/0/4111/coverbig.jpg?v=49c8a6f31c26fa66a2a354791239267b)
Dicampakkan dan dipermalukan, Elice Danurdara tak pernah mengira bahwa ia akan tetap bertahan pada hidup. Nyaris menyerah. Hingga malam itu mengantarkan dirinya pada satu pembuktian gila. Bahwa dirinya masih berharga. Garettinus Hardiyata namanya. Pria asing yang membuktikan pada Elice bahwa di matanya wanita itu masih sangat berharga. Melalui tatapannya, melalui cara bicaranya, dan melalui ... sentuhannya.
Rasanya tidak pernah ada kesedihan yang mampu membuat seorang Elice Danurdara menumpahkan air matanya sedemikian rupa seperti saat ini. Di mana bukan hanya tangisannya yang tampak memilukan, tapi isakan yang berulang kali mengguncang pundaknya juga turut membuktikan bahwa ia begitu terluka. Layaknya dunianya sudah hancur lebur tanpa ada sisa.
"Aku benar-benar mencintaimu, Elice. Sungguh. Aku benar-benar mencintaimu."
Elice ingin mengenyahkan suara itu dari benaknya. Tapi, semakin banyak minuman yang ia teguk, maka semakin kuat pula suara itu menggema. Tidak mampu ia singkirkan. Betapa pun ia menginginkannya.
"Dasar kau bajingan, Ariel!"
Elice meremas gelas di tangannya dengan kuat. Benda bening yang terbuat kaca itu seolah menjelma menjadi sosok sumber rasa sakit hatinya. Ia butuh pelampiasan. Dan mungkin dalam waktu dekat, pelampiasan itu akan berubah bentuk menjadi kepingan pecahan beling.
"Ssst."
Ternyata gelas kosong itu masih bernasib mujur. Ada satu tangan yang mendadak saja melepaskan benda itu dari genggaman tangan Elice. Layaknya seorang pahlawan yang sedang menyelamatkan korban tak berdosa dari pembantaian membabi buta.
Elice menoleh. Mengerjapkan mata dan menghentakkan kepalanya sekali. Berusaha untuk menerangkan sedikit penglihatannya yang sedikit kabur. Dampak dari minuman yang ia teguk dan berkat lampu berkelap-kelip yang menerangi tempat tersebut.
Ada seorang pria. Berpakaian rapi perpaduan antara jas hitam dan kemeja tanpa dasi. Dua kancing teratas di sana tampak terbuka. Sedikit menampilkan kulit bewarna perunggu yang terlihat berkilat lantaran setipis keringat yang membasahinya.
"Aku Garett. Dan kau?"
Tangan itu menyisihkan gelas Elice ke jarak yang aman dari jangkauannya. Lalu ia menawarkan jabat tangan. Tanda perkenalan yang justru disambut oleh dengkusan oleh Elice. Tangannya naik dan mengibas.
"Pergi dan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak ada urusan denganmu."
Pria yang mengaku bernama Garett itu tersenyum miring. Tampak tidak canggung sama sekali ketika jabat tangannya diabaikan. Bukannya diterima, yang ada justru sebaliknya. Ditolak. Dan itu terang-terangan terjadi di hadapan seorang bartender yang sedang meramu minumannya. Ia mendengkus geli. Memberikan isyarat pada Garett dan pria itu hanya mengangkat bahunya sekilas.
"Sepertinya kau sedang memiliki masalah yang cukup besar."
Ekspresi geli di wajah sang bartender semakin menjadi-jadi. Ia menggeleng berulang kali dan memutuskan untuk angkat kaki dari sana. Tidak ingin melihat pertunjukan yang mungkin akan dimulai sebentar lagi.
"Masalah yang seharusnya tidak pernah datang untuk membuat seorang wanita secantikmu menangis seorang diri seperti ini."
Elice memejamkan matanya. Sekarang sepertinya ia berhasil mengusir suara Ariel yang sejak tadi seolah terus menggema di benaknya. Tapi, nahas. Hilangnya suara Ariel justru digantikan oleh suara lainnya yang sok peduli dengan keadaannya sekarang.
"Kau tidak bisa pergi dari sini?" tanya Elice dengan nada sengit. "Apa kau tidak tau pintu keluar?"
Garett tertawa. Tidak merasa tersinggung sama sekali. Alih-alih ia justru melakukan sesuatu yang membuat Elice membelalakkan mata.
Garett menarik satu kursi bundar di sana. Duduk. Tepat di sebelah Elice. Dan melihat itu, Elice menggeram.
Elice tidak ingin menambah daftar kekacauannya hari itu. Cukup kejadian dengan Ariel yang membuat ia berantakan. Ia tidak ingin berurusan dengan orang asing yang gila malam itu.
Kursi yang Elice duduki berputar. Cukup memberikan sinyal bahwa dirinya akan segera pergi dari sana. Tapi, Garett tidak membiarkan Elice untuk meninggalkan dirinya.
Elice mendapati kursi yang ia duduki kembali berputar ke posisi semula. Ia melihatnya. Ada tangan Garett yang melakukan hal tersebut.
"Kau."
Mata Elice sekarang bukan lagi membesar. Alih-alih justru melotot. Dan seharusnya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan isyarat bahwa ia tidak suka dengan apa yang telah Garett lakukan.
Garett menyeringai. Ia menunjukkan jam di tangannya. "Masih jam sebelas, Nona. Masih terlalu pagi untuk pulang sekarang."
"Apa pedulimu? Bahkan kalaupun aku memutuskan untuk pulang jam tiga pagi, kau tidak ada hak untuk melarangku."
Seringai di wajah Garett semakin menjadi-jadi. Matanya fokus pada berkas merona bewarna kemerahan yang timbul di pipi Elice. Entah itu karena pengaruh minuman atau mungkin karena pengaruh marah padanya. Tapi, Garett tidak peduli apa penyebabnya. Yang ia pedulikan hanya satu. Warna yang terkesan alamiah itu membuat ia betah memandang wajah Elice berlama-lama. Tampak menarik.
"Aku memang tidak ada hak untuk melarangmu, Nona," ujar Garett seraya memajukan sedikit tubuhnya. Mengikis jarak di antara mereka berdua dan ia memanfaatkan fakta itu untuk menatap lekat pada kedua bola mata Elice. "Tapi, sejujurnya saja. Aku tidak tega melihat wanita sepertimu harus menangis seorang diri di tempat seperti ini."
Lagi-lagi, Elice mendengkus.
"Bahkan lebih dari itu. Tidak seharusnya seorang wanita sepertimu menangis."
Mendengar hal itu, mata Elice spontan berkedip sekali. Lalu satu senyum muncul di bibirnya. Membentuk ekspresi yang membuat Garett mengerutkan dahi. Lantaran senyum itu tampak aneh di matanya.
"Kalau kau ingin merayu wanita," ujar Elice kemudian. "Carilah wanita lain, Tuan. Aku sudah muak mendengar kata-kata manis dari kaum pejantan seperti kalian."
Garett tak mampu menahan kesiap takjubnya. Ia terbahak dan tampak tidak tersinggung sama sekali.
"Hahahahaha."
Tawa yang menyebalkan bagi Elice. Dan ia tidak berencana untuk mendengarkan tawa itu di sepanjang malamnya. Ia akan pergi dari sana. Sebelum emosi di dalam dadanya beranakpinak dan tak mampu ia kendalikan lagi. Siapa yang akan menjamin kalau Elice tidak tersulut untuk memecahkan gelas kosong miliknya tadi di kepala pria itu?
Hanya saja, untuk kedua kalinya, keinginan Elice untuk pergi dari sana harus gagal. Kali ini bukan karena Garett memutar kembali kursi yang ia duduki. Alih-alih lebih dari itu. Sekarang dengan terang-terangan Garett menahan satu tangan Elice.
Elice melotot. Melihat bagaimana dengan beraninya Garett memegang pergelangan tangannya. Ia berusaha menarik lepas tangannya, tapi Garett justru membawanya untuk semakin mendekat padanya.
Garett menarik tangan Elice. Dan memanfaatkan roda-roda di kaki kursi, Elice meluncur tak berdaya. Ke arah Garett yang sudah menunggunya.
Elice memejamkan matanya spontan. Saat mendapati bagaimana posisi mereka yang kala itu amat dekat membuat belaian hangat napas Garett menyentuh kulit wajahnya. Dan ketika ia membuka mata, Garett tersenyum padanya.
"Aku bukannya ingin merayu dirimu, Nona. Tapi ...."
Garett tampak menarik napas dalam-dalam, matanya bergerak. Mengamati keadaan Elice yang terkesan berantakan. Walau ia terlihat cantik dalam balutan gaun selutut bewarna hitam, nyatanya ada kejanggalan yang membuat mata Garett seolah gatal setiap melihat.
"Aku hanya ingin tau. Mengapa seorang wanita sepertimu bisa menangis seperti ini seorang diri? Ehm ... kau seharusnya menikmati hidup. Bukan malah menangisinya."
Untuk terakhir kalinya, Elice mencoba untuk menarik lepas tangannya dari genggaman tangan Garett. Tapi, hasilnya nihil. Tetap sama saja. Garett benar-benar memastikan bahwa Elice tidak akan pergi dari sana. Setidaknya sampai ia menjawab pertanyaan pria itu.
"Kau ingin tau alasan mengapa aku menangis seperti ini?" tanya Elice mengulang pertanyaan yang ia dapatkan. "Kau ingin tau kenapa aku tampak menyedihkan seperti ini?"
Samar, Garett mengangguk.
"Jawabannya sudah aku katakan."
Garett sedikit mengerutkan dahinya. Mungkin berusaha mengingat. Tapi, ia tak yakin.
"Jawabannya adalah ..." Elice menatap Garett lekat. "... kaum pejantan seperti kalian."
"Ingin menceritakannya?"
"Dengan orang asing yang gila sepertimu?"
Pertanyaan Elice membuat Garett terkekeh.
"Terima kasih. Tapi, tidak," geleng Elice. "Aku masih punya banyak hal lainnya yang lebih waras untuk dilakukan ketimbang membicarakan urusan pribadiku pada orang asing sepertimu."
"Orang asing ini tidak akan membuatmu rugi apa pun."
Elice tertegun mendengar perkataan Garett. Terutama ketika dilihatnya ekspresi wajah itu. Yang tampak santai dan tanpa beban sama sekali. Dan ia tersenyum. Membuat kesan menarik seketika timbul di wajahnya.
"Kau sedih. Kau butuh pelampiasan. Dan kebetulan ... aku sedang kosong," kata Garett ringan. "Aku punya beberapa jam ke depan untuk mendengarkan semua kegundahanmu. Tawaran yang menarik bukan?"
Dramatis, Elice menarik napas dalam-dalam. Dengan matanya yang kemudian menatap pada kelap-kelip lampu yang menerangi tempat itu. Ia sepertinya butuh oksigen murni untuk bisa bernapas dengan lancar. Agar pikirannya bisa tetap jernih.
"Dan dibandingkan dengan orang yang kau kenal, ehm ... terutama dengan orang yang dekat denganmu, berbicara dengan orang asing justru memberikanmu keleluasan. Tak ada penghakiman, tak ada pemvonisan. Yang ada hanya satu. Mutlak mendengarkan."
Elice mengerutkan dahinya. Sekarang ia bertanya-tanya. Apa ia sudah terlalu banyak minum malam itu? Sehingga entah mengapa perkataan orang asing di depannya itu terkesan masuk akal?
Sementara Garett, ketika ia mendapati Elice yang terdiam, ia tau. Bahwa perkataannya sedikit banyak sudah mempengaruhi Elice. Sesuatu yang membuat ia semakin percaya diri. Dan kembali melanjutkan perkataannya.
"Dan aku bisa pastikan bahwa aku adalah pendengar yang baik."
Diam sejenak, tidak langsung menerima tawaran yang datang padanya, Elice justru memanfaatkan beberapa detik waktunya untuk mengamati Garett. Pria itu memberikan kesan bahwa ia adalah sosok yang santai. Dan karena itulah mengapa Elice yakin akan sesuatu. Bahwa Garett adalah pria yang termasuk ke dalam golongan buaya darat. Karena sepertinya itu adalah ketetapan alam. Pria buaya darat memiliki bakat bersosialiasasi yang bagus. Termasuk di dalamnya bila itu menyangkut keahlian menyapa orang asing tanpa ada rasa canggung sedikit pun.
"Katakan padaku, Tuan," kata Elice pada akhirnya. "Apa ini cara yang biasa kau lakukan untuk menggoda wanita di klub secara acak?"
"Hahahahaha."
Garett tertawa. Terbahak-bahak hingga pundaknya benar-benar berguncang karenanya. Bahkan lebih dari itu, matanya yang gelap lantas tampak basah.
"Aku tidak pernah menggoda wanita di klub secara acak, Nona," geleng Garett. "Kau bisa bertanya pada semua orang di sini. Aku selalu menghabiskan waktunya di sini dan aku yakin tidak ada seorang pun yang tidak mengenalku. Dan aku yakin, tidak ada satu pun dari mereka yang pernah melihatku menggoda wanita seperti aku yang saat ini sedang berbicara denganmu." Ia tersenyum. "Itu pun kalau kau menganggap perkataanku sebagai bentuk godaan."
Wajah Elice terasa panas. Ia jelas bisa menangkap kesan sindiran yang samar dilayangkan oleh Garett. Sesuatu yang mau tak mau membuat Elice merasa malu juga.
Oh, Tuhan! Ini bukan berarti Elice yang merasa terlalu percaya diri sehingga menganggap Garett sedang menggodanya. Tapi, apa ada hal lain yang bisa dipikirkan seorang wanita seperti Elice ketika mendapati pria asing mendatanginya dan lantas mengajaknya berbincang-bincang? Tentu saja tidak ada.
"Kalau ini bukan bentuk godaan ..." Elice menatap Garett. "... lantas mengapa?"
Tatapan Elice dibalas sepenuhnya oleh Garett. Hingga untuk beberapa detik, hanya ada kebisuan di antara mereka. Seolah suara musik yang melantun di sana tidak berhasil menjamah indra pendengaran keduanya.
Kala itu, sebenarnya bukan hanya Elice yang mempertanyakan hal tersebut. Alih-alih, Garett pun demikian. Mengapa? Mengapa ia harus meninggalkan tempatnya dan lantas menghampiri seorang wanita asing yang tengah menangis? Apa ia sedang kurang kerjaan? Atau ... apa?
Dan sekarang, saat Garett menatap sisa air mata di pipi Elice, ia pun menyadari satu hal. Alasan mengapa pada akhirnya ia masih memegang pergelangan tangan Elice ketika wanita itu tidak lagi menunjukkan tanda-tanda akan pergi dari sana. Itu karena ....
"Aku penasaran. Sehebat apa pria yang bisa membuat seorang wanita menangis seperti dirimu saat ini."
*
bersambung ....
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Disuruh menikah dengan mayat? Ihh ... ngeri tapi itulah yang terjadi pada Angel. Dia harus menikah dengan mayat seorang CEO muda yang tampan karena hutang budi keluarga dan imbalan 2 milyar! Demi keluarganya, pada akhirnya Angel terpaksa menerima pernikahan itu! Tapi, ternyata mayat pengantin pria itu masih hidup! Apa yang akan terjadi selanjutnya? Baca sampai tamat yah, karena novel ini akan sangat menarik untuk menemani waktu santaimu. Salam kenal para pembaca, saya Yanti Runa. Semoga suka ya.
Sejak kecil Naura tinggal bersama dengan asisten Ayahnya bernama Gilbert Louise Tom, membuat Naura sedari balita sudah memanggilnya "Dady". Naura terus menempel pada laki-laki yang menyandang gelar duda tampan dan kekar berusia 40 tahun. Diusianya yang semakin matang laki-laki itu justru terlihat begitu menggoda bagi Naura.
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.