/0/6063/coverbig.jpg?v=cafedad332189ab41b083664223cdc61)
Padahal aku hanya bimbang, aku juga hanyalah manusia biasa yang kekurangan kasih sayang.
Zivanna POV
'Sebenarnya... apa itu kebahagiaan? Apa ada orang yang benar-benar bahagia? Atau.. hanya terlihat seperti sedang berbahagia?'
Jika kebahagiaan itu ada, lalu kenapa aku justru tidak pernah bahagia. Padahal aku juga selalu bersyukur, dan berdoa pada Tuhan. Tapi kenapa? Dia terus memberikan ujian yang semakin hari semakin sulit untuk di terima.
Rasanya setiap hari, aku justru terus kehilangan diriku sendiri. Merasa bahwa semua orang membenci kehadiranku. Aku tidak bisa mencintai siapapun, aku bahkan tidak bisa mencintai diriku sendiri.
'Lalu bagian mananya yang kau sebut bersyukur? Yang kau lakukan hanya mengeluh,'
Bagi orang lain cinta itu sangatlah berharga, tapi bagiku itu sungguh tidak ada gunanya. Aku mati rasa terhadap segala hal yang bersangkutan dengan cinta. Merasa gagal, karena setiap aku mencintai seseorang. Mereka pasti akan pergi jauh dariku, dan aku benci rasa dari sakitnya kehilangan. Aku tak ingin mengetahui, atau mengenal seseorang. Lalu berharap ia akan menjadi cahaya penerang di dalam gelap nya duniaku.
"Coba liat pakaian nya. Ewhh, nggak banget!"
"Liat deh! jijik banget nggak sih dia,"
Sudah menjadi kebiasaan ku mendengar hal itu. Mereka membenci ku hanya karena aku datang dari yang bukan kalangan mereka. saat mereka tau aku hanyalah anak beasiswa, mereka semua langsung memperlihatkan wajah aslinya, lucu sekali mengingat drama yang mereka lakukan saat pertama kali bertemu denganku. Berpura-pura baik dan manis, sungguh wajah mereka konyol sekali saat itu.
"Sudahh segini dulu dehh. Nanti kita nggak punya mainan kalo sampai dia mati, hahaha!"
Para bajingan itu pergi setelah menghajarku habis-habisan. Aku mengelap darah yang keluar dari bibir sebelah kanan ku yang robek, sungguh ini tidak ada apa-apa nya dibandingkan semua yang sudah aku alami. Aku juga selalu pulang seperti ini jika kalian penasaran, dengan darah yang berlumuran dimana-mana atau lebam di wajah. Orang-orang yang melewati ku akan mengira aku anak berandalan yang suka berkelahi. Padahal aku perempuan.
Aku bukannya tidak bisa melawan, aku hanya tidak ingin. Mereka akan jauh lebih terluka jika aku membalas, dan berakhir aku yang akan masuk penjara karena mereka semua anak-anak dari orang terkenal dan kaya.
Aku menghela nafas, dan kembali tersenyum. Membiarkan luka dan lebam itu sembuh dengan sendirinya. Mengobati nya hanya akan membuat ku lelah. Aku berdiri, lalu mengambil tas dan buku ku yang berserakan. Ahh... uang yang aku kumpulkan selama seminggu. Seperti nya mereka kekurangan uang jajan sampai harus mengambil dariku yang miskin ini.
Saat sedang membereskan barang-barang, ponselku tiba-tiba berdering.
"Iya halo?"
"Apa kau tidak ingin bekerja lagi?! Kenapa kau lama sekali!! Aku akan bangkrut jika memiliki pekerja lambat dan konyol seperti mu!"
"Ma-maaf...."
"Maaf mu tidak akan mengembalikan uang ku, sudahlah kau tidak perlu bekerja lagi, kau di PECAT!!"
Aku menjauhkan ponsel ku dari telinga tepat saat dia berteriak. Kenapa dia suka sekali menyakiti tenggorokan nya itu. Aku kembali menghela nafas, ini sudah yang kelima kalinya aku di pecat. aku hanya punya dua pekerjaan saat ini, apa itu akan cukup?
Apalagi pengeluaran sekolah semakin banyak, dan semua pasti mahal. Mereka hanya memberikan uang per semester dan bukan kebutuhan sekolah per individu lainnya.
Selesai, aku kemudian berjalan keluar gudang sekolah. Iya aku masih di sekolah, para bajingan tadi menyeret ku masuk saat sekolah sudah bubar. Mereka semua hanya menatap ku dengan tatapan konyol saat melihat ku di seret dengan kasar oleh para bajingan bangsat itu. Bahkan guru dan kepala sekolah nya itupun hanya diam saat melihatku. Mereka tidak mungkin memarahi anak dari pemasok dana terbesar di sekolah mereka.
Semua terlihat begitu sepi, hanya ada satu atau dua Office Boy sekolah yang terlihat sedang membereskan sekolah mewah itu. Mereka hanya menatap iba padaku, tatapan yang paling aku benci.
"I-ini...."
Aku menatap anak laki-laki yang berumur sekitar lima tahunan itu mungkin. Dia menyodorkan kotak obat p3k padaku. Dia menunduk dan terlihat takut. Aku hanya menatapnya datar, dan berjalan kembali. Menghiraukan dia yang mungkin menatap ku dengan bertanya.
"K-kenapa kakak tidak mengambil nya?" Dia kembali menghalangi jalanku.
"Pergi sana!" Anak itu terlihat takut awal nya. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum dengan senyuman yang sangat manis.
"Kakak cantik sedang terluka, jadi harus di obati!" Dia berucap dengan antusias. Mata nya berbinar indah dengan manik coklatnya. Aku tidak berbohong kalau anak itu terlihat begitu manis saat ini.
Perasaan apa ini? Ini pertama kali nya ada seseorang yang peduli padaku. Bahkan Office Boy disini tidak ada yang pernah peduli, dan sudah terbiasa dengan ku yang selalu pulang terlambat daripada murid yang lain.
"Kiki!! Kau kemana saja hah!! Aku mencarimu sedari tadi," Laki-laki itu berteriak di hadapan anak kecil tadi. Terlihat raut wajahnya yang khawatir dengan sorot mata yang ketakutan. Suaranya juga terdengar serak dan sedikit bergetar. Huh, kenapa aku peduli?
Anak itu cekikikan dan lalu menunjuk ke arahku, "kakak cantik itu terluka. Jadi aku membawakan nya kotak ini," ucapnya sambil menunjukkan kotak yang dipegangnya tak lupa juga memasang senyum manisnya, terlihat sekali kalau dia berharap untuk di maafkan. Dan laki-laki tadi langsung menatap ke arahku. Dia terlihat seumuran denganku hanya saja dia lebih tinggi dariku.
Dia menatap ku dengan dari atas sampai bawah, dan secara refleks aku mengikuti nya juga. Kenapa aku melakukan itu?. Aku merotasikan mataku dan berjalan melewati mereka berdua. Aku sungguh lelah dan ingin sekali istirahat. Itupun jika bisa.
"Kiki, kau tidak boleh seperti itu tadi. Dia mungkin merasa risih dengan sikap mu,"
"Tapi kak, dia terluka cukup parah. Aku tidak suka melihat luka, dan kakak juga selalu pulang seperti itu setiap habis sekolah,"
Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka ,karena kebetulan aku masih belum begitu jauh dari mereka. Apa dia juga korban bullying di sekolah ini?
•
Suara gaduh dan teriakan menyambut kedatanganku saat tiba dirumah. Rumah? Apakah masih bisa disebut rumah disaat tidak ada seorang pun yang menginginkan kehadiran mu.
"Ya apa!? Gua kan udah berusaha sebaik mungkin! Kenapa lo masih aja ngeluh?!"
"Gimana gue nggak ngeluh, yang bisa lo hasil kan cuman itu-itu doang! Gua capek, gua juga pengen kaya kayak orang diluar sana,"
"Harus nya lo juga bantu dong! Kenapa cuman gue aja!?"
"Lo itu kepala keluarga di rumah ini bangsat, klo nggak bisa nafkahin istri lo ngapain nikah babu!!"
Sudah biasa rumahku, ralat rumah ini di penuhi dengan teriakan dan keluhan kedua orangtua ini. Mereka selalu berdebat, dan berakhir salah satu dari mereka akan memukuli ku sebagai hadiah pelampiasan dari amarah yang masih tersimpan di hati mereka.
"Pulang juga lo anak bangsat!!"
tbc.
'Tidak adakah kematian yang lebih menyaktikan dibandingkan ini?!'
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...
BERISI ADEGAN HOT++ Leo pria tampan dihadapan dengan situasi sulit, calon mertuanya yang merupakan janda meminta syarat agar Leo memberikan kenikmatan untuknya. Begitu juga dengan Dinda, tanpa sepengetahuan Leo, ternyata ayahnya memberikan persyaratan yang membuat Dinda kaget. Pak Bram yang juga seorang duda merasa tergoda dengan Dinda calon menantunya. Lantas, bagaimana dengan mereka berdua? Apakah mereka akan menerima semua itu, hidup saling mengkhianati di belakang? Atau bagaimana? CERITA INI SERU BANGET... WAJIB KAMU KOLEKSI DAN MEMBACANYA SAMPAI SELESAI !!
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"