Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Ragu yang Berujung Temu
Ragu yang Berujung Temu

Ragu yang Berujung Temu

5.0
38 Bab
110 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Terjebak di antara dua cinta bukan perkara yang gampang bagi Mikha. Seharusnya dia bahagia karena Khalil — lelaki yang dia cintai selama sepuluh tahun terakhir akhirnya mulai mendekatinya. Tetapi kenyataannya Khalil datang saat dia sedang dekat dengan Malik — lelaki pengangguran yang belum lama dia kenal. Kedua lelaki berkharisma itu ingin menikahi Mikha. Hal itu membuat Mikha harus segera memilih, terlebih karena dia juga tidak ingin memberikan harapan palsu kepada salah satunya. Sayangnya, setelah menikah dia justru tidak pernah merasakan sentuhan suaminya sejak malam pertama pernikahan. Mikha terancam akan diceraikan. Kejadian buruk selalu saja mengguncang kehidupan rumah tangganya. Bahkan saat hubungan dengan suaminya hampir membaik, dia justru melihat secara langsung jika ada perempuan lain yang sangat gigih mendekati suaminya. Haruskah Mikha mengalah pada keadaan sementara dialah yang telah mengambil keputusan untuk menikah? Mikha tetap berharap tetes air matanya dapat menciptakan keajaiban.

Bab 1 Cinta yang Sebenarnya Didamba

Mikha duduk di ranjang dengan kedua telapak tangan bertumpu pada paha. Bulir bening masih melekat pada pipi meronanya. Dia terguguk mendengar omelan lelaki kurus berkopiah hitam yang baru saja menyelesaikan salatnya. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu hingga selepas ibadah pun dia tetap bermuram durja.

Mikha masih menunggu apa yang akan lelaki tersebut ucapkan setelah berulang kali menuduhnya menduakan cinta. Akan tetapi isakan Mikha tidak kunjung mereda, walaupun sebenarnya bukan itu yang ingin dia lakukan. Dia tahu, seorang istri seharusnya menjelma sebagai bidadari surga ketika berada di dalam rumahnya. Sayangnya kali ini Mikha tidak dapat berbuat banyak selain menunduk untuk menyembunyikan air matanya sembari menanti apa pun yang akan suaminya lakukan atau pun katakan.

“Mikha, bisakah kamu mendengarkanku?” tanyanya sembari melirik ke arah Mikha.

Mikha lantas mendongak, menatap kedua mata lelaki yang tengah membenahi kopiahnya itu. Benar yang telah dia duga, hal seperti ini pasti akan terjadi. “Ada apa, Mas?” jawabnya lirih, degup jantungnya seperti saling berkejaran hingga menimbulkan sesak pada dada.

“Dengarkan aku, Mikha. Apa yang akan aku katakan ini adalah sebuah peringatan untukmu.” Lelaki itu terlihat menahan napasnya untuk sesaat. “Aku tidak akan menggaulimu selama hatimu belum bersih dari laki-laki lain!” lanjutnya terus terang, lalu beranjak menuju ruang tengah.

Sungguh perkataan itu sangat melukai perasaan Mikha. Air mata perempuan berhijab itu semakin tidak terbendung. Jilbabnya yang panjang, basah. Bibirnya bergetar, ingin menjawab tetapi mulutnya tidak kuasa bersuara. Sia-sia sudah usahanya untuk meluluhkan hati suaminya. Padahal, dia telah menghabiskan waktu hampir setengah hari untuk menyulap kamarnya serapi dan seindah mungkin mengingat mereka adalah pengantin baru. Sayangnya lelaki yang sudah menikahinya itu tidak akan tinggal di dalam kamar mereka lagi mungkin untuk hari itu, atau juga dengan hari-hari berikutnya. Entahlah! Mikha tidak bisa menduganya.

Akan tetapi Mikha merasa dirinya perlu kembali memperjuangkan rumah tangganya. Bagaimana pun dia baru saja memulai kehidupan barunya.

Karena tidak ingin keadaan semakin buruk, Mikha memutuskan untuk lekas bangkit, lalu mengusap air mata dan menyusul suaminya yang kini sudah berkacak pinggang membelakanginya.

“Mas, aku ingin menjelaskan—”

“Tidak, Mikha! Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun lagi kepadaku,” potongnya dengan cepat dan tegas.

Setelah mendapatkan bentakan, Mikha segera merendahkan tubuh di belakang punggung lelaki yang terbalut kemeja biru itu, lalu tangannya memeluk erat kedua lutut suaminya. “Apa aku terlihat seperti perempuan yang sudah menduakan suaminya?” Mikha berusaha membuat pernyataan di balik pertanyaannya. Dia berharap ada seutas tali kepercayaan yang akan suaminya berikan.

“Menurutmu sendiri bagaimana? Sudahlah Mikha, aku tidak sebegitu membencimu hingga harus membuatmu memohon di kakiku. Yang kuminta hanyalah kesucian hatimu. Jangan pikir aku tidak tahu. Sekarang berdirilah! Aku tidak akan kasihan padamu.” Lelaki kurus itu mencoba mengentakkan kakinya agar terlepas dari dekapan Mikha.

Perasaan Mikha seperti tercabik-cabik. Bagaimana bisa suaminya tidak memiliki belas kasih seperti itu? Bahu Mikha semakin berguncang naik turun seiring menetesnya air mata, dia menyerah untuk yang kesekian kalinya setelah mendengar ultimatum suaminya. Mikha tidak mau berdebat. Dengan berat hati disudahinya permohonan yang terabaikan itu, lalu menjauh dari kedua kaki suaminya dan segera beranjak pergi.

“Aku ingin sendiri di sini, masuklah ke kamar! Tidak perlu menyelimutiku jika aku tertidur di sofa,” pintanya dengan nada memperingati.

“Baiklah, Mas. Aku akan menurutimu,” jawab Mikha lirih, walaupun hatinya enggan menyetujui.

Mikha memang harus menurut dan mengabaikan perasaannya yang sakit. Bagaimana bisa suami istri pisah ranjang sejak malam pertama. Bagaimana Mikha bisa hamil dan memberikan cucu seperti yang kedua orang tuanya harapkan sedangkan setiap malam suaminya tidak pernah menyentuhnya? Padahal, dia berharap pada malam pertama pernikahan, keningnya akan dikecup dengan lembut, lalu pakaian yang membalut tubuhnya akan terlepas satu per satu dengan penuh gelora cinta. Sesungguhnya hal tersebut merupakan harapan yang wajar bagi pengantin baru, terlebih karena usia pernikahan mereka baru tiga minggu. Namun, kenyataan manis yang selama ini dia dambakan hanya berbalas kepahitan.

“Mengapa kamu berubah, Mas? Bukankah dulu kamu berjanji akan memuliakanku sebagai seorang istri setelah kita menikah? Apa salahku kepadamu?” tanya Mikha pada dirinya sendiri. Kini dia kembali menginjakkan kakinya pada ruangan beraroma mawar itu—kamar pengantin, tanpa suaminya lagi. Entah sampai kapan akan seperti itu.

Kini tubuh langsing yang terbalut gamis berwarna merah muda itu terbaring di kasur. “Aku tidak bisa begini, seorang istri seharusnya tidak cengeng, aku harus kuat!” tuturnya, menguatkan hati yang masih teriris pilu.

Mikha mengusap pipinya yang basah. Kemudian, dia meraih pigura berisi foto pernikahan yang terletak di atas nakas. Sepasang mempelai berbusana hijau toska tampak serasi di sana. Mikha ingat betul bagaimana dia berjalan dengan iringan selawat Mahalul Qiyam. Saat itu kedua lengannya digandeng oleh orang tuanya, sedangkan keluarga yang lain berjalan iring-iringan di belakangnya. Mereka berjalan menuju musala yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah. Dari arah yang berlawanan, keluarga mempelai pria berjalan dengan binar kebahagiaan yang serupa. Beberapa di antara mereka membawa oleh-oleh yang akan diberikan kepada keluarga mempelai perempuan. Momen yang sangat manis.

Mereka dipertemukan di dalam musala dengan kedua mempelai duduk bersisihan di hadapan penghulu. Mereka melangsungkan prosesi ijab kabul dengan khidmat. Sampai pada akhirnya para saksi berkata “sah” resmilah sudah keduanya menjadi suami istri. Rona bahagia terpancar dengan jelas. Saat itulah Mikha merasakan kecupan pada keningnya untuk yang pertama kalinya.

Hari itu kebahagiaan seolah-olah tidak akan pernah berakhir. Doa-doa dari para tamu undangan terucap silih berganti. Senyum semringah tiada pudar. Tatapan hangat terihat jelas, mereka bahkan sempat mengucap janji untuk saling mencintai seumur hidup di antara lelahnya berpose untuk foto. Namun, siapa sangka jika kebahagiaan yang tampak akan langgeng itu hanya berlangsung sehari saja. Malam pertama pengantin yang katanya akan penuh dengan gelora asmara ternyata malah berubah menjadi menakutkan. Bukan pelukan hangat yang Mikha dapat setelah selesai membersihkan diri, melainkan sebuah pertanyaan yang lebih condong pada penuduhan. Dan pada malam pertama itu pula suaminya mulai memilih tidur di sofa dibandingkan harus berada satu ranjang dengannya. Seolah-olah dia telah melakukan perbuatan zina hingga terlihat kotor di hadapan suaminya.

“Ya Allah, apakah aku sudah berbuat kesalahan yang sangat hina hingga Engkau memberi ujian seperti ini?” Mikha meneteskan air mata. Dia tidak kuasa lagi untuk mengingat kebahagiaan singkat itu. “Apakah masih ada cinta untukku di hatinya setelah dia mempertanyakan siapa lelaki yang ada dalam hatiku?” Mikha semakin terguguk. Tubuhnya terasa lelah hingga akhirnya dia terlelap.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 38 Merasa Aneh   03-25 22:10
img
2 Bab 2 Muhasabah Cinta
18/02/2022
4 Bab 4 Terancam
18/02/2022
5 Bab 5 Surat
18/02/2022
7 Bab 7 Semakin Dekat
18/02/2022
8 Bab 8 Ada Harapan
18/02/2022
9 Bab 9 Cinta Pertama
18/02/2022
11 Bab 11 Mulai Ada Kita
01/03/2022
12 Bab 12 Datang Untukmu
02/03/2022
13 Bab 13 Terlambat
02/03/2022
15 Bab 15 Pernyataan
02/03/2022
17 Bab 17 Kecewa
03/03/2022
18 Bab 18 Luka Baru
03/03/2022
19 Bab 19 Gerbang Harapan
12/03/2022
20 Bab 20 Menyerah
12/03/2022
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY