/0/6266/coverbig.jpg?v=598b41b9e2ea90c2596c0082cfa609ae)
Tak kusangka, drama itu membuatku merasa hidup dalam kenyataan. Betapa perselingkuhan itu, kamu bungkus dengan begitu rapi!
Saat itu, jam di dinding sudah menunjukan waktu pukul sebelas malam. Sedangkan tubuhku masih saja berada di kantor. Maka segera kukirimkan semua laporan yang selesai dikerjakan ke Pak Freza. Besoknya, harus sudah siap dengan bos baru, yaitu kamu, Tiyo. Kurapikan semua barang di atas meja, menyiapkan tas, lalu bersiap agar bisa cepat pulang.
Teringat tentang kabar kedatanganmu. Mungkin saat itu, sebenarnya kamu sudah ada di rumah. Bibi Endah bilang kalau pesawat akan mendarat pukul delapan. Pasti beberapa jam sebelumnya, kamu sudah tertidur.
Kumatikan semua lampu sebelum pergi keluar kantor, lalu segera menuju lift. Meski semua karyawan sudah pulang, aku tidak merasa takut. Karena petugas keamanan di sana semuanya bersikap baik.
"Hati-hati di jalan ya, Bu Zahra!" Pak Ari menyapa ketika bertemu di pintu utama gedung. Senyumannya begitu ramah.
"Terima kasih ya, Pak Ari. Saya pulang duluan ya," jawabku seraya menjalankan mobil.
###
Sepanjang perjalanan pulang, masih teringat kata-kata Bi Endah di kantor-di depan meja kerjaku.
"Tiyo pulangnya besok."
"Begitukah?" Entah, tidak tahu kalimat apa yang harus kuucapkan.
Tidak peduli dengan apa pun yang akan mereka bicarakan, karena ibuku adalah kepala pelayan keluarga Pak Freza-bapakmu. Mereka mendidik dan membiarkanku tinggal di rumah, dengan gaji ibu sebagai gantinya. Setelah lulus, aku bekerja di perusahaan mereka sebagai sekretaris Pak Hasan.
Sebenarnya, kalau dihitung, sudah dua tahun bekerja di sana. Awalnya hanya magang, karena ketika itu masih tahun pertama kuliah; bekerja secara part time, dan setelah lulus menjadi karyawan resmi dan bekerja secara full time.
"Eh, dia mau ngegantiin posisi Pak Hasan loh. Lo harus bisa ngajarin dia dalam bisnis ini, karena lo adalah sekretaris Pak Hasan selama dua tahun!" ucap Bi Endah.
"Oke. Gak masalah Bi."
"Dia mulai masuk kantor hari Jumat. Nah, nanti hari Sabtu, lo ada acara gak? Shopping yuk, bareng gue!"
"Boleh, lagian saya juga udah selesai laporan kok bulan ini," jawabku.
Aku dekat dengan Bibi Endah. Dia selalu memperlakukanku layaknya seorang adik. Walau sebenarnya, dia dan suaminya menganggapku sebagai anaknya sendiri. Karena memang, mereka belum punya anak perempuan.
"Woy, Zahra! Gak usah terlalu gila kerja lah. Lo juga butuh kehidupan sosial. Gadis kayak lo harus ngabisin lebih banyak waktu malam di luar. Jangan di kantor terus! Makanya kan, lo gak punya pacar sampai sekarang!"
"Hehe. Bibi bisa aja."
"Nanti Tiyo datang, lo terpesona nanti. Haha." Komentar tawanya membuat pipiku seakan merona.
Andai saja kamu tahu, Tiyo. Ya, andai saja kamu tahu bahwa aku telah menyimpan rasa, dan menunggumu datang selama bertahun-tahun.
###
Saat klakson mobil terdengar begitu keras, pikiran kembali dari lamunan. Sinyal lampu berhenti mati. Untungnya, suasana lalu lintas begitu sepi hari itu. Jadi tidak tertabrak saat melamun.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya tiba di rumah keluargamu. Kuparkir mobil di belakang Toyota Vios, yang juga diparkir di garasi luas. Setelah itu turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah.
Akan tetapi, lampu rumah tidak menyala, mungkin orang-orang sudah tertidur. Kujentikan saklar di dekat kusen pintu, lalu ....
Betapa terkejutnya saat melihat sosok yang kukenal, berbaring di sofa ruang tamu.
"Tiyo?" Aku bertanya-bertanya. Jantung yang sebelumnya tenang mulai berdegup kencang.
Mumpung kamu sedang tidur, aku menatap dan mencoba melihat perubahan yang ada di tubuhmu. Setelah lima tahun kita berpisah, ternyata banyak yang berubah pada penampilan fisikmu.
Lenganmu yang dulu cukup kurus, sudah berotot. Perawakanmu juga terlihat jelas. Wajah yang lembut kemudian terlihat nakal dan kasar. Bahkan dalam keadaan tidur, kamu terlihat kejam tapi lebih jantan.
"Jadi lo selalu pulang terlambat dari kantor, ya?"
Hampir saja aku melompat, panik, karena tiba-tiba saja kamu berbicara.
"Lo udah bangun?" aku bertanya, meskipun, seharusnya memang tak perlu. Kamu bangkit dari berbaring, lalu memberi isyarat agar aku duduk di sebelah. Aku pun patuh.
"Dasar jelek!" katanmu saat aku duduk, membuatku tersenyum lebar dan pasti.
"Apa? Yang bener? Jadi gue keliatan jelek, ya?" Rasanya pipiku memerah.
Saat itu, tiba-tiba saja tersadar, mengapa tidak terpikir untuk berdandan sebelum pulang?
"Cuma bercanda, Woy!" Kamu pun tertawa. Dulunya suka main-main dan ternyata masih saja suka main-main. Seharusnya aku sadar dari dulu, bahwa kamu akan bermain dengan hatiku juga.
"Gue kangen tauk! Lo gak kangen, ya, sama gue?" kamu menambahkan.
Aku tersenyum.
Empat tahun. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan selama kita tidak berkomunikasi. Wajar jika saat itu canggung bertemu denganmu. Terlepas apa pun yang telah kamu lakukan selama empat tahun itu. Yang jelas, aku memang rindu.
"Tidak," jawabku sebaliknya, "seharusnya lo tinggal di sana sepuluh tahun, itu baru bisa bikin gue rindu sama kamu. Empat tahun itu belum cukup!"
"Gue udah nungguin lo lebih dari dua jam, sekarang lo bilang gak kangen?" katamu sambil cemberut.
Oh, Tiyo. Please, jangan membuatku meleleh ....
Aku ingin bermanja padamu, ingin sekali berteriak. Namun, tetap takbisa, tidak mengerti apa yang harus kulakukan.
"Haha. Cuma bercanda kok. Iyalah gue kangen! Bukannya lo yang mau ketemu?" Kuubah topik pembicaraan.
Wajahmu pun menyala. "Ayo pergi ke kamar gue."
Aku kaget dengan apa yang kamu katakan. Itu bukan pertama kalinya aku masuk ke kamarmu, tetapi sudah hampir lima tahun tidak pernah masuk. Bukankah tidak baik, jika ada yang melihat kita hanya berdua di dalam sana?
"Aduh, gue ngantuk nih!" aku beralasan, "besok-besok ajalah! Masih banyak hari lain."
Kamu pun mengangguk, lalu berkata, "Oke. Apa lo sudah makan?"
Aku pun menjawab, "Sudah makan tadi di kantor. Lo juga sudah makan belom?"
Kamu hanya menghela napas, entah kenapa tidak menjawabku.
"Yaudah kalo sudah makan mah. Kalo gitu biar gue antar lo ke kamar ya!" katamu sebelum berdiri. Aku pun menurut.
"Good night, Zahra. Gue kangen banget sama lo. Ternyata lo udah berubah jadi secantik ini," katamu ketika kita sampai di pintu kamarku. Di seberangnya adalah kamarmu.
"Gue juga kangen sama lo, Tiyo. Lo juga udah beda banget. Sekarang lebih Six Pack!"
Tiba-tiba kamu pun menarik lenganku. Tanpa kusadari, lengan itu sudah melingkar pinggangku. Kemudian, kamu membenamkan wajah di leherku, menjilatinya sebentar, lalu berkata,
"Gue kangen banget sama lo sumpah. Mulai sekarang, jangan pernah biarkan jarak memisahkan kita ," bisikmu dengan suara tangis yang membelah dahiku, "lo pernah punya utang sama gue!"
Apa yang pernah kulakukan? Utang apa aku padamu? Bukankah kamu yang punya utang padaku!
Pada malam pesta kelulusan, Amelia tanpa sadar meniduri Handoko—lelaki yang dikenal tidak pernah berpacaran. Amelia pun hamil. Namun, dia tidak peduli dan menyembunyikannya dari Handoko. Siapa sangka, bahwa Handoko adalah ketua dari organisasi preman paling ditakuti saat ini. Apa yang akan terjadi pada mereka nanti? Akankah kepahitan, atau keberuntungan bagi Amelia yang membuat siapa pun cemburu!?
Karena sebuah kebohongan, JIngga Amelia berhasil membujuk Carlos Santana--seorang Fotografer terkenal, untuk berpura-pira menjadi pacarnya. Dia tidak berpikir panjang apakah Carlos adalah pria yang baik-baik saja. Namun, keesokan harinya Carlos menawarkan hubungan persahabatan padanya, tetapi bagi Jingga itu adalah hal yang tidak masuk akal. Bagi Jingga, tatapan Carlos mencerminkan omong kosong dalam dirinya. Dia tahu bahwa pria tampan itu tak pernah tertolak siapa pun dan di manapun. Dari yang awalnya hanya persahabatan, Carlos menawarkan diri untuk menjadi kekasihnya. Siapa Jingga jika menolak tawaran tersebut? Apalagi saat mereka sedang berada di tengah-tengah hubungan intim dan mereka sudah seperti layaknya sepasang kekasih. Jingga tidak menyangka bahwa hubungannya dengan Carlos menjadi semakin dalam. Bahkan, meski tanpa status dia tetap bahagia. Dia merasa memiliki ruang kosong dalam hatinya dan itu telah terisi selama berhubungan dengan Carlos. Namun, suatu hari penyakit Jingga kambuh dan itu membuatnya memutuskan untuk menjadi antagonis dalam kisah cinta mereka. Dia terpaksa pergi bersama Gin. Apa yang tidak terpikirkan olehnya, adalah kenangan saat bersama Carlos dan itu menjadi beban baginya, di kemudian hari. Pada akhirnya, Jingga kembali. Namun, apakah Carlos mampu membuktikan kebenaran pepatah yang mengatakan, "Hati melihat apa yang tidak dilihat mata"?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Seorang gadis SMA bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan susu Nada. Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.