/0/3378/coverbig.jpg?v=20220104215654)
Mira yang memiliki cita-cita mulia ingin menjadi seorang psikiater ternyata berbuah manis. Bermula dari rasa kasihan melihat orang-orang gila di sekitarnya. Pada akhirnya dia menemukan bahwa Arsen, pria yang dia cintai selama delapan tahun lamanya, ternyata telah menjadi daftar pasiennya. Bukan hanya itu, ayah yang dia kira sudah meninggalkan dan menelantarkannya, ternyata masih hidup dan menjadi pasien pertamanya di tempat ia memulai pekerjaan.
"Orang gila ... orang gila ...!" teriak beberapa anak laki-laki sembari melempar kerikil pada seorang pria yang sudah cacat mental.
"Ayo, kita lempar lagi!" seru anak perempuan, yang merupakan teman bermain Mira.
"Dasar orang gila busuk!" hina anak satunya.
Anak-anak itu terlihat sangat menikmati kenakalan yang mereka ciptakan sendiri. Sambil bertepuk tangan, mereka tidak berhenti meneriaki pria yang sudah mulai meneteskan air mata itu.
Orang dengan gangguan jiwa tersebut hanya bisa menutupi wajahnya sembari menunjukkan ekspresi ketakutan, tapi ia enggan untuk berlari. Sepertinya, orang itu kelaparan. Terdengar jelas teriakan dan ejekan anak-anak di sekitar tempat tinggal Mira. Namun, tidak ada satu pun yang membantu pria malang itu. Sangat menyedihkan. Mereka menghina sesuka hati, karena pria itu berpakaian compang-camping, rambut panjang tak terurus, dengan tubuh yang sudah dipastikan tidak mandi selama berbulan-bulan.
Teriakan anak-anak kecil itu, membuat Mira yang masih berumur tujuh tahun itu merasa iba. Ia selalu berpikiran, bahwa manusia itu sama di hadapan Tuhan dan tidak seharusnya saling menghina. Dalam benaknya terpikir, di mana keluarganya? Kenapa mereka membiarkannya begitu saja? Menjadi bahan ejekan dan hinaan para warga. Bukankah itu sangat tidak manusiawi?
Dengan perasaan kesal, Mira meninggalkan tempat bermainnya, ia tidak sanggup mendengar hinaan teman-temannya pada laki-laki yang sudah hilang akal itu. Bibi Mary yang saat itu hendak memanggil Mira untuk makan siang, tersenyum dan merasa bangga melihat tingkah keponakannya itu. Karena sikap Mira tersebut, membuktikan bahwa ia benar-benar menjadi sosok yang sangat peduli dengan orang sekitarnya.
Mira memang diajarkan untuk selalu menghargai dan tidak menghina kekurangan orang lain. Ia yang hanya tinggal bersama sang bibi, janda tua yang sudah berumur, tidak pernah merasa kekurangan perhatian dan kasih sayang. Bahkan wanita yang kini sudah berumur empat puluh tahunan itu, selalu mencontohkan hal-hal yang positif pada Mira.
"Kamu sedang memikirkan apa, Mira? Dari tadi bibi lihat bengong aja. Apa makanannya kurang enak?" tanya bibi Mary sembari memperhatikan Mira yang tidak berselera dengan makanannya. Gadis kecil itu hanya mengaduk-aduk isi dalam piringnya sedari tadi.
"Apa bibi kenal dengan orang gila tadi?" Mira sudah tidak bisa membendung perasaannya. Hatinya sakit, melihat laki-laki itu diperlakukan seperti sampah.
Bibi Mary terdiam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Mira. Ia harus mencari jawaban yang tepat, agar gadis kecil di depannya puas dengan jawabannya.
"Bibi, kenapa diam saja? Kenapa mereka melemparinya? Mereka sama sekali tidak punya hati." Mira bersedih. Mengingat laki-laki menyedihkan tadi, membuat air matanya keluar begitu saja.
"Bibi tidak mengenalnya. Mungkin dia orang pendatang, yang kebetulan lewat sini. Dan untuk perbuatan teman-temanmu tadi, jangan ditiru ya! Itu tidak terpuji," jelas bibi Mary.
Mira mengangguk. Pikirannya masih tertuju pada pria malang tadi," Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk membantunya?" tanya Mira lagi.
"Itu bukan wewenang kita, Sayang. Kita hanya perlu melapor ke aparat desa, nanti dari sana akan dibawa ke dinas sosial. Jadi, mereka yang akan mengurusnya," jelas bibi Mary sembari mengelus rambut Mira. Gadis kecil itu benar-benar membuatnya tersentuh.
"Kalau begitu, ayo kita lapor, Bi!" Mira sangat antusias.
"Sudah, Nak. Pak RT sudah melapor, dan sudah dibawa ke dinas sosial. Sekarang, habiskan makananmu!" ucap bibi Mary.
Mira pun menurut, dan ia tidak perlu lagi memikirkan nasib pria dengan sebutan orang gila tadi.
Malam harinya.
"Bibi, kenapa kita harus pindah ke kota? Bukankah di desa lebih nyaman dan terhindar dari polusi? Seperti yang dikatakan bu guru." Mira baru selesai dengan pendidikan TK-nya di tahun ini dan bibi Mary akan segera membawanya ke kota.
"Di kota, pendidikan lebih terjamin, fasilitasnya lebih maju dan lengkap dibandingkan dengan di desa. Sekarang bibi mau tanya, kamu cita-citanya mau jadi apa?" Bibi Mary yang saat itu sedang menidurkan Mira, malah bertanya pada anak polos di pangkuannya.
"Aku ingin menyembuhkan orang," jawab Mira dengan semangat. Kejadian tadi siang membuatnya bertekad ingin menjadi seseorang yang bisa berguna bagi orang lain, ia tidak ingin melihat orang yang tidak berdaya ditindas begitu saja.
"Kamu mau jadi dokter? Itu cita-cita yang sangat mulia." Bibi Mary menatap bangga pada keponakannya. Kemudian ia membetulkan posisi berbaring keponakannya.
"Aku ingin menyembuhkan orang gila, Bi. Apa nantinya aku harus bekerja di dinas sosial juga?" Mira bertanya dengan polosnya.
Bibi Mary tersenyum. Sekarang ia pun paham, ternyata Mira si anak banyak tanya itu, ingin menjadi psikiater yang bisa menyembuhkan penyakit kejiwaan. Pernyataan polos Mira mengingatkannya pada seseorang yang sudah lama tidak ia temui.
"Ya sudah. Besok kita sambung lagi ceritanya! Ini sudah malam, sekarang kita harus tidur!" ajak bibi Mary sembari membaringkan tubuhnya di sebelah Mira.
"Tapi Bibi belum menjawab pertanyaanku!" desak Mira. Anak itu tidak akan bisa tidur jika tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
"Nanti kamu akan tahu sendiri jawabannya, cukup belajar yang rajin. Sekarang kita tidur, bibi sudah mengantuk!" Bibi Mary memeluk gadis kecil di sampingnya, Mira pun membalasnya.
***
Keesokan harinya.
Mira memperhatikan barang-barang yang akan dibawa ke tempat tinggal barunya nanti. Hanya ada pakaian dan beberapa mainan kesukaannya. Perabotan rumah pun hampir seluruhnya ditinggalkan. Ya, tinggal bersama pertanyaan-pertanyaan yang masih belum dijawab sang bibi.
"Kenapa semua barang-barang ini ditinggal, Bi? Nanti bagaimana kalo aku mau nonton?" Mira bertanya sembari memegang TV yang sering menemani hari-harinya.
"Di tempat tinggal kita yang baru sudah ada, Sayang. Jadi kita tidak usah membawa semua barang-barang ini, biar mang Anang yang mengurus rumah ini dan juga isinya," jelas bibi Mary.
Mang Anang adalah orang kepercayaan keluarga Mira. Pria berusia tiga puluh lima tahunan itu, sudah lama bekerja pada keluarga Mary, bahkan sebelum Mira lahir ke dunia ini, begitu kata bibinya.
"Benarkah? Apa Bibi punya banyak uang?" Mira bertanya lagi.
Mary yang sedang sibuk mengurusi kepindahan mereka, hanya bisa menghela napas panjang. Keponakan tersayangnya ini, selalu mengganggunya dengan berbagai pertanyaan.
"Kamu ini, banyak sekali pertanyaanmu. Sudah, sana masuk mobil!" seru bibi Mary. Tanpa berkata lagi, Mira pun langsung menurutinya. Ia pun tidak mau memperlambat pekerjaan bibinya.
***
Sesampainya di tempat tinggal baru, Mira takjub melihat rumah bibinya. Ia tidak menyangka , Mary ternyata memiliki rumah yang besar dan perabotannya juga sudah lengkap.
"Apa bibiku adalah orang yang kaya raya?" gumam Mira dalam hati seraya memasuki rumah berwarna keemasan itu.
Di umur Mira yang sekarang, sudah jelas ia tidak paham dengan keuangan bibinya. Ia juga tidak pernah bertanya, apa dan di mana pekerjaan wanita yang telah membesarkannya itu? Yang Mira tahu, bibinya itu memiliki penghasilan dari berjualan dan mampu menggaji orang. Entah apa yang dijual, Mira sama sekali tidak mengerti.
"Apa aku akan tidur sendiri, Bi?" Mira bertanya setelah Bibi Mary membawanya ke dalam salah satu kamar yang ada di rumah tersebut. Nuansa pink dengan corak hello Kitty menghiasi kamar berukuran 11, 50 meter persegi itu, senada dengan warna kesukaan Mira.
"Kamu sudah besar, dan besok kamu akan mulai masuk sekolah. Jadi, kamu harus membiasakan diri untuk tidur sendiri," jawab Mary sembari merapikan peralatan sekolah yang akan Mira bawa esok hari.
Mira masih bingung dengan suasana tempat barunya. Bahkan, sekarang gadis kecil itu sudah memiliki kamar sendiri. Ia pun melangkahkan kakinya ke luar kamar, menyusuri ruangan demi ruangan, matanya tidak berhenti memandangi dekorasi di setiap ruangan. Rasanya seperti di alam mimpi, Mira masih tidak percaya dengan yang ada di hadapannya sekarang. Pikirannya melayang-layang. Pekerjaan apa yang sedang ditekuni wanita yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri itu? Jika hanya berjualan, dagangan apa yang sedang diperjualbelikan?
"Hayo ... lagi mikiran apa?" Mary berusaha mengagetkan lamunan Mira yang sedang memandangi kolam renang.
Mira menoleh ke arah datangnya suara, "Aku tidak menyangka, ternyata Bibi sangat kaya, sampai-sampai rumah ini pun ada kolam renangnya." Rasanya Mira ingin sekali menceburkan tubuhnya ke dalam air yang berbentuk persegi panjang itu.
"Ini adalah rumahmu, Mira," gumam Mary dalam hati.
Sherly merasa bersalah karena menghabiskan satu malam panas dengan seorang pria beristri. Pagi harinya, dia memutuskan pergi dan meninggalkan pria yang mungkin telah menyukainya sejak awal pertemuan. Namun, kenyataan pahit menghantam kehidupan Sherly tatkala mengetahui dirinya hamil dan keluarganya memaksa untuk membuang darah dagingnya sendiri. Lima tahun berlalu, Sherly mencari anaknya yang ternyata telah diadopsi oleh keluarga Rosell. Lolita yang menggantikan peran Sherly sebagai ibu dari Aarav ternyata adalah istri dari Hansel, pria yang pernah tidur dengan Sherly lima tahun yang lalu. Setelah mengetahui kebenaran itu, Hansel berniat memiliki Sherly seutuhnya, karena sejujurnya hubungannya dengan sang istri bukan berlandaskan cinta. "Aku menyukaimu dari awal pertemuan, dan kamu juga telah melahirkan anakku, maka kamu harus menjadi milikku, hanya milikku," tekad kuat Hansel untuk memiliki Sherly.
blurb. Pernikahan Ann dibatalkan, karena ia hamil akibat dilecehkan oleh seorang pria kaya raya. Ann yang tengah berbadan dua harus menghadapi berbagai rentetan musibah. Dimulai dari tuntutan mempelai pria yang meminta semua ganti rugi atas batalnya pernikahan. Ditambah lagi kematian kedua orang tuanya akibat tidak sanggup menahan malu atas aib yang menimpa putrinya. Semua kejadian itu benar-benar membuat Ann frustasi, hingga tidak ada pilihan lain, selain menuruti Marina, yang akhirnya menjadikannya sebagai pekerja klub malam. Kini Ann menghapus kata cinta dalam hidupnya. Tidak adanya keluarga membuat hatinya kian membatu dan selamanya akan seperti itu, hingga Ibrahim kembali ke dalam kehidupannya. Mampukah Ibrahim meluluhkan hati wanita yang telah ia sakiti?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?