/0/4454/coverbig.jpg?v=ed5ebcf6d3a160941f315a46bdde27bf)
Keluarga Melly Sabira terbilang mampu secara finansial. Namun, biaya hidupnya dijatah perhari oleh Alan karena tidak memercayai istrinya sebagai pemegang keuangan. Ditambah lagi ... semenjak Lian, kakak iparnya, menumpang hidup di rumahnya, Melly tak pernah merasa tenang karena selalu diperlakukan sewenang-wenang. Lian merasa menguasai rumah itu dan seisinya. Tak tahan dengan semua yang ia hadapi, Melly diam-diam memulai usaha produk kecantikan yang ia rintis sendiri sampai akhirnya memiliki produk sendiri yang dikenal sampai ke seluruh Indonesia. Belum selesai dengan tingkah laku Lian yang semakin menjadi-jadi, ia malah menjodohkan Alan dengan Siska, teman wanitanya yang tidak lain hanya seorang karyawan di bawah naungan Melly. Siska tak terima karena merasa dilecehkan dan direndahkan. Ia pun melakukan tindakan bengis terhadap keluarga Melly yang mengakibatkan kematian beberapa orang terdekatnya.
Melly baru saja merebahkan tubuhnya di kasur berukuran 180x200 sentimeter. Tulang-tulang punggungnya serasa mau patah setelah setengah hari tanpa henti melakukan pekerjaan rumah. Seisi kamarnya pun semua hanya terlihat seperti bayangan karena penglihatannya yang lelah dan mengabur.
"Melly! Kamu jangan tiduran aja, itu setrikaan masih numpuk!" teriak Lian, kakak iparnya.
"Iya, Mbak, aku lagi enggak enak badan," jawab Melly Lirih.
"Tadi pagi kamu baik-baik aja!"
"Tadi pagi udah meriang, cuma aku gak dirasa aja, Mbak. Tapi, sekarang aku udah ngerasa mau demam. Aku nyetrikanya besok aja, ya?"
"Kalau besok kamu masih alasan sakit gimana? Gak jadi lagi nyetrikanya? Terus Alan mau kerja pake baju apa?" hardiknya lagi sambil berlalu meninggalkan kamar.
Melly mengambil ponsel jadulnya yang masih dengan kamera beresolusi rendah, mencari sebuah kontak untuk dikirimi pesan singkat.
[Yank, aku gak enak badan. Aku boleh minta uang untuk bayar orang buat setrikain baju yang udah numpuk?]
[Emang kamu gak bisa ngerjain sendiri?]
[Kan, tadi aku bilang lagi gak enak badan, Yang]
[Ya, udah pake uang yang tadi pagi aku kasih aja.]
Melly lantas memutuskan telepon sepihak serta melempar ponsel ke ranjangnya karena percuma saja tak akan ada hasilnya berbicara dengan Alan, suaminya.
"Uang yang mana! Dia kasih aku cuma lima puluh ribu sehari, mana cukup!" ujarnya kesal. "Sekarang tinggal sepuluh ribu lagi, itu pun buat jajan Alea. Gimana mau bayar orang! Dasar Gak Peka!"
Melly memutuskan untuk istirahat beberapa waktu supaya meriangnya berkurang. Rencananya, ia akan menyetrika pakaian kerja Alan nanti malam.
Selama menikah, Melly bagai dikurung dalam sangkar, tetapi bukan sangkar emas. Ia tidak bisa bergaul sebagaimana mama muda di usianya yang hangout bersama teman-temannya.
Ia juga tidak memiliki uang lebih untuk membeli kebutuhan pribadinya. Jangankan untuk itu semua, untuk kebutuhan harian saja ia harus pandai-pandai mengatur menu makan setiap harinya.
Keseharian Melly hanya habis untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh putri kecilnya yang berusia tiga tahun. Keinginannya untuk bersenang-senang tak pernah terealisasi barang sekali pun: tidak dengan suaminya maupun teman-temannya.
Alan adalah suami yang sangat tidak peka. Melly hanya diberi uang belanja setiap harinya lima puluh ribu: untuk makan keluarganya dan juga keluarga kakak iparnya yang tinggal satu rumah. Kebutuhan pokok sudah tersedia karena semuanya Alan yang mengatur.
Lian dan keluarganya tinggal di rumah Melly karena belum mempunyai rumah tetap. Oleh karena itu, mertuanya Melly memberi saran untuk tinggal di rumah Melly saja untuk sementara waktu.
"Melly! Masih tiduran aja kamu! Itu liat Alea berantakin rumah!"
"Alea, kan, main sama Rachel, Mbak. Biar aja mereka yang beresin sama-sama.
"Enak aja, itu kan mainan Alea! Lagian juga Rachel mau aku mandikan!"
"Iya, Mbak. Sebentar aku bereskan." Melly mencoba mengalah dengan ucapan lirih.
"Cepat! Aku gak suka liat rumah berantakan!" bentaknya sembari menggendong Rachel ke kamar mandi.
'Aah, udah tinggal numpang, makan numpang, main mainan punya anakku, gak tau diri lagi! Dia pikir siapa tuan rumahnya? Seenak jidat nyuruh-nyuruh!' Melly membatin.
Ia bergegas ke ruangan di mana Alea mengeluarkan semua mainannya dengan langkah sempoyongan. Walaupun kepalanya merasa berkunang-kunang, mata perih, dan seakan mau pingsan, ia memaksakan untuk membereskan mainan yang berserakan di seluruh penjuru ruang tamu.
"Alea Sayang, bantu Bunda masukkin mainannya ke kotak, yuk?"
"Iya, Bunda. Alea, kan, anak baik," jawab putrinya yang menggemaskan itu.
Setelah itu Melly memasak untuk makan malam karena sebentar lagi Alan akan sampai di rumah.
Ia hanya sempat membuat nasi goreng dan telur dadar dikarenakan tidak banyak tenaga yang dimilikinya saat itu. Menu makan siangnya pun sudah tak bersisa. Padahal, ia ingat betul kalau belum makan sejak pagi karena tak ada selera sama sekali untuk makan. Seharusnya, lauk jatah Melly masih ada, tetapi kenyataanya hanya tinggal piring kosong yang tersisa di meja.
"Assalamu'alaikum." Alan dan Roby pulang bersamaan ketika Melly sedang mencuci piring ditemani Alea yang sedang bermain di sampingnya.
"Wa'alaikumussalam." Melly menjawab salam mereka.
"Pah, capek, ya? Makan dulu, yuk?" sahut Lian sambil membuka tudung saji. "Apa ini? Cuma nasi goreng sama telur?" Emang gak ada sayuran apa, Mel?"
"Besok Mbak kasih aku uang belanja buat beli sayuran, ya? Karena uang dari Mas Alan gak cukup buat makan dua keluarga. Itu pun aku sama sekali gak kebagian jatah makan hari ini loh!"
Sontak Lian bergeming karena tak bisa menjawab permintaan Melly. Ia tak mengacuhkan Melly dan mengambilkan makan untuk Roby dan Rachel dengan porsi yang sangat penuh, sedangkan Melly mengambilkan untuk Alan dan menyisihkan sedikit untuk Alea.
"Kamu gak makan?" tanya Alan.
"Emangnya ada yang bisa kumakan?" jawab Melly ketus diiringi Alan, Lian, dan Roby yang menatap mangkuk nasi goreng yang sudah bersih tak tersisa. Lian dan keluarganya makan dengan santai tanpa memedulikan Melly yang sudah memasak untuk mereka.
"Kamu masak nasi lagi aja, lauknya masih ada, kan?" ujar Alan kepada istrinya yang terlihat dongkol.
"Gak usah, aku gak lapar!" jawab Melly ketus. "Aku ke kamar dulu mau salat," lanjutnya sambil menuntun Alea.
"Jangan lupa nyetrika, Mel! Alan udah gak ada baju, kan, untuk besok!" hardik Lian seketika.
"Gak apa-apa, Kak. Alan bisa nyetrika sendiri," Alan pun menanggapi.
"Jangan dibiasain, Lan. Nanti dia manja!"
Alan tak menjawab. Sementara itu, Melly merasa sedikit lega karena mendengar Alan membelanya.
Selesai salat, Melly pergi ke ruang belakang menyempatkan untuk menyetrika baju kerja suaminya. Tiba-tiba dari depan pintu, Lian melontarkan beberapa helai baju di atas tumpukan setrikaan Melly dengan tak acuh. Sikapnya itu membuat Melly geram. Ia mendelik tajam pada ipar wanitanya itu, lalu kembali fokus menyetrika. Padahal, hatinya sedang berkecamuk.
"Sekalian baju Roby, ya?!" ujarnya tanpa dosa sambil meninggalkan Melly.
Melly menghela napas dalam-dalam, "Sabar Mel, ini cuma dua pasang baju. Kalau sepuluh kusetrika sampe gosong semua ini baju!" Melly berusaha menghibur diri.
Malam hari, demamnya semakin tinggi. Melly menggigil kedinginan dengan dahi dipenuhi keringat. Alan yang sudah tertidur lelap di sisinya tidak merasakan jika istrinya sedang menahan sakit hingga pagi harinya demam semakin tinggi.
Pagi itu Melly bangun terlambat dan tidak sempat menyiapkan sarapan. Untung saja dirinya sudah membelikan roti sore sebelumnya untuk sarapan Alan karena khawatir jika ia tidak sempat menyiapkan sarapan ... dan benar saja firasatnya.
"Alaan? Mana Melly? Kenapa dia enggak buat sarapan!"
"Dia lagi kurang sehat, Kak."
"Alaaah, sakit dibuat-buat biar dia gak ngerjain kerjaan rumah, tuh! Terus kita sarapan apa?"
"Alan udah sarapan, Kakak bikin sendiri aja buat Mas Roby. Alan pamit, Kak. Assalamu'alaikum!"
"Arrrgghh, ngeselin banget si Melly. Pake acara sakit segala, sih! Sial!"
Lian adalah anak perempuan pertama dan satu-satunya di keluarga Alan, ia sangat dimanja oleh keluarganya. Karena itu, ia tidak bisa melakukan pekerjaan rumah apa pun selain melayani suami dan anaknya, tentunya dengan segala hal yang sudah disiapkan Melly.
Melly sudah berpakain rapi dengan celana jeans serta tunik berwarna biru dongker dan bersiap-siap pergi.
"Mau ke mana kamu!" tanya Lian dengan menghardik.
"Mau ke dokter."
"Ke dokter aja rapi banget, mo hengot (hang out) kali!"
"Astagfirullahaladzhiim, pikiranmu itu, Mbak. Terserah Mbak ajalah mau ngomong apa!"
"Ya, terserah aku lah. Terus si Alea gimana?"
"Ya, di sinilah. Alea itu masih kecil, jadi rawan kalau dibawa ke rumah sakit, Mbak."
"Alea Sayang, Alea main dulu sama Rachel dan jadi anak baik, ya?" ucap Melly yang berjongkok supaya sejajar dengan Alea.
"Iya, Ma." Alea menarik lekukan senyum di bibirnya.
"Udah sana, jangan lama-lama! Aku lagi sibuk gak bisa jaga Alea!"
Melly lantas pergi ke rumah sakit seorang diri. Sampai di sana ia melakukan pemeriksaan dan menjalani beberapa tes yang disarankan dokter.
Selama tiga jam lamanya, ia menanti hasil di ruang tunggu. Rasa suntuk melanda sampai akhirnya seorang perawat memanggil namanya. Betapa terkejutnya saat ia melihat hasil tes yang diberikan perawat itu. Matanya sampai tak berkedip selama beberapa detik untuk memastikan apa yang dilihatnya itu tidak salah.
Rain—seorang duda yang kehilangan istrinya karena dibunuh—bertemu seorang gadis muda dan meminta untuk menikahinya secepat mungkin. Mengapa Hanna, sang istri, mati terbunuh? Lalu, mengapa Rain meminta Sea, seorang gadis SMA, untuk menikahinya, padahal ia baru mengenalnya?
Marimar seorang gadis pegawai hotel. Kisah hidupnya yang semula normal harus berubah drastis karena seorang lelaki mabuk yang tak dikenal. Sampai akhirnya, ia harus mengandung anak di luar pernikahan. Ketika ia mencari pria tak bertanggung jawab itu, ia mengetahui kenyataan yang lebih pahit bahwa pria itu bukanlah pria lajang melainkan seorang suami dari wanita lain. Bagaimana masa depan Rimar? Akankah ia memberitahu ayah dari janin yang dikandungnya itu atau harus menggugurkannya?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...