Dewasa ini memang pendidikan tak menjamin pekerjaan seseorang. Seperti itu juga yang di alami Kania Rindani, seorang gadis yang tumbuh sebatang kara karena kepergian orang tuanya akibat kecelakaan mobil. Dia adalah gadis yang sangat cerdas dan juga penuh perhitungan.
Dia berkuliah dengan beasiswa selama ini. Untuk bisa terus melanjutkan kuliahnya dia juga bekerja paruh waktu dan mengambil les privat untuk mendapatkan penghasilan.
Setelah kepergian ayah dan ibunya, dia tumbuh dan besar di keluarga sang paman tanpa kasih sayang. Bibinya selalu bersikap buruk dan menuntut balas apa yang telah keluarga itu berikan padanya.
"Kau tahu berapa uang yang kau pakai untuk biaya hidupmu selama ini?" gertak bibinya yang serakah itu-Bibi Yani.
"Aku sudah cukup tahu, Bi. Kau hampir setiap hari mengungkit hal itu," jawab Kania.
"Lantas? Mengapa tak dapatkan uang juga sampai sekarang? Kau keluar setiap hari hanya untuk mencari kerja," bentaknya lagi
"Bibi kehabisan uang? Gaji paruh waktuku bulan lalu bahkan aku berikan semua pada Bibi dan itu belum ada seminggu," bantah Kania.
"Kau pikir makan tak butuh uang?" sela Bibi Yani.
"Pakai dulu uang peninggalan orang tuaku jika Bibi kehabisan uang," kata Kania mengingat tabungan yang ditinggalkan orang tuanya sama sekali tak ia gunakan karena bibinya itu sering kali malarangnya memakai.
"Uang apa? Tanyakan pada Pamanmu, kenmana uang itu pergi? Ini sudah lebih dari delapan tahun, Kania. Kau pikir uang itu masih?" gertaknya.
Harta peninggalan keluarganya dihabiskan sang bibi untuk membayar hutang suaminya yang tak lain adalah kakak dari ayah kandung Kania. Hingga pada akhirnya saat Kania akan masuk perguruan tinggi, mereka sudah tak memiliki apapun selain sebuah rumah di kampung halaman Kania.
"Hampir setiap hari bibi mengumpat dan membentakku seperti ini hanya karena aku belum mendapatkan pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?" batin Kania sembari berbaring menatap langit kamarnya yang penuh warna cokelat karena atap yang bocor.
Baru saja matanya akan terpejam, ponselnya berdering dengan lantang.
"Nomor tak dikenal?" lirihnya.
Dia segera menjawab panggilan itu.
"Halo," katanya.
"Ah, akhirnya kau menjawab. Apa benar ini dengan Kania Rindani?" tanya sesorang itu.
"Benar, saya sendiri," jawab Kania sedikit canggung.
"Datang sekarang ke FM Entertainment. Temui Direktur Samuel Prayoga di lantai tiga." Suara pria itu mengakhiri panggilan.
Tanpa maksud yang jelas pria itu memintanya datang. Kania bangun dan memeriksa berkas lamaran kerjanya. Tapi tak ada satupun amplop yang ditujukan ke perusahaan itu.
"Apa ini?" lirihnya.
Tak ingin membuang waktu Kania beranjak memastikan apa maksud dari telepon itu. Dia memberhentikan taksi dan menuju perusahaan hiburan yang menaungi banyak artis sukses itu.
"Bisa saya bertemu dengan Tuan Samuel?" tanyanya pada resepsionis.
"Apa Anda Nona Kania Rindani?" tanya gadis di balik meja itu.
"Benar," jawab Kania.
"Lantai 3 sebelah kanan lift, itu ruangannya," jelas sang resepsionis.
Kania segera masuk lift dan menuju lantai 3.
"Nona Kania Rindani? Lulusan terbaik fakultas administrasi bisnis." Direktur itu membaca sebuah berkas.
"Anda tahu saya lulusan terbaik?" tanya Kania.
"Tentu saja, aku memiliki banyak sekali kolega dosen di universitas tempatmu berkuliah," jelas Samuel.
"Ah, tentu saja. Saya salah satu mahasiswa penerima beasiswa dari perusahaan ini," balas Kania tiba-tiba ingat.
"Baca kontrak ini dan pikirkan dalam lima belas menit," ujar Samuel.
Kania terheran, keduanya baru saja bertemu dan tiba-tiba saja perusahaan itu sudah menyiapkan kontrak.
"Sepertinya Anda sudah lama mengamati saya," ujar Kania setelah membaca kontrak itu.
Nilai kontrak yang fantastis dan bisa dibilang tak main-main.
"Tentu saja, salah satu orangku merekomendasikan dirimu di urutan pertama untuk bekerja di sini," jelas Samuel.
Kania memikirkan siapa gerangan yang merekomendasikan dirinya hingga menerima tawaran kontrak yang begitu besar.
"Nilainya tak main-main memang. Tapi saya menjadi takut, bagaimana mungkin Anda mempekerjakan pegawai baru yang belum berpengalaman dengan gaji sebesar ini," tanya Kania.
"Sudahlah jangan terlalu berbelit-belit. Pahami dan cepat putuskan saja," kata direktur.
Kania membaca dengan seksama dan tergiur gaji besar yang ditawarkan. Perusahaan itu menawarinya kontrak kerja yang tak main-main. Gajinya tiga kali lipat dari gaji pegawai biasa.
"Apa kau akan mengambil kesempatan ini?" tanya sang direktur-Samuel Prayoga.
Dia tergiur gaji besar dan memilih menanda tangani kontrak kerja selama empat tahun pada perusahaan hiburan mentereng. Yang dia pikirkan saat ini hanya ingin segera bekerja dan mendapat uang untuk membungkam mulut bibinya.
"Semoga pilihan ini tepat. Aku bisa segera lepas dari rongrongan wanita penghisap darah itu," batin Kania.
Tanpa penjelasan yang detail. Kania tak tahu jika gadis 26 tahun yang menanda tangani kontrak sebagai seorang manager sang putra-Narendra Prayoga. Pria berusia 24 tahun yang baru akan tiba dari Amerika merampungkan syuting film.
Karirnya yang baru naik daun membuat Samuel merasa khawatir pada putranya itu. Sehingga dia merasa perlu mencari manager yang bisa mengurusnya dengan baik.
Dalam kontrak tertera jika Kania akan mengurus segala urusan management perihal kontrak dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendapatan pribadi Naren.
"Kau akan bertemu dengannya sepulang dia dari Amerika," ucap Samuel.
"Baik, Tuan," balas Kania.
"Jangan khawatir, dia tak seperti yang diberitakan media. Dia adalah artis yang termakan berita media saja," ujar Samuel.
"Bukankah seharusnya Anda mencari manager yang berpengalaman jika tahu putra Anda begitu berharga? Mengapa memilih manager tak berpengalaman seperti saya?" tanya Kania.
"Jawabannya adalah karena kau gadis tangguh dan pantang menyerah. Percayalah, apapun kesulitan yang Naren perbuat nanti itu hanya karena dia lelah dan jarang bersosialisasi," jelas Samuel.
Pembicaraan berakhir dan saat keluar ruangan ponsel Kania berdering. Bintang-kekasih Kania-menelpon mengatakan jika dia sedang istirahat makan siang.
Bintang bekerja sebagai seorang anggota mikiter negara kini dia sedang berada di barak pelatihan. Sudah dua tahun keduanya menjalin kasih. Dan sudah hampir enam bulan keduanya tak bertemu.
"Aku akan segera kembali setelah pelatihan ini berakhir. Jangan khawatir. Aku hidup dengan baik disini," kata Bintang dari ujung ponsel.
Air mata kerinduan Kania meleleh membasahi pipi.
* * *