Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Miranda's Heart
Miranda's Heart

Miranda's Heart

5.0
10 Bab
75 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

"Kakak, kumohon. Izinkan aku menikah dengan Mas Lukas,” pinta Astrid sambil menangis tersedu-sedu. Miranda shock sekali sampai tak sanggup berkata-kata. Bagaimana mungkin adik kandungnya sendiri ingin merebut kekasihnya?! Miranda dan Astrid adalah kakak-beradik yatim piatu. Ketika sang adik divonis menderita leukimia, gadis itu mengajukan permintaan yang sulit dikabulkan Miranda. Namun demi membahagiakan Astrid di sisa hidupnya, gadis itu terpaksa membujuk Lukas, sang kekasih, untuk menjadi adik iparnya. Pemuda itu akhirnya setuju. Namun saat Astrid hamil enam bulan, dia menghilang tanpa jejak. Miranda akhirnya kembali demi menemani adiknya tercinta. Astrid meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra yang diberi nama Joy. Bertahun-tahun kemudian Lukas hadir kembali dalam kehidupan Miranda. Ia menceritakan alasan kenapa pergi meninggalkan Astrid. Laki-laki itu kembali mendekati Miranda. Sementara itu ada seorang pria kaya bernama Carlos yang juga menyukai gadis itu. Siapakah yang akan dipilih Miranda untuk menjadi pendamping hidupnya sekaligus sosok ayah yang baik bagi Joy, keponakannya tercinta?

Bab 1 Carlos Martin

“Halo?”

“Halo, dengan Ibu Miranda saya bicara?”

“Betul. Bisa dibantu, Pak?”

“Saya sekarang berada di depan ruko tiga lantai yang dijual atau disewakan di komplek CBD. Rukonya menghadap ke jalan raya. Pada spanduknya tertera nama dan nomor telepon Anda. Berapa harga jual dan sewa ruko ini, Bu?”

Broker properti yang bernama Miranda itu menyebutkan nominal yang dikehendaki si pemilik ruko.

“Wow, tinggi juga, ya?” komentar peneleponnya. “Ngomong-ngomong, berapa luasnya? Sertifikatnya apa?”

“Sertifikatnya Hak Guna Bangunan, Pak. Maaf, dengan Bapak siapa saya bicara?”

“Saya Carlos. Apakah sertifikatnya bisa ditingkatkan menjadi Hak Milik?”

“Maaf, Pak Carlos. Karena itu kawasan komersial, jadi menurut peraturan pemerintah sertifikatnya harus Hak Guna Bangunan. Bisa diperpanjang setelah tiga puluh tahun kok, Pak.”

“Begitu, ya. Hmm…, berapa luas ruko ini?”

“Luas ruko itu….”

Gadis itu menyebutkan luas ruko yang sudah hampir dua tahun tidak laku tersebut. Mudah-mudahan Pak Carlos ini calon pembeli atau penyewa serius, batinnya harap-harap cemas. Sungkan juga aku sama si pemilik kalau rukonya tak juga mendapatkan penawaran.

Banyak sekali orang yang menelepon Miranda menanyakan properti yang dipasarkannya itu. Mulai dari calon pembeli langsung, broker lain, maupun makelar yang bekerja secara independen. Pun sudah belasan klien yang datang masuk ke dalam dan melihat-lihat, namun belum seorang pun yang menyatakan keseriusan minatnya.

Miranda sampai merasa heran sendiri. Padahal harganya sesuai pasaran. Lokasinya juga strategis menghadap jalan raya. Tempat parkirnya luas. Pengamanan komplek tersebut juga termasuk ketat. Ruko-ruko deretan bahkan belakangnya telah terjual semua. Beberapa malah sudah beroperasi. Ada yang dibuat kantor, rumah makan, tempat refleksi, dan lain sebagainya.

Tinggal satu ruko yang terletak di tengah-tengah ini yang belum ketemu jodohnya. Gadis itu sampai merasa tidak enak dengan pemilik ruko tersebut. Kliennya itu dulu membeli darinya saat ruko tersebut masih belum dibangun. Jadi orang itu cuma melihat lokasi dan dijelaskan berdasarkan gambar denah. Berbekal pengetahuannya yang luas mengenai dunia properti, Miranda berhasil meyakinkannya untuk membeli buat investasi.

Tanpa terasa satu tahun berlalu. Komplek ruko CBD tersebut akhirnya berdiri dengan megah. Semua unit telah terjual. Dalam hitungan bulan bangunan-bangunan komersial itu telah berhasil disewakan atau bahkan dijual lagi kepada pihak lain. Hanya satu ruko ini yang tersendat-sendat pemasarannya. Dalam dua tahun tidak pernah ada orang yang menawar untuk membeli ataupun menyewanya!

“Kapan saya bisa melihat-lihat ke dalam ruko ini, Bu Miranda?” tanya orang bernama Carlos itu ingin tahu. “Apakah Anda sekarang sedang berada di sekitar sini?”

Miranda yang sedang berada di kantornya melirik ke arah jam dinding. Jam empat sore, cetusnya dalam hati. Kalau aku berangkat ke sana sekarang maka akan terlambat menjemput Joy di daycare. Tapi kalau kesempatan ini kulepaskan, kok sayang sekali, ya. Takutnya Pak Carlos nanti keburu tergoda dengan ruko lain. Aduh. Gimana ini?

Akhirnya gadis itu memantapkan hatinya untuk mengambil keputusan. “Saya sekarang berada di kantor, Pak Carlos. Kalau Bapak bersedia menunggu, sekitar setengah jam lagi saya tiba di sana. Bagaimana?” tanyanya harap-harap cemas.

“Ok, saya tunggu Anda di depan ruko. Sampai jumpa.”

“Sampai ketemu, Pak Carlos.”

Done, batin gadis itu kegirangan. Ya Tuhan, semoga ini orang yang Kau kirimkan untuk membeli atau menyewa ruko itu. Amin.

Miranda segera membereskan meja kerjanya sambil menelepon seseorang. Terdengar suara di seberang sana menyapa halo.

“Halo, saya tantenya Joy,” jawab gadis itu segera. “Mohon maaf. Ada urusan mendesak yang harus saya selesaikan. Bisakah Joy saya jemput agak terlambat nanti? Sekitar jam setengah enam petang gitu.”

Suara di seberang sana berkata tidak apa-apa. Miranda menghela napas lega.

God bless me, batin gadis itu penuh rasa syukur. Setelah mengucapkan terima kasih, diakhirinya pembicaraan di telepon. Miranda langsung ngibrit meninggalkan kantornya. Dia harus segera berangkat supaya kliennya tidak menunggu terlalu lama.

***

“Bagaimana Mas Carlos? Cocok tidak rukonya?” tanya gadis itu begitu kliennya selesai melihat-lihat ruko yang dipasarkannya.

Kini Miranda merubah panggilannya menjadi Mas. Bukan Bapak seperti waktu di telepon tadi. Karena kliennya itu ternyata masih muda.

Paling umurnya baru dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun, batin gadis itu menerka-nerka. Cakep dan gagah banget orangnya. Rambut pendeknya disisir ke bawah ala artis cowok Korea. Kemeja putih kotak-kotak biru yang dipakainya pas banget melekat di badannya yang atletis. Ccck, ccck…. Sandainya setiap hari ketemu klien kayak gini, pasti indah hari-hariku. Hehehe….

“Saya suka, sih. Cuma harganya kok mahal sekali, ya?” komentar pemuda itu sambil mengernyitkan dahi.

Miranda tersenyum simpul. Sudah biasa kalau calon pembeli berakting seperti ini, batin gadis itu. Lagu lama.

“Boleh tahu ruko ini rencananya akan dibuat usaha apa, Mas Carlos?” tanya gadis itu mencoba menggali kebutuhan kliennya. Gunanya supaya dia bisa menunjukkan keunggulan properti yang bersangkutan dalam menopang bisnis si klien.

“Bisnis roti Martin Bakery.”

Miranda terperanjat. Siapapun yang tinggal di kota Surabaya pasti mengenal toko roti ternama itu. Martin Bakery merupakan salah satu perusahaan yang turun-temurun di kota ini. Roti-roti buatannya merupakan produk kelas menengah ke atas dan tak pernah sepi pembeli. Outlet-outlet-nya bertebaran di kota ini. Beberapa tahun terakhir bahkan merambah kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.

Apakah ini Carlos Martin, pewaris tunggal Martin Bakery? tanya Miranda dalam hati.

Keluarga Martin memang salah satu orang kaya lama yang tak suka diekspos media. Hampir tak pernah terdengar desas-desus tentang keluarga itu. Yang dikenal warga kota ini adalah perusahaan rotinya yang merupakan salah satu kuliner kebanggaan Surabaya.

“Hmm, maaf. Apakah sekarang saya sedang berhadapan dengan Mas Carlos Martin, pemilik Martin Bakery?” tanya gadis itu memberanikan diri.

Baginya pengetahuan mendalam tentang jati diri klien adalah suatu keharusan. Tujuannya supaya dia dapat menemukan properti sesuai kebutuhan orang yang bersangkutan.

Pemuda itu terkekeh. “Apalah arti sebuah nama,” cetusnya sinis. “Pentingkah status saya sebagai Carlos Martin? Bukankah yang penting Anda berhasil menjalankan transaksi dengan klien?”

Dada Miranda bagaikan dihujam sebilah pisau yang tajam sekali. Luar biasa angkuh orang ini, batinnya kesal. Aku kan bertanya baik-baik. Kenapa dijawab sesinis itu?!

Gadis itu sekarang menyesal telah memprioritaskan bertemu Carlos daripada menjemput keponakannya di tempat penitipan anak. Maafkan Tante Mira, Joy, batinnya merasa bersalah. Mudah-mudahan kamu nggak bosan nunggu lama di daycare, ya.

Menyaksikan lawan bicaranya diam saja, Carlos akhirnya berkata, “Hari sudah sore. Saya pulang dulu. Tentang ruko ini, akan saya pertimbangkan lagi. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu menemani saya melihat-lihat. Selamat sore, Bu Miranda.”

Memangnya aku ibumu?! jerit gadis itu dalam hati. Biasanya orang-orang memang memanggilnya dengan sebutan Ibu kalau berbicara di telepon. Tapi begitu bertemu muka dan melihat dirinya masih muda, mereka kerap merubah panggilan dengan sebutan Mbak Miranda.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 10 Victoria Martin   07-25 11:44
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY