/0/4808/coverbig.jpg?v=3915812903a3807caa6b58a33ea2fd1e)
Akhir dari jodoh dengan sang kekasih telah membuatnya putus asa, di hadapan mayat yang tak lagi bernyawa itu. Menangis dan berteriak pun tak mungkin mengembalikan tubuh sang kekasih. Putus asa, satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Lania Herbert. Itu semua terjadi, hanya karena sang kekasih bernama Fero ingin menyelamatkannya dari kecelakaan. Merasa bersalah, dan tak lagi punya apa-apa. Lania memutuskan untuk menabrakkan diri pada mobil. Namun, itulah awal dari kehidupannya di dunia dengan penuh perjuangan yang lebih berat dari sebelumnya. Dia menjadi istri kedua seorang CEO, di dunia yang hancur karena Sarang monster yang disebut Dungeon.
Lania Herbert POVS
"Selamat tinggal Lania, terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Aku malu mengungkapkannya, tapi ... aku mencintaimu!" kalimat yang aku tunggu agar bisa terucap dari bibir pria yang menjadi cahaya hidupku ini telah terwujud.Terpaku tanpa bisa berucap.
Mendengar kalimat itu, hatiku serasa digelitiki ribuan kupu-kupu, siapa yang tak bahagia, saat kalimat seperti itu terucap dari seseorang yang disukai? Semua terasa bagai mimpi. Seperti kesadaran kembali. Aku membalas; "Fer, a ..." belum sempat terucap, kedua tangannya langsung mendorong tubuhku ke pinggir jalan.
Jariku berusaha menggapainya. Tapi tak bisa! Tanganku terlalu pendek!Hanya ada satu pertanyaan di benakku. Kenapa dia melakukannya? Begitu melihat ekspresinya. Matanya menyipit, dengan sudut mata dipenuhi cairan bening yang siap untuk mengalir.
Tangannya melambai, seakan mengucapkan perpisahan.Tunggu?! Perpisahan? Aku kembali teringat ucapannya tadi. Selamat tinggal. Waktu terasa berhenti dan lambat. Namun kembali berlalu dengan cepat. Sangat-sangat cepat. Hingga aku tak sadar.Tiada waktu berlalu lama.
Suara klakson mobil terdengar. kemudian, menghempas tubuhnya dengan satu kedipan mata. Mataku terbelalak. Tubuhku tak mampu merespon, bahkan untuk bergerak saja tak bisa.
Sepercik rasa ngilu dan sakit merayap masuk memenuhi sudut hati. Teriakan orang-orang di sekitar mulai membuatku sadar. Melihat ke arah sekeliling. Banyak orang mengerumuniku. Aku sadar, jika saat ini sedang terbaring di pinggir jalan akibat dorongannya.
Mataku kembali membola dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca. Pikiranku saat ini hanya ada satu. Fero! "Nak? Apa kamu tak apa?" Pertanyaan demi pertanyaan tak aku pedulikan. Tubuhku berusaha bangkit. "Fero!" seruku pelan. Tubuhku sakit. Tapi ini belum seberapa dengan apa yang Faro alami! Tuhan, jika kau ada, kabulkanlah harapanku.
Aku rela tersiksa di bawah tekananmu, aku rela menjalani takdir penuh darah darimu. Tapi jangan ambil Fero dariku! Kumohon! Hanya itu. Begitu aku bangkit dan berdiri dengan kedua kaki. Aku mulai melangkah.
Ke tempat banyak orang berkerumun. Fero-Fero-Fero dan Fero. Hanya itu yang penuh di dalam pikiranku saat ini. Aku berharap kamu selamat. Tanganku mengepal. Langkahku semakin cepat menuju keberadaannya. Aku menyingirkan orang-orang dan berusaha mencari jalan untuk bertemu dengannya. Sampai di tempat paling depan. Seluruh tubuhku bergetar. Gravitasi terasa semakin berat setiap detik melihatnya terbaring tak berdaya.
Rasanya begitu berat untuk berdiri. Kedua tanganku memegang mulut. Sesak dan hancur, tubuhnya dipenuhi cairan kental merah, matanya meringis seakan menahan rasa sakit luar biasa.
Langsung saja aku berlari mendekat dan duduk, sembari memangku kepalanya dengan rasa sesak. "Ni–a, ma–af a–ku tak bi–sa men–jadi cahaya la–gi untuk–mu," ungkapnya terbata-bata, mengulurkan tangan menyentuh wajahku.
Kuraih tangan itu dan menempelkannya pada pipi, menggerakkannya agar bisa mengelus. Perlahan, air mataku turun. "Jangan berkata seperti itu Fero, kamu ... kamu pasti bisa bertahan, harusnya ... harusnya aku yang berada di posisimu saat ini," sesalku menggenggam tangannya yang mengelus pipiku.
Kepala Fero bergerak menggeleng perlahan, tanda bahwa dia tak setuju dengan ungkapanku. "Ja–ngan ber–kata seper–ti i–tu, a–ku ba–hagia tak me–lihatmu ter–siksa rasa sakit ini," lirihnya disertai batuk darah.
Bukannya lega, kalimat seperti itu membuat hati, jiwa dan ragaku hancur di saat yang bersamaan. Apa hidup memang selalu seperti ini? Berkorban dan berkorban, namun akhirnya tak mendapatkan apa-apa.
Andai dunia memang adil, seperti yang banyak orang katakan. Kenapa itu tak berlaku pada kami. Kudekatkan wajah kami, hingga hidung saling bersentuhan, dan rambutku menjuntai, seakan membentuk tirai.
Bau amis, dan sakit dari luka tak lagi kupedulikan. "Fero, kamu harus selamat, oke. Tadi ... kamu bilang cinta padaku bukan. Jika iya, maka buktikan Fero. Bertahan, kita belum pernah melakukan kencan secara resmi. Lalu, kamu ingin pergi begitu saja? Seperti tak pernah terjadi apa-apa?" lirihku diiringi air mata.
Hancur sudah pertahananku. Rasa ini tak lagi bisa dibendung oleh kalimat seperti apa pun. Fero terdiam, tapi ia tetap menatapku penuh cinta dan sayang. Kenapa saat diungkapkan, ini menjadi pertemuan terakhir.
"Ni–a, cin–ta itu tak ha–nya pem–buktian atau ucapan, ta–pi ketulusan. A–ku me–nyelamatkan–mu tu–lus dari lu–buk hati terdalam."
Tak bisa kubalas kalimat itu. Di waktu bersamaan, sosoknya berhasil membuatku senang, takut dan khawatir yang tak pernah kurasakan di saat bersamaan. Seberapa kerasnya hidupku, rasa sakit yang lalu tak pernah dalam seperti luka saat ini.
Suara Ambulans menggema, para penonton menyingkir. Beberapa petugas dengan seragamnya datang, membawaku dan Fero ke dalam mobil mereka, dan langsung menuju rumah sakit. Selama perjalanan.
Genggaman tangan hangatnya tak pernah kulepaskan, aku ingin memberitahunya, di saat-saat seperti ini, tak akan pernah aku menjauh dari sisinya. Jika Fero melindungi, maka akulah yang akan menemani.
Tak perlu ada janji sakral yang perlu terucap, hanya dengan bersama seperti ini. Aku sangat berharap, bila waktu berhenti, dan membuat perasaan ini jadi abadi dalam kenangan bahagia. Lama-kelamaan. Tubuh Fero menggelinjang, dengan mata membola.
Aku langsung panik, dan mendekat ke tubuhnya, tanpa melepaskan genggaman tangnnya yang bergetar. "Fero?" panggilku. Tak ada respon. Kucoba memanggilnya sekali lagi. Tapi tetap tak ada respon.
Kugerakkan tubuhnya, tetap tak merespon. Hanya ada guncangan dahsyat pada tubuhnya. Aku terdiam. Kalimat yang terlintas dalam kepalaku saat ini hanya satu. Fero menghadapi sakratul maut.Aku menggelengkan kepala, menolak kalimat itu. Tak mungkin Fero meninggalkanku. Karena ia tadi mengucapkan kalimat cinta dan penuh pengertian padaku bukan. Namun, semakin menepis pemikiran itu.
Rasa takut kehilangannya semakin memenuhi setiap sudut ragaku. Mobil ambulans terasa berhenti. Mungkin kami sudah sampai. Pihak petugas medis membuka pintu dan menarik brankar Fero.
Mereka juga membawaku, dan menuntunku. Awalnya, terjadi pertentangan karena mereka ingin membawaku ke ruang pengobatan. Kalau itu terjadi, aku dan Fero akan berpisah. Tidak, kali ini tidak.
Perdebatan itu tak berlangsung lama, karena akhirnya mereka setuju. Aku ikut mendorong brankan Fero menuju ruang Unit Gawat Darurat. Disuruh menunggu di depan pintu. Raut cemas terlukis pada wajahku.Mondar-mandir ke sana kemari bagai setrika, sesekali mengintip melalui pintu kaca ruangan. Berharap bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Sayangnya, itu hanya harapan. Lampu merah terus menyala di atas pintu.
Menggigit kuku hingga bersih pun masih belum bisa membuat waktu berjalan cepat, agar para dokter keluar dan memberitahukan kabar baik padaku. Tuhan, jika memang kau ada. Tolong selamatkan Fero.
Kini aku tak butuh keluarga yang kuharap bisa mengerti. Aku hanya ingin, Fero selamat. Sebab, dia lebih berharga dari pada keluarga yang kutahu. Tak apa jika Engkau tak mengabulkan harapan lain dariku. Namun, aku memohon.
Aku memohon dengan sungguh-sungguh. Selamatkan Fero, dan buat dia kembali. Karena aku ingin berganti posisi, di mana ini giliranku melindunginya. "Nona, tolong jangan mondar-mandir seperti itu, pasien lain akan pusing melihatnya.
"Suara penuh perhatian dari suster mengacaukan lamunanku. Aku langsung menatapnya tajam.
"Persetan dengan pasien lain! Saya tak peduli mereka mati atau apa! Saya sama sekali tak peduli!" bentakku.Ceklek! Suara pintu terbuka, dan aku kembali menoleh. Kulihat, lampu operasi tetap berwarna merah. Bagaimana bisa? Kenapa mereka keluar. Padahal kan belum selesai?
Baru saja dia mengantarkan sang anak ke depan gerbang sekolah. Tak lama berselang, dentuman keras mengalun luas menyapa gendang telinga Nefa. Sontak saja, ibu satu anak itu menoleh ke belakang. Asap hitam pekat nan tebal membumbung tinggi ke udara, membawa hawa panas yang luar biasa dahsyatnya. Nefa terbelalak. "Refanoo!" teriaknya memanggil nama sang anak. Dia keluar mobil dan berlari menuju sekolah. Mau memundurkan mobilnya tak bisa, sebab ada banyak mobil lain di belakang.
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."
Pernikahan tiga tahun tidak meninggalkan apa pun selain keputusasaan. Dia dipaksa untuk menandatangani perjanjian perceraian saat dia hamil. Penyesalan memenuhi hatinya saat dia menyaksikan betapa kejamnya pria itu. Tidak sampai dia pergi, barulah pria itu menyadari bahwa sang wanita adalah orang yang benar-benar dia cintai. Tidak ada cara mudah untuk menyembuhkan patah hati, jadi dia memutuskan untuk menghujaninya dengan cinta tanpa batas.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Chelsea mengabdikan tiga tahun hidupnya untuk pacarnya, tetapi semuanya sia-sia. Dia melihatnya hanya sebagai gadis desa dan meninggalkannya di altar untuk bersama cinta sejatinya. Setelah ditinggalkan, Chelsea mendapatkan kembali identitasnya sebagai cucu dari orang terkaya di kota itu, mewarisi kekayaan triliunan rupiah, dan akhirnya naik ke puncak. Namun kesuksesannya mengundang rasa iri orang lain, dan orang-orang terus-menerus berusaha menjatuhkannya. Saat dia menangani pembuat onar ini satu per satu, Nicholas, yang terkenal karena kekejamannya, berdiri dan menyemangati dia. "Bagus sekali, Sayang!"
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”