Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Belenggu Hasrat Tuan Muda Adalrich
Belenggu Hasrat Tuan Muda Adalrich

Belenggu Hasrat Tuan Muda Adalrich

4.3
18 Bab
2.3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Hans generasi ke tiga penerus keluarga kaya raya Adalrich. Dia nyaris sempurna tanpa cela. Wajah tampan dengan postur tubuh bak model. Namun, tak seorang pun tahu jika dirinya mengidap gangguan psikologis yang membuatnya merasa jijik setiap kali berada di dekat perempuan. Untuk menyembunyikan aib dirinya, Hans bersikap dingin dan angkuh terhadap wanita. Hingga suatu saat Hans bertemu dengan Sashenka, gadis muda putri tunggal pesaing bisnis keluarganya. Untuk pertama kalinya Hans merasa hatinya bergetar dan hasrat kelelakiannya menggeliat. Di tengah permusuhan keluarga mereka, mampukah Hans memperjuangkan cintanya pada Sashenka?

Bab 1 Korban Fitnah

Di ruang VIP sebuah kelab malam.

"Apakah Anda yang bernama Hans?"

Seorang gadis muda tiba-tiba masuk, berdiri di depan Hans, lalu bertanya dengan nada menantang. Wajahnya cantik, hidung bangir, bibir mungil berwarna merah muda. Kulitnya yang putih tampak bercahaya di bawah pantulan lampu yang berwarna keemasan.

Hans yang sedang mengisi gelas minumannya merasa terusik, refleks menoleh ke sumber suara yang menyebut namanya.

"Ya, memangnya kenapa?" tanya Hans dingin.

Menatap tajam pada gadis itu, tanpa memedulikan tatapan kagum para pria lainnya yang sedang duduk bersamanya.

"Bagus, berarti aku tidak salah orang," jawab gadis itu ketus.

Tangannya mengepal, lalu dalam kecepatan kilat pukulannya melayang ke wajah Hans. Hans tersandar tidak siap mendapat serangan yang begitu tiba-tiba.

Semua orang berseru kaget melihat seorang Hans yang terkenal dingin dan kejam pada wanita di pukul dengan mudahnya di tempat umum. Yang lebih mengagetkan lagi pelakunya adalah seorang gadis cantik yang terlihat masih sangat muda.

"Apa yang kau lakukan?!" sergah Hans dengan amarah tertahan.

Ia berdiri, memposisikan diri tepat di depan gadis itu. Membuat kesenjangan tinggi tubuh mereka terlihat begitu jelas. Gadis itu mendongak, membalas tatapan Hans dengan sepasang bola mata yang menyala-nyala.

"Kau telah menyakiti sahabatku, itu adalah balasan karena kau telah mempermainkan hatinya," jelas gadis itu tanpa rasa takut.

"Siapa nama sahabatmu itu? Bawa ke sini biar aku kasih pelajaran karena telah berani memfitnahku," kecam Hans.

"Tidak perlu. Semuanya sudah jelas, kau adalah orang yang telah berkhianat dan membuatnya menangis. Sekarang kau berurusan denganku," sergahnya, kembali melayangkan pukulan ke pipi Hans.

Namun, kali ini Hans sudah memprediksi serangan itu. Tangannya bergerak cepat, menangkap tangan gadis itu lalu menahannya dengan kuat.

"Lepaskan tanganku!" teriaknya.

"Tidak semudah itu, Nona. Tanganmu sudah lancang memukulku, berarti kau harus siap menerima hukuman," ancam Hans dengan seringai kemenangan di bibirnya.

"Kau ingin balas memukulku? Silakan saja, aku tidak takut!" tantangnya sambil terus meronta, berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Hans.

"Begitukah? Kalau begitu terimalah ini."

Hans melayangkan tangannya yang satu lagi, membuat gadis itu spontan menutup mata karena takut.

Namun, bukan pukulan yang ia terima, melainkan sebuah lumatan kasar di bibirnya yang ranum.

"Hmmmp ... hmmmph," gadis itu berusaha menyuarakan protes, tetapi percuma karena Hans bagaikan singa yang lapar terus melumat bibir mungil itu dengan buas.

"Apa yang kau lakukan?!" protes gadis itu, terengah-engah begitu Hans melepaskan bibirnya.

"Berhentilah memakiku, Nona. Apa kau ingin merasakan hukuman berikutnya? Tetapi aku tidak janji jika rasanya akan tetap sama," ancam Hans, bersiap mendekatkan wajahnya kembali.

Gadis itu mendorong wajah Hans sekuat tenaga.

"Dasar pria mesum. Akan aku laporkan kau ka—mmmphhh,"

"Aduuuh, Shenka. Apa-apaan kamu?"

Tiba-tiba seorang gadis lainnya datang langsung menutup mulut gadis yang ia panggil dengan nama Shenka itu.

"Maaf, Pak. Maaaaf. Teman saya salah paham. Maafkan saya, maaf," pintanya sambil menundukkan kepala berkali-kali.

Tanpa memedulikan pandangan orang-orang yang sedang kebingungan, ia pun menyeret Shenka meninggalkan ruangan VIP itu.

"Apa-apaan sih, Mila? Kenapa kamu meminta maaf kepada bajingan itu?" protes Shenka setelah mulutnya bebas dari jari-jari Mila.

"Aduh, Shen. Kamu tuh salah orang."

"Salah orang gimana? Kamu bilang bajingan itu bernama Hans, pengunjung VIP di kelab ini."

"Memang benar, tetapi bukan pria yang tadi kamu pukuli. Ya, Tuhaaan. Habislah riwayatku," erang Mila dengan wajah pucat.

"Aku gak ngerti, deh. Salah orang gimana? Jelasin dong, Mil."

"Pria yang mempermainkanku namanya Hans Daromesh. Sementara pria tadi, namanya Hans Fernandes Adalrich, pria terkaya di kota iniii," jelas Mila.

"Pria tadi ... dari keluarga ... Adalrich?" tanya Shenka terbata.

"Ya, dia adalah generasi ketiga keluarga Adalrich yang terkenal dingin dan kejam pada perempuan. Kelab ini salah satu miliknya, dan kau berhasil membuatku jadi pengangguran."

Shenka terdiam. Bola matanya berputar, menandakan dirinya sedang berpikir keras.

"Sudahlah, tenang saja. Jika dia memecatmu, masih ada aku yang akan mengurusmu," katanya kemudian, lalu merangkul bahu Mila dengan cuek.

"Bagaimana kamu bisa mengurusku? Hidupmu sendiri tidak jelas," sungut Mila.

"Sudaaah, percaya deh sama aku. Kamu ga bakal jadi pengangguran kok. Sekarang ayo kita pulang, kamu harus tidur cepat malam ini biar besok semangat lagi," sambungnya.

***

Sementara itu di dalam kelab, Hans duduk dengan wajah tegang. Seumur hidupnya baru kali ini ia dipermalukan begitu oleh perempuan.

"Siapa gadis tadi?" tanyanya pada Rovan, manajer kelabnya itu.

"Saya tidak tahu namanya, Pak. Tetapi sering melihat dia datang menjemput karyawan kita yang bernama Mila."

"Jadi sahabatnya itu bernama Mila? Mulai besok pecat dia. Aku tidak butuh karyawan yang punya teman minim attitude seperti itu," perintah Hans dingin.

"Baik, Pak," sahut Rovan patuh.

Tanpa menunggu lagi, ia pun segera mengirim pesan singkat kepada Mila.

***

"Kamu bilang aku tidak akan dipecat. Lalu apa ini?" protes Mila sambil memperlihatkan layar ponselnya pada Shenka.

Shenka yang sedang berganti pakaian langsung meraih ponsel dari tangan Mila, lalu membaca pesan itu dengan suara lantang.

"Kepada Saudari Mila yang terhormat. Sehubungan dengan insiden yang terjadi di ruangan VIP malam ini, dengan menyesal kami harus katakan Saudari dipecat. Mulai besok tidak usah datang lagi, sisa gaji Saudari akan kami kirimkan sesuai jadwal. Terimakasih."

"Gerak cepat juga mereka," gumam Shenka.

"Kamu sih, pake mukulin orang segala. Runyam gini deh jadinya," keluh Mila.

"Habis aku kesel liat kamu nangis terus beberapa malam ini. Kamu tahu sendiri aku paling benci dengan laki-laki yang suka mempermainkan perempuan," sahut Shenka membela diri.

"Iya, aku tahu. Tapi sekarang aku udah ga bisa kerja lagi. Trus kita mau makan apa?" tanya Mila putus asa.

"Udah, tenang. Kalo urusan makan sih gampang," sahut Shenka santai.

"Gampang-gampang kepalamu peyang. Kita berdua nganggur, Shen. Sadar ga sih?" tanya Mila dengan mata mendelik.

"Sadar, dong. Udah ga usah ngambek gitu. Nih, uang sewa untuk bulan ini. Cukup, kan?" kata Shenka sambil menyodorkan sejumlah uang.

"Kok kamu tiba-tiba ada uang. Dapat dari mana?" tanya Mila heran.

"Kerja, dong," jawab Shenka.

"Kerja apa?"

"Ada, deh. Rahasia."

"Jangan bilang kamu jadi sugar baby-nya oom-oom, ya?"

"Ish ... najis. Sorry, ya. Gini-gini aku gadis baik-baik. Ga minat jadi sugar baby," sanggah Shenka.

"Tapi ... kalau sugar baby-nya si Adalrich tadi sih ga papa, Shen. Dia kan kaya raya, ganteng lagi. Gimana rasa ciumannya? Hot, gak?" goda Mila.

"Apaan sih kamu? Aku lempar piring nih!" ancam Shenka, siap-siap mengambil piring yang tidak jauh dari jangkauannya.

"Ampun, bang jago!" teriak Mila, sambil lari ke kamar mandi.

***

Pukul dua dinihari Hans sampai di apartemen mewah miliknya. Ia berdiri di depan kaca sambil menatap pantulan dirinya yang terlihat tampan tapi menyembunyikan guratan kesepian.

Siapa orang yang tidak mengenal Hans Fernandez Adalrich? Konglomerat generasi ketiga yang memiliki perusahaan di berbagai bidang. Wajahnya tampan, tubuh proporsional bak model kelas dunia. Membuatnya menjadi incaran para wanita.

Namun, di balik gemerlap dirinya yang cemerlang, tak seorang pun tahu jika Hans memiliki aib yang sangat memalukan. Tidak jelas apa penyebabnya, tetapi di saat teman-teman remajanya tertarik secara seksual pada lawan jenis, tubuh Hans menunjukkan reaksi yang berbeda. Organ vitalnya tidak bereaksi terhadap tayangan ataupun sentuhan erotis. Jangankan berhasrat secara seksual, ia justru merasa ingin muntah saat berdekatan dengan kaum Hawa itu.

Hal itu meruntuhkan kepercayaan dirinya, tetapi demi harga diri yang tersisa Hans membentengi dirinya dengan sikap cuek dan dingin pada wanita.

Hembusan napas panjang mengiringi tatapan panjang Hans pada pantulan dirinya di dalam cermin.

Hans meraba bibirnya, lalu mengusap pelan permukaannya. Ciuman panas yang ia berikan pada gadis bernama Shenka di kelab tadi kembali hadir membayangi. Untuk pertama kalinya Hans merasakan gelenyar asing di tubuhnya.

"Mengapa bibir itu manis sekali?" tanya Hans.

Ia memejamkan mata, memutar kembali momen saat bibirnya melumat bibir merah muda itu.

'Kenyal, manis, dan menggairahkan,' bisiknya dalam hati.

"Aah ...!" seru Hans tertahan.

Bagian bawah tubuhnya tiba-tiba bereaksi. Hans mengalihkan pandangannya, menatap bagian bawah tubuhnya dengan takjub.

"Apa ini? Apakah aku terangsang?" tanyanya heran.

Hans membuka resleting celananya, menurunkan boxer, lalu mengamati miliknya yang mulai menggeliat.

"Bagaimana ini terjadi?! Apakah karena terbayang ciuman dengan gadis itu?" tanya Hans dengan wajah berbinar-binar.

Ini adalah pertama kalinya Hans merasakan hal itu sejak ia menyadari dirinya seorang pria dewasa.

Selama ini ia selalu merasa jijik setiap kali melihat wanita, terutama wanita yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada dirinya. Jangankan berhasrat secara seksual, berbicara dengan wanita saja sebisa mungkin ia hindari karena tidak ingin tiba-tiba muntah di hadapan mereka.

Hans menaikkan celananya kembali, bergegas menuju kamar, lalu menyalakan video. Ia ingin memastikan kembali kondisi kejantanannya. Suara desahan erotis meluncur dari pengeras suara, tapi Hans tidak merasakan apa pun pada tubuhnya padahal dua sejoli di video itu tengah larut dalam gelombang gairah menuju puncak kenikmatan. Yang ada dia justru merasa perutnya teraduk-aduk karena mual. Tak tahan dengan siksaan itu, ia pun lari ke kamar mandi lalu memuntahkan semua ia perutnya.

"Kenapa tidak terasa apa-apa?" tanya Hans heran.

Ia menyeka mulutnya lalu mengeluarkan miliknya yang ternyata telah tertidur kembali. Hans mendebas kasar dengan kecewa.

"Sampai kapan aku harus begini?" keluhnya dengan nada putus asa.

Sejujurnya Hans iri melihat teman-temannya bisa menikmati malam yang panas dengan teman kencan mereka. Namun, Hans terpaksa bersembunyi di balik sikapnya yang dingin dan kejam demi menjaga aibnya. Hans bahkan tidak segan merendahkan wanita yang dengan terang-terangan menggoda dirinya. Dalam hati terkadang Hans menyesalinya, tetapi ia terpaksa melakukan itu agar reputasi dirinya tetap terjaga.

"Haruskah aku mencoba lagi dengan gadis itu?" tanya Hans pada dirinya.

Hans meraih ponsel, lalu mengetik sebuah pesan.

"Batalkan pemecatan karyawan itu. Suruh dia menghadapku besok malam."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY