Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Petal's of Scar
Petal's of Scar

Petal's of Scar

5.0
7 Bab
107 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Qirany Zora (Sora) tidak pernah menyangka bahwa orang yang paling dia cintai tega merenggut semua hal darinya karena sesuatu yang bahkan tidak diketahui oleh Sora. Kebahagiaan, impian, dan kebebasan. Semuanya musnah tanpa jejak setelah Sora resmi menjadi istri sang CEO tampan ーAnanta Hazel Wibisono. Dengan kejamnya, Hazel menuduh Sora sebagai tersangka atas kematian kekasihnya ーAnya Adhinata. Oleh karena itu, Hazel bersedia menerima perjodohan dengan Sora supaya Hazel bebas melakukan apa pun untuk menghukum Sora. Menyiksa Sora tanpa kenal ampun. Sora, gadis yang malang, mau tak mau harus menerima kejamnya takdir. Fisiknya dikoyak, psikisnya dirusak, dilumatkan dalam penderitaan tiada akhir. Sora tak hanya mendapat siksaan fisik dan psikis, tapi juga disiksa secara sexual. "Aku bersumpah, akan membuatmu mengemis kematian padaku, Sora!"

Bab 1 Perjodohan Dadakan

Mencintai dalam diam mungkin sangat menyakitkan karena orang yang dicintai belum tentu membalas cinta kita. Namun, jika cinta itu diiringi dengan do'a yang tulus dan bersungguh-sungguh, maka tidak menutup kemungkinan Sang Pemilik hati akan mengantarkan orang tersebut pada kita dan menyatukan hati dalam sebuah ikatan suci.

Berawal dari rasa kagum yang bervolusi menjadi suatu perasaan yang tak terdefinisi. Selama bertahun-tahun mencintai seorang adam dalam diam. Selama belasan tahun menyimpan perasaan itu sendirian, menekannya di dalam lubuk hati terdalam. Tak pernah absen menyebut namanya dalam do'a. Mengawasi dari kejauhan kendati tidak pernah besinggungan. Tak pernah bosan menanti kepastian dari Sang Pemilik Hati.

Hingga pada suatu hari, do'a-do'a yang ia langitkann terjawab. Saat itu, di pagi menjelang siang yang gerimis ... tanpa diduga lelaki yang ia harapkan benar-benar datang ke rumahnya bersama dengan kedua orang tuanya.

Apakah akhirnya do'a yang dilangitkannya sungguh tekabulkan?

❈❈❈❈

Gadis cantik itu, Qirany Zora ーbiasa dipanggil Soraー tampak khusu membaca tahiyat akhir, dan tak lama kemudian ucapan salam pun terdengar mengalun lembut dari celah bibirnya. Sora memang tidak pernah meninggalkan sholat dhuha kendati dia terjebak di dalam kesibukannya sebagai seorang perawat medical bedah di salah satu rumah sakit umum daerah di kota Bandung. Tapi hari ini, Sora lebih leluasa menunaikan sholat sunah tersebut karena ia kebagian shift malam.

"Assalamu'alaikum ..."

Sora yang hampir melepas mukena putihnya sedikit berjengit ketika mendengar suara ketukan pintu disertai salam. Lantas gadis itu menoleh ke arah pintu kamar, dan dia mendapati sosok sang ibu berdiri di sana, menunjukkan senyum yang tak biasa.

"Wa'alaikumusalam." Sora mengulas senyum, lantas melepas mukenanya. "Ada apa, Ma?"

Sang ibu masih setia terdiam di ambang pintu, memperhatikan putrinya melipat alat sholatnya.

'Ah, apakah aku selalai ini? Bagaimana bisa aku baru menyadari, ternyata putriku sudah tumbuh dewasa dengan fisik yang begitu indah,' batinnya takjub ketika melihat wajah Sora yang cerah dan berseri-seri. Kecantikan Sora semakin lengkap dengan helaian surai lembut berwarna merah kehitaman yang tergerai indah hingga sebatas pinggang.

Apsari Widhiani ーibu Soraー masih mempertahankan senyuman anehnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia menghampiri putri semata wayangnya, kemudian memeluknya. Perlakuan tiba-tiba dari sang ibu tak pelak membuat Sora mengernyit heran. Lalu gadis itu sedikit melonggarkan pelukan ibunya hingga ketika mata mereka bertemu ... saat itulah Sora menangkap gelagat aneh dari ibunya.

"Ada apa, Ma?" Ia mengulang pertanyaan. Entah mengapa tatapan Apsari membuatnya tidak nyaman. Sorot mata itu jelas-jelas menujukkan suatu hal yang berkaitan dengan perpisahan.

Senyum Apsari semakin lebar, kemudian dengan lembut tangannya membelai rambut langka putrinya. "Nak, lekas kenakan pakaian terbaikmu, lalu turun ke bawah bersama mama, oke?"

"Eh?" Sora mengerjap, semakin bingung. Oh, Allah ... sebenenarnya ada apa ini. "M-memang ada apa, Ma? Kenapa aku harus berganti baju danー"

"Ada lelaki shaleh yang ingin mengkhitbahmu, Sayang." Apsari memotong perkataan Sora sembari mengelus wajah cantik putrinya.

Sontak biner kemerahan Sora membeliak kaget. Mamanya tidak salah ucap, kan? Ada seorang laki-laki ingin mengkhitbahnya? Ini serius?

"M-Mama serius?" tanya Sora dengan ragu. Karna sesungguhnya Sora belum siap mengarungi bahtera rumah tangga. Selain karena belum terbiasa dengan jadwal pekerjaan yang tak pasti, hati Sora masih terpaut pada orang lain.

"Demi Allah, ini serius anakku," sahutnya meyakinkan.

Sora membeku di tempat.

"Mama sangat bahagia. Karena akhirnya putri kesayangan mama akan menjadi seorang istri," lanjutnya yang semakin membuat Sora bergeming syok.

'Oh, Ya Rabb ... aku memang pernah memanjatkan do'a pada-MU. Jika ia tak kunjung datang, maka datangkanlah lelaki yang baik untuk menggantikan cinta yang kunanti tanpa kepastian. Dan sekarang Engkau mengabulkannya?' inner Sora dengan mata berkaca-kaca.

Terbesit rasa tak rela dalam hatinya. Namun, mau bagaimana lagi? Paling tidak Sora harus menemui si Fulan ini, kan? Jika ini memang jalan terbaik, lantas Sora bisa apa?

Setelah mengganti pakaian dan memoles wajah seadanya, Sora berjalan mengekori sang mama, menuruni anak tangga dengan diselimuti rasa gugup bercampur tak percaya. Bahkan jantungnya mulai berdetak kencang, memukul tulang rusuknya hingga menimbulkan rasa sesak yang sulit dideskripsikan.

Ketika langkahnya kian mendekat dengan ruang tamu, Sora dapat mendengar suara ayahnya yang tengah mengobrol dengan pria yang mungkin seusia dengan beliau. Mungkin itu suara ayah dari lelaki yang akan mengkhitbahnya.

"Nah, ini orangnya sudah datang."

Sora kian menundukkan kepala. Demi Allah, dia tidak berani mengangkat wajah kendati hatinya begitu penasaran dengan sosok laki-laki baik yang berani menghadap orang tuanya secara langsung. Gadis itu terlalu gugup dan bingung. Jawaban apa yang akan dia berikan pada keluarga lelaki tersebut?

"Masya Allah ..."

Pujian itu tercetus dari bibir orang tua si lelaki. Membuat wajah Sora memanas seketika. Antara merasa tersanjung dan ingin menangis.

"Kemari lah, Sayang. Sini, duduk sama mama," ujar wanita cantik berbalut kerudung putih sembari menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya. Kemudian tanpa ragu Apsari mengantarkan putrinya untuk duduk di samping calon besannya.

"Jangan menunduk terus, anakku. Ayo, perlihatkan wajahmu pada calon suamimu!" titah sang ayah, Ghifari Hisashi Rai. Ayah Sora memang orang jepang yang memutuskan menjadi mualaf untuk menghalalkan ibunya.

Sora meneguk ludah gusar, mencoba memberi dukungan pada diri sendiri. Dan sepersekian detik kemudian, perlahan Sora mengangkat kepalanya dengan harap-harap cemas. Semoga ... siapa pun dia yang telah berani menghadap kedua orang tuanya, adalah lelaki yang benar-benar datang atas bimbingan dari Rabb-nya. Lelaki yang mampu membuatnya melupakan serta mengikhlaskan cinta pertamnya.

'Bismillah ... semoga penantian tak pastiku berakhir di sini,' batinnya penuh harap.

Tubuh Sora seketika menegang kaku di tempat tatkala pandangannya bertemu dengan bola mata sewarna awan mendung ーabu-abuー milik laki-laki itu. Kali ini Sora benar-benar dibuat tercengang atas apa yang Allah berikan kepadanya. Ternyata para tamu yang datang ke rumahnya bukanlah orang asing. Terutama laki-laki yang duduk tegap di depannya.

Deru jantung gadis itu kian bertambah cepat, rasanya Sora hampir kehilangan kesadarannya.

Laki-laki itu ... cinta pertama yang ia dambakan selama bertahun-tahun. Laki-laki yang namanya selalu Sora sebut dalam setiap do'anya. Laki-laki yang Sora cintai diam-diam.

Ananta Hazel Wibisono.

Dia benar-benar datang.

"Kak Hazel?" ucapnya sangat lirih, nyaris berbisik. Namun, sayangnya suara cicitan itu tertangkap oleh telinga wanita cantik di sampingnya.

"Alhamdulillah ... ternyara jarak dan waktu tidak membuatnya lupa," celetuknya bahagia.

Seruan heboh Diandra, selaku ibunda Hazel, menguara di ruang tamu itu. Dan detik kemudian disusul ungkapan syukur dan kelegaan. Padahal saat itu Sora belum menjatuhkan jawaban khitbahnya.

"Hallo, Sora ... lama tidak berjumpa. Bagimana kabarmu?" Laki-laki itu menyunggingkan senyum menawan. Senyuman yang membuat jantung Sora bergemuruh bahagia.

"A-aku baik. Ba-gaimana denganmu?" Sora kembali menunduk, kali ini bukan karena gugup, tapi untuk menyembunyikan wajahnya yang tersipu.

"Well, seperti yang kau lihat. Aku 'sangat baik'," jawabnya lugas dan singkat.

"Lho, sekarang panggilannya sudah berubah, ya?" celetuk Apsari sambil tersenyum jahil.

Diandra terkekeh renyah. Tangan lentiknya terus-terusan mengusap punggung Sora, dan sesekali ia merengkuhnya. Sikap Diandra seolah terlihat seperti ibu yang sudah lama tak bertemu dengan putrinya.

"Maklum lah, Dek. Mungkin faktor umur dan lagi ... mereka sudah terpisah cukup lama. Ingat kan, di umur berapa mereja terpisah?" kelakarnya.

Apalagi terkekeh. "Benar juga, ya? Untung masih saling mengingat."

"Jadi, bagaimana nak Sora? Apakah kau menerima khitbah dari kami?" tanya pak Daiyan ーayah Hazelー dengan nada setengah menggoda.

Sora masih bergeming. Sudah pasti ia tidak akan menolak, akan tetapi ... kenapa tiba-tiba hatinya merasa ragu?

"Semua saya serahkan pada putri saya. Karena mau bagimanapun, dialah yang akan menjalani pernikahan ini," kata Hisashi sembari melirik putri semata wayangnya yang kembali menunduk. "Qirany Zora, putriku ... hora, anata no kotae wo kettei suru yo (Silakan tentukan jawabnmu)"

Sora memejamkan mata, menimbang-nimbang. Keraguan dalam hati yang tiba-tiba muncul membuat perasaannya goyah. Diandra benar. Hampir 18 tahun mereka tidak bertemu dan bersua. Sora tidak tahu apa-apa tentang kehidupan Hazel selama mereka terpisah, kecuali menyimak karir Hazel melalui majalah bisnis. Sudah hanya sebatas itu yang Sora ketahui tentang Hazel. Jadi, wajar saja jika hati Sora meragukan sosok lelaki menawan nan gagah itu.

Namun, jika Sora melihat dari background kedua orang tua dan ulasan tentang Hazel di majalah ....

"Hazel anak yang baik. Kalau dia berani macam-macam, aku tak akan segan memasukkannya ke dalam penjara. Ini janjiku padamu, Nak" kata Daiyan kemudian, yang entah mengapa terkesan memaksa Sora supaya ia menerima pinangan mereka.

Sora sudah lama menantikan Hazel dan sekarang dia ada di sini, duduk dihadapannya, dan mengkhitbahnya. Lantas, apa lagi yang Sora tunggu?

Gadis itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Setelahnya ia mengangguk dua kali. Sora menerima khitbah dari Ananta Hazel Wibisono.

Ucapan hamdallah dan seruan penuh akan rasa syukur memenuhi ruang tamu itu, yang kemudian diteruskan dengan para orang tua yang saling memeluk, membagi euphoria dalam hati masing-masing. Mereka semua tersenyum bahagia, tak terkecuali Sora. Bahkan Hazel pun turut tersenyum ....

Namun, itu bukan senyum bahagia.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY