Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Asmara Mendendam
Asmara Mendendam

Asmara Mendendam

5.0
18 Bab
4.8K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Nezza kesulitan mencari kos yang dekat dengan tempat kerjanya. Melalui sepasang suami istri pemilik sebuah warung, Nezza mendapatkan kos yang konon berhantu. Arwah gentayangan itu diduga jelmaan dari mahasiswi yang terbunuh 2 tahun silam. Nezza berkenalan dengan Ari, mahasiswa Teknik UGM yang merupakan anak dari pemilik kos. Nezza kesal setengah mati pada Ari. Meski begitu Nezza tak dapat memungkiri ada yang bergetar di hatinya. Jessy yang dewasa dan mengemong bercerita banyak tentang sosok Ari. Diam-diam Nezza menaruh kagum pada pria dingin itu. Adelina dan Putri adalah duet penghuni kos yang agresif memburu cinta dari Ari sedangkan Rahma penghuni kos yang pendiam dan tertutup. Tidak terpengaruh pesona Ari. Semua penghuni kos mengaku pernah mendapat teror menyeramkan. Namun sedari awal Ari yakin bahwa pelaku dari kejadian aneh tersebut bukanlah hantu. Ari berupaya membongkar misteri ini tetapi tidak kunjung berhasil. Hingga suatu malam, Nezza mendapatkan gangguan kembali. Pintu kamarnya digedor-gedor, kaca jendelanya pecah dengan lumuran darah. Rahma tiba-tiba muncul dan menuduh Jessy sebagai pelaku dari semua kejadian aneh yang terjadi di kos tersebut. Bahkan Rahma menuduh Jessy sebagai pembunuh Sarah, mahasiswi yang terbunuh dua tahun silam. Akankah berbagai misteri yang terjadi di kos itu tersingkap?

Bab 1 Berteduh

Rintik air langit mulai banyak kala langkah Nezza telah menyentuh teras sebuah warung kecil. Ia memutuskan berteduh demi menghindari curah gerimis yang mulai membuat kepalanya pening. Lekas tangannya membebaskan punggungnya dari berat ransel besar. Ransel itu ditaruhnya di lantai warung. Ia lantas duduk di bangku panjang dengan menyelonjorkan kaki yang mulai pegal. Sejenak melepas penat.

Sejak tadi pagi ia mengembara mencari, belum ditemukannya kos yang masih kosong. Ia kemudian membeli sebotol minuman ringan untuk melegakan tenggorokan yang mengering. Pula ia izin pada pemilik warung untuk menumpang istirahat sebentar.

“Dari mana, Mbak?” sapa bapak pemilik warung ramah.

Tampaknya bapak tersebut paham kalau Nezza tengah menyandang letih dan gudah. Nezza meneguk minuman isotoniknya sebelum menjawab pertanyaan.

“Saya mencari kos, Pak. Dari tadi sampai sekarang belum menemu yang kosong,” jawab Nezza pasrah. Di kedalaman lubuk hatinya, ia berharap bapak pemilik warung bisa memberi sedikit solusi.

“Sudah saya tebak,” cetus si bapak.

“Memang Mbak, setahun terakhir banyak mahasiswa dan karyawan yang cari tempat kos di wilayah sini. Selain strategis, wilayah sini terkenal dengan harga kulinernya yang beragam dan murah. Lebih-lebih lagi setelah ada dua perusahaan baru yang beroperasi di dekat sini."

“Bapak mungkin punya rekomendasi kos yang masih kosong?” tanya Nezza berharap.

Bapak pemilik warung yang ramah membuka pintu kecil di samping warungnya. Beliau kemudian melangkah keluar untuk duduk di samping Nezza.

“Memangnya tadi Mbak sudah cari ke mana saja?” tanya si bapak akrab usai duduk di samping Nezza.

“Sudah sejak tadi pagi saya muter-muter Jalan Awan, Mendung, dan Petir tetapi setiap kos yang saya datangi sudah penuh,” jawab Nezza berkeluh kesah. Entah, dalam waktu singkat, ia seolah memiliki kedekatan emosional dengan bapak di sampingnya. Mungkin karena bapak tersebut usianya tidak jauh berbeda dengan ayahnya.

Bapak pemilik warung termenung beberapa saat. Nezza mengalihkan pandang mata kepada rintik hujan terakhir. Sembari memberi kesempatan penuh kepada bapak di sampingnya untuk berpikir tanpa gangguan.

“Wah, berarti tadi Mbak sudah cari dari depan ya?” si bapak bergumam lirih. Memecah hening di antara keduanya.

Bersamaan dengan itu, seorang wanita setengah baya-yang kemungkinan besar istri dari si bapak-masuk ke warung lewat pintu belakang dan mencari-cari suatu barang di rak-rak warung.

“Bu, kira-kira kos yang masih kosong di mana ya?” tanya si bapak kepada wanita tersebut.

Wanita yang dipanggil ibu itu menghentikan aktivitas. Sekilas ekor matanya menatap Nezza.

“Setahu Ibu sih sudah tidak ada, Pak. Soalnya kemarin juga ada anak yang cari tetapi sudah tidak dapat. Entah karena terdesak akhirnya dia terpaksa ke tempat Pak Ruslan,” jawab ibu tersebut.

Si ibu dan si bapak sempat tertangkap oleh mata Nezza saling berpandangan penuh arti. Seakan-akan mereka tengah berbincang dengan kode atau isyarat rahasia. Nezza bisa terpikir sebagaimana itu karena ayah dan ibunya pun sering melakukan hal yang sama.

“Kalau Mbak mantap kos di wilayah sini, kos Pak Ruslan bisa jadi pilihan. Saya yakin, di sana masih ada kamar kosong,” ujar si bapak dengan wajah semringah. Seolah-olah beliau merasa ikut senang dapat membantu. Wajah Nezza yang tadinya murung langsung cerah.

“Bapak bagaimana sih!” bentak si ibu dengan raut cemas.

Tatap mata bapak dan ibu itu bertaut kembali. Lagi-lagi mereka berdiskusi dengan bahasa isyarat yang tidak akan bisa diterjemahkan oleh orang lain.

Nezza menangkap ada yang tidak beres. Entah apa itu, tampaknya tengah terjadi kesalahpahaman antara bapak dan ibu tersebut. Rona wajah si ibu seperti tengah menampakkan keengganan. Sedangkan mimik wajah si bapak tampak berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Itu hanya kecemasan tak berdasar.

“Begini, Mbak. Setelah saya timbang-timbang, lebih baik Mbak cari kos yang di wilayah lain dulu. Tidak mengapa jauh sedikit, asal nyaman dan aman.”

“Kenapa Pak? Bukannya tadi Bapak bilang kalau di tempat itu masih ada kamar kosong? Terus terang, saya sudah capek, Pak. Saya juga tidak punya banyak waktu lagi. Besok saya sudah mulai masuk kerja,” ungkap Nezza meluapkan kebingungan pula keputusasaan yang menyergapnya.

Bapak itu seperti ragu untuk menjawab. Nezza mengalihkan tatap matanya pada si ibu. Menagih penjelasan.

“Memangnya apa yang salah dengan tempat itu, Pak, Bu?” kejar Nezza penasaran ketika tak kunjung mendapat jawaban.

Nezza tidak tahu mengapa ia bisa bertanya sedemikian rupa tetapi menurutnya ada yang salah dengan kos Pak Ruslan itu. Bapak pemilik warung masih bergelut dengan pikirannya sedangkan muka si ibu kian menegang. Lama keduanya terdiam dengan kecamuk di kepalanya masing-masing sementara Nezza menunggu penjelasan. Ia yakin pada akhirnya salah satunya akan membuka suara.

“Tempat itu sudah sejak dua tahun yang lalu jarang yang menghuni. Sekarang yang menempati cuma pemilik rumah: Pak Ruslan dan istrinya. Seminggu sekali anaknya yang kuliah di Yogyakarta pulang.”

Bapak pemilik warung sejenak menghela napas. Demi melihat wajah Nezza yang masih menyimpan banyak tanya, bapak pemilik warung melanjutkan penjelasannya.

“Jarang yang mau mengekos di situ setelah seorang penghuni kos diketemukan bunuh diri. Setelah tragedi itu, berembus kabar burung yang menyebut bahwa arwah mahasiswi yang bunuh diri itu gentayangan. Beberapa orang yang mengaku melihat penampakannya mengatakan bahwa mahasiswi tersebut meminta keadilan. Karena ia tidak bunuh diri melainkan dibunuh.”

Nezza mendelik. Tengkuknya tiba-tiba meremang.

“Sampai sekarang tiap ada yang mengekos di situ, pasti tidak betah. Katanya mereka kena teror. Ada satu penghuni yang bertahan di kos itu walaupun dia juga sering mengalami gangguan. Ya, tampaknya dia tidak punya pilihan selain bertahan,” ucap si ibu menimbrung.

“Kalau anak yang kemarin jadi mengekos di sana, sekarang ada dua orang,” imbuh si ibu.

“Terserah Mbak saja mau tetap mengekos di sana atau tidak. Secara pribadi, saya tidak percaya tentang hantu. Nyatanya Jessy si penghuni yang bertahan di kos Pak Ruslan baik-baik saja sampai sekarang. Tiap mampir ke sini, ia sudah tidak pernah lagi bercerita tentang teror yang menimpanya. Mungkin arwah gentayangan atau peneror misterius sudah bosan mengganggu. Tapi saya juga tidak mau mempengaruhi keputusan, Mbak.”

Setelah melalui berbagai pertimbangan matang, Nezza akhirnya mantap menanyakan letak kos Pak Ruslan. Keputusan Nezza itu didasari pada kenyataan bahwa di wilayah yang mendadak berubah menjadi pemukiman padat akan susah menemukan kos lain. Kos-kosan lain memang ada tetapi terlalu jauh dari tempatnya bekerja. Jadi Nezza tak punya pilihan lain selain di rumah kos Pak Ruslan. Dengan tekad kuat, Nezza pamit kepada bapak dan ibu pemilik warung yang sudah demikian ramah kepadanya.

Nezza tidak lupa mengucapkan terima kasih. Meskipun agak terlambat, Nezza mengajak berkenalan. Menyadari keterlambatan yang sama, si bapak dan ibu pemilik warung pun menyambut ajakan perkenalan itu dengan hangat.

“Saya Pak Hasan dan itu istri saya namanya Bu Asri.”

“Nezza, Bu.” Nezza hendak menghampiri dan menyalami Bu Asri tetapi Bu Asri sudah lebih dulu tergopoh-gopoh keluar warung.

Dengan nada sedikit cemas Bu Asri kemudian berpesan supaya Nezza berhati-hati selama mengekos di kos Pak Ruslan. Sementara Pak Hasan cuma menanggapi dengan senyuman atas wejangan istrinya untuk Nezza. Menjelang perpisahan, Pak Hasan dan Bu Asri berpesan supaya Nezza sering-sering mampir ke warungnya. Dapat Nezza rasakan betapa hangatnya sikap sepasang suami istri itu kepada dirinya. Mendadak Nezza jadi rindu keluarganya di kampung halaman. Padahal ia baru berpisah sebentar. Belum ada hitungan hari.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 18 Orang Ketiga   02-16 11:01
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY