Di depan kelas, tepat pukul 08.00, pintu terbuka dengan suara klik yang langsung disambut riuh pelan mahasiswa. Sosok yang masuk bukan dosen tua dengan jas kusut dan rambut beruban seperti kebanyakan, melainkan pria tinggi berwajah bersih dengan kemeja putih yang digulung rapi di lengan, celana kain abu-abu gelap, dan senyum tipis yang entah bagaimana bisa membuat seisi kelas mendadak lebih hidup.
"Selamat pagi, semuanya. Saya Tama Pratama, M.Acc, CPA, pengampu mata kuliah ini," ucapnya dengan suara tenang namun jelas. Gelar M.Acc menunjukkan gelar Master of Accounting yang dia raih dari universitas ternama di luar negeri, dan CPA adalah sertifikasi sebagai akuntan profesional yang menambah prestisenya.
Tama memang dosen muda yang sedang naik daun di kalangan mahasiswa. Selain karena kemampuannya menjelaskan topik-topik rumit seperti "pengakuan pendapatan berbasis akrual" dengan cara yang mudah dimengerti, wajah tampan dan gaya mengajarnya yang santai tapi cerdas membuatnya menjadi idola banyak mahasiswa, terutama mahasiswi.
Termasuk Dewi.
Dewi, mahasiswi ceria dengan rambut panjang se pantat dan kuku yang selalu berganti warna setiap minggu, duduk di bangku kedua dari depan, sebelah Aruna. Matanya sudah berbinar sejak lima menit sebelum Tama datang, dan dia dengan semangat menyiapkan buku catatan serta bolpoin warna-warni yang katanya untuk "menulis ilmu dengan cinta".
"Gila, Na. Dosen seganteng ini ngajar akuntansi? Rasanya kayak nonton drama Korea tapi isinya debit-kredit," bisik Dewi dengan suara tertahan, membuat beberapa mahasiswa di sekitar mereka ikut tersenyum.
Tapi Aruna hanya mengangguk pelan, tidak menanggapi lebih jauh. Dia mengenakan kemeja abu dan celana jeans longgar, rambut diikat satu, dan wajah datar yang nyaris tidak menunjukkan minat terhadap apapun selain layar laptopnya. Dia tipe mahasiswi yang masuk kuliah tepat waktu, mengerjakan tugas, lulus ujian, tanpa embel-embel euforia.
Baginya, dosen tetaplah dosen. Mau seganteng apapun, tidak ada bedanya.
"Aruna Janitra ya? Saya lihat nama kamu cukup sering di daftar nilai ujian tengah semester. Kerja bagus."
Suaranya membuat kepala Aruna perlahan terangkat. Dosen muda itu baru saja menyebut namanya. Kelas mendadak hening. Mata-mata penuh rasa ingin tahu mulai mengarah pada gadis yang biasanya luput dari perhatian.
"Terima kasih, Pak," jawab Aruna singkat. Suaranya datar, tanpa intonasi. Lalu kembali menunduk.
Tama tampak tersenyum kecil, lalu melanjutkan penjelasannya tentang pencatatan aktiva tetap dengan metode garis lurus.
Dewi menatap Aruna dengan wajah penuh curiga. "Jangan bilang kamu nggak deg-degan barusan?"
"Enggak."
"Kamu ini manusia atau robot sih?" sengit Dewi. Teman satu-satunya Aruna di kampus, teman dari mereka SMP. Dewi si bocah ekstrovert.
Tapi Aruna tidak menjawab. Dalam hati, dia justru merasa heran. Kenapa seorang dosen repot-repot memperhatikan nilai mahasiswanya secara personal? Namun dia mengabaikan itu. Baginya, akuntansi adalah tentang angka, bukan perasaan.
Yang belum dia tahu, bagi Tama, sejak pagi itu, nama "Aruna Janitra" tidak hanya muncul di daftar nilai. Tapi mulai diam-diam menempati satu ruang di pikirannya.
Sejak orang tuanya menyebutkan nama itu kemarin. Sejak orang tuanya mengenalkan dia dan seluk beluk gadis itu dengan sebuah foto, kemarin malam.
Suasana kelas 4.207 siang itu lebih senyap dari biasanya, meski keheningannya penuh dengan ketegangan yang manis. Dosen Tama Pratama berdiri tegak di depan papan tulis digital, jemarinya menggenggam spidol sambil sesekali mengetuk-ngetukkan ujungnya ke telapak tangan. Materi hari ini adalah lanjutan dari topik yang membuat kepala mahasiswa berdenyut. akuntansi untuk liabilitas jangka panjang.
Tama dikenal sebagai dosen killer, yang tanpa ragu melempar pertanyaan mendadak dan memanggil nama-nama mahasiswa yang bahkan belum sempat membuka buku. Tapi anehnya, para mahasiswa tetap rela antre di kelasnya. Killer-nya kalah oleh karismanya.
"Jika sebuah perusahaan memiliki obligasi yang diterbitkan dengan diskon, bagaimana perlakuan amortisasinya menggunakan metode garis lurus?"
Seketika ruangan jadi museum. Sunyi. Tak ada yang berani mengangkat tangan.
Tama menghela napas, matanya menyapu ke arah bangku-bangku tengah. Di situlah Dia melihatnya lagi, gadis dengan kuncir kuda dan kemeja abu, duduk tenang seperti biasanya. Tidak ikut tegang, tidak gelisah, hanya fokus menatap layar laptopnya.
"Aruna Janitra."
Suara Tama memanggil dengan mantap, namun nada suaranya entah mengapa terasa berbeda. Tak segarang biasanya.
Aruna mengangkat wajah. Tanpa ekspresi takut atau gugup seperti mahasiswa lainnya. Hanya sedikit kaget karena namanya disebut lagi. Dua kali dalam satu hari berturut-turut. Terlalu sering untuk ukuran gadis yang katanya "tidak menonjol".
"Silakan jawab."
Aruna mengangguk, dan dengan nada tenang menjawab teori serta aplikasinya. Suaranya tidak gemetar, tidak pula terlalu percaya diri. Sekadar menjawab. Sesederhana itu.
Tama mengangguk kecil. "Benar. Singkat, tapi tepat."
Lalu kembali membalik badan ke arah papan.
Namun pikirannya tertinggal di tempat Aruna duduk.
Ada sesuatu yang mengganggunya hari itu. Bukan karena materi yang rumit, atau mahasiswa yang pasif. Tapi karena pikiran yang sejak pagi belum juga luruh dari benaknya. Proposal dari ayahnya.
"Putri teman Bapak dari kampung. Anak baik. Sudah semester empat juga. Kalau cocok, ya kita lanjut serius, Tam."
Dan seperti takdir yang suka main-main, si "anak teman dari kampung" itu ternyata duduk hanya beberapa meter di hadapannya. Aruna Janitra. Nama yang tertulis di profil biodata yang dikirimkan lewat pesan WhatsApp oleh ibunya, malam sebelumnya.
Gadis itu. Yang bahkan selama dua semester tak pernah dia perhatikan. Yang kini justru menonjol karena ketidak peduliannya pada dirinya.