibukanku sebagai eksekutif muda yang sedang mengejar karir demi masa depan kami.
Kupandangi telapak tangan kananku.
Inilah bagian tubuhku yang terakhir menyentuh pipi Diana. Bukan menyentuh sebetulnya menyakitinya. Masih kuingat betapa merah pipinya yang mulus setelah kusakiti. Apa boleh buat aku memang murka sekali saat itu.
'Maafkan aku sayang,' gumamku sambil kukecup gaun tidur milik istriku hadiah ulang taun dariku.
Tercium aroma tubuhnya di sana, teringat begitu halus kulitnya yang putih, kontras dengan warna ungu gaunnya. Terbayang lekukan tubuhnya yang sempurna namun jarang kusentuh.
Terkenang pula saat-saat dia membuka bungkusan hadiahku dan sinar bahagia terpancar di matanya ketika mendapati sepotong gaun tidur itu.
Dia memakai hadiahku di malam ulang taunnya dan malam itu kami bercinta sepanjang malam, dan itu sudah lama sekali.
Tiga malam yang lalu,
Sepulang kerja, hampir merupakan rutinitas aku masuk kamar menyusul istriku yang tengah berbaring di ranjang. Aku cium pipinya dan kukatakan ai love you, lalu tertidur di sampingnya.
Tidak biasanya, di tengah malam aku terbangun oleh gemuruh hujan yang sepertinya sangat deras.
Diana tidak di sisiku mungkin di kamar Rafael, pikirku.
Aku keluar untuk memeriksa. Di kamar Rafael, kudapati hanya ada anakku sedang tidur dengan nyamannya. Kucari istriku dan diantara gemuruh hujan terdengar suara sayup-sayup mencurigakan yang berasal dari garasi mobil.
'Dengan siapa istriku berbicara ditelpon malam-malam begini, mana hujan lagi?' tanyaku dalam hati.
Firasat buruk mulai datang karena suaranya semakin mencurigakan. Akhirnya aku menguping, walau tidak jelas, tapi bisa aku dengar suara Diana menjerit-jerit dalam kenikmatan sambil meneriakkan kepuasannya, mengalahkan suara hujan yang semakin bergemuruh walau tanpa badai.
Seketika itu juga sekujur tubuhku menjadi lemas. Aku tak berani menebak apa yang sedang dia lakukan di sana, apalagi untuk memergoki dia bermain cinta dengan lelaki lain.
Lebih baik aku tidak menangkap basah siapapun yang sedang berselingkuh. Pernah aku pergoki ibuku bercinta di dapur dengan tukang sayur yang sudah tua. Bayangan itu tak pernah hilang dari ingatanku sampai sekarang.
Jantungku berdebar, bagaimana mungkin istriku berselingkuh? Tak mungkin rasanya Diana berbuat serong, dia istri yang setia dan sangat baik.
Tak berapa lama, suara yang samar-samar itu telah reda, lalu pintu garasi terbuka dan dari sana keluar Diana menggenggam handphonenya. Kutangkap keterkejutannya, dan wajahnya pucat pasi mendapati aku berdiri di depannya.
Apa yang barusan kamu lakukan Diana? Langsung aku interogasi dengan suara gemetar.
Istriku tidak berusaha untuk mengelak dan kelihatan pasrah menerima tuduhanku. Dia bahkan mengakui kalau selama ini ada pria lain dan bahwa dia baru saja bercinta online bersama pria itu via telepon untuk memuaskan dirinya.
Tak ayal lagi tanganku melayang dan mendarat di pipinya dengan sangat keras. Paginya sebelum aku dan Rafael bangun, Diana telah pergi entah kemana.
Kini aku biarkan air mataku menetes satu per satu tanpa menodai gaun malam Diana di genggamanku. Aku sangat menyesali kegagalanku memberikan kebahagiaan kepada wanita yang sudah lima taun aku nikahi ini.
Kemarin aku masih belum tenang dan marah-marah tapi sekarang aku sudah mampu berpikir dengan jernih.
Seharusnya aku ketaui lebih dini kalau Diana sesungguhnya sudah cukup lama menderita dan kesepian. Andai saja tak kubiarkan dia kesepian, dan andai saja dia bahagia bersamaku, tak akan mungkin dia menjalin hubungan dengan lelaki lain.
Apa yang terjadi adalah murni kesalahanku.
Kemana gerangan istriku pergi, ke rumah laki-laki itukah?
Diana memang sering bilang lebih baik hidup sederhana asal bahagia.
Apakah dia menemukan kebahagiaan bersama laki-laki itu?
Cintakah lelaki itu pada Diana?
Tentu saja, apa susahnya mencintai seorang Diana. Dia wanita cantik yang lembut dan cerdas. Aku mencintainya setengah mati karena kecantikan, kelembutan dan kecerdasannya itu.
Kini aku benar-benar menyadari, hanya bersama Diana hidupku menjadi lebih bermakna, dan jika dia pulang, aku akan melakukan segalanya untuk istriku.
Sudah waktunya aku memberi tanpa menuntut dalam hal-hal yang lebih bermakna. Bilamana ada acara kumpul-kumpul dengan keluarga besarnya, aku akan ikut serta dengan raut wajah yang ceria. Karena aku tahu dengan cara ini aku akan membuatnya senang.
Selama ini aku memilih untuk tidak berada di tengah-tengah mereka, itu semata-mata karena aku merasa keluarga besar Diana bukanlah levelku. Mereka orang kampung yang terlalu sederhana untuk bisa duduk sejajar denganku, apalagi keluargaku.
Kini aku membayangkan kembali betapa intens dan bergairahnya Diana di garasi beberapa malam yang lalu. Dia bercinta online entah dengan siapa. Desahan dan jerit kenikmatannya bahkan hingga membangunkan tidurku.
Hatiku benar-benar tersayat, tak pernah dia sebegitu bergairahnya saat bercinta denganku, dan aku sangat cemburu.
Pernahkah lelaki online itu menjamah istriku secara langsung dan memberinya kepuasan yang selama ini tidak dapat kuberikan?
Diana memang sulit sekali mendapatkan puncak birahinya, atau memang karena aku yang tidak mampu membuatnya mencapai puncak.
Di awal hubungan badan, aku selalu berusaha memberikannya, namun karena selalu gagal maka aku pun tidak lagi memikirkannya. Hanya aku yang selalu mengalami puncak, sementara Diana kubiarkan gelisah sendirian. Lelaki memang seharusnya bgeitu.
Sejujurnya, saat bercinta dengan Diana, bagiku hanya kewajiban saja bukan lagi permainan indah sepasang suami istri yang saling memiliki.
Apalagi belakangan ini kami malah jarang melakukannya. Terkadang sebulan sekali, bahkan pernah beberapa bulan Diana tak kusentuh sama sekali. Aku rasa dia mengerti kesibukanku, bukankah wanita yang terpenting cukup uang? Aku tak pernah mengurangi hak dia mendapatkan nafkah lahir dariku, malah berlebihan. Dia bebas menggunakan uang pemberian dariku yang cukup melimpah.
"Diana, rumah ini serasa bukan rumah lagi tanpa kehadiranmu," gumamku sambil kembali menyeka air mata yang entah sejak kapan aku menjadi terbiasa menangis.
Aku menempelkan gaun tidur miliknya di wajahku sambil menghirup nafas dalam-dalam.
"Aku merindukanmu Sayang, Rafel begitu membutuhkan dirimu, Diana. Sepanjang hari dia memanggil-manggilmu. Anak kita tidak mau denganku karena aku ayah yang kurang sabar dan tidak becus mengurus anak."
"Pulanglah Diana. Pulanglah Sayang, akan kubuktikan bahwa aku mampu memberikan kehangatan dan kepuasan seorang suami. Aku berjanji tak akan membuatmu murung lagi sampai bila-bila masa."
Aku hampiri Rafael yang tidur dengan damai, kubisikkan padanya "Mama akan segera pulang, papa berjanji, Sayang."
Tanganku menepuk-nepuk lembut lengannya yang mungil. Lantas setelah itu, aku mencoba lagi menghubungi ponsel Diana.
"Hai," suara datar dari seberang kudengar dengan sangat jelas.
'Yes!' Aku bersorak dalam hati karena ternyata Diana sudah mau menerima teleponku.
"Sayang," sapaku lembut
"Iya Mas, bagaimana keadaan Rafa?" tanya Diana dengan suara agak parau.
"Oh, terima kasih kamu sudah mau menerima teleponku lagi. Rafa baru saja bobo, dia sangat sedih kamu tidak ada di rumah. Rafa terus mencarimu." ucapku dengan suara yang sedikit tercekat karena gemuruh di dadaku terasa membuncah.
"Aku tahu itu," jawabnya lirih.
"Apa kabarmu Sayang?" tanyaku lagi dengan suara sengau diliputi perasaan haru dan rindu yang membiru.
"Aku biasa-biasa saja, Mas," jawabnya pelan namun terdengar datar seperti tak memiliki makna apapun.
"Maafkan aku, Diana," ucapku pelan. lantas diam sejenak untuk merasakan apakah istriku masih bersedia berbicara denganku.
"Ya, Mas," jawabnya pelan.
"Maafkan segala dosa-dosa suamimu ini. Aku yang salah selama ini, aku akan berubah jika kamu bersedia memberiku kesempatan lagi, Sayang."
"Harus berapa kali lagi aku memberimu kesempatan, Mas? Ini sudah lebih dari sepuluh kali aku memberimu kesempatan. Aku benar-benar sudah lelah kita harus terus-terusan bertengkar seperti ini." Diana bicara panjang dengan suara yang terdengar agak bindeng.
"Tapi baru kali ini aku benar-benar tersadar. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan dirimu, Sayang," jawabku dengan sangat sungguh-sungguh.
"Tak berapa lama aku mendengar suara dia menangis kecil dalam isakannya yang sangat menyayat hatiku.
"Sayangku jangan menangis terus. Di mana dirimu sekarang?" tanyaku sambil menyeka air mataku yang ternyata juga sudah membasahi pipiku.
"Aku di rumah Kakek Anwar," jawabnya pelan.
"Aku jemput sekarang ya," pintaku lembut.
"Jangan. kasihan Rafa sedang tidur. Jangan bangunkan dia, nanti malah rewel," cegah istriku dengan suara yang terdengar seperti kaget.
"Iya sayang." Jawabku pelan. Baru tersadar kalau aku jemput Diana, Rafael mau tidak mau harus aku bangunkan, tidak mungkin ditinggal sendirian dalam waktu lama.
"Kalau gitu, kamu nyetir sendiri aja ya, diantar sama Kakek Anwar, biar Rafa dan aku menunggumu di rumah."
Dia terdiam lagi dan diantara kami pun terjadi keheningan cukup lama.
"Sayang?" Aku bertanya meminta konfirmasinya.
Belum ada jawaban.
"Sayang kok malah diam?" Aku kembali bertanya untuk memastikan.
Sejujurnya ini adalah kata 'sayang' paling dalam yang aku ucapkan, selama ini aku mungkin sudah melupakan kata-kata mesra itu. Aku akan memperbaiki lagi semuanya dari awal. Akan sesering mungkin aku ucapkan kata itu, asal Diana kembali padaku, pada Rafael anak kami.
"Pulang sekarang ya, Sayang. Aku sangat mencintaimu Kami benar-benar sangat membutuhkanmu, aku dan Rafa sangat membutuhkanmu, saat ini dan seterusnya," ucapku dengan sangat lirih memohon. Hatiku menangis tak bisa kubayangkan andai Diana benar-benar tak kembali pulang ke rumah ini.
"Oke, Mas, aku pulang sebentar lagi diantar sama Kakek Anwar," bisiknya pelan.
"Hati-hati bawa mobilnya, Sayang. Jalanan licin sekali," balasku dengan sejuta bunga yang memenuhi ruang jiwaku dan gairahku pun seketika membara.
Aku bersiap-siap menyambut kepulangan Diana Pusparani, istriku tercinta. Rasanya lama sekali waktu berlalu, sebentar-sebentar aku menengok keluar jendela. Pemandangan di luar menjadi begitu indah, rumput yang terhampar hijau menambah kesejukan di hatiku.
^*^