Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Penjara Hati Sahabatku
Penjara Hati Sahabatku

Penjara Hati Sahabatku

5.0
9 Bab
161 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Kepergian Lani telah membawa luka yang dalam bagi Lexi prasetyo. Meski terlihat baik-baik saja. Tetapi Lexi selalu merindukan Lani, sahabat sekaligus cinta sejatinya Terlebih kenyataan Lani telah menikah seakan memukul mundur semangatnya. Selang beberapa tahun ia kembali mendengar kabar jika Lani telah bercerai dengan mantan suaminya. Apakah ini kesempatan untuk Lexi kembali merebut hati Lani Davira. Atau kisah mereka hanya akan berakhir sampai disini “Kembalilah Lani, kembali untuk mempertanggung jawabkan perasaan yang terlanjur meluap hingga rasanya menyesakkan dada ku” Lexi Prasetyo

Bab 1 Aku Pernah Sangat Patah

"Lani.., cepetan udah telat nih," seru Lexi seraya melirik ke jam tangannya. Bibirnya bergoyang tak tahan menunggu Lani yang selalu ngaret.

"Lani.., gue jalan duluan nih!" pekiknya kembali. Seorang gadis yang sejak tadi namanya di panggil langsung keluar meski riasan wajahnya masih berantakan.

"Jangan tinggal gue dong." Wajahnya memelas dengan bibir yang sedikit cemberut

"Ahk..., Hahahaa..." Lexi tak bisa menghentikan gelak tawanya. Yah masa sih Lani mau ke kampus dengan lipstik menor gitu. Kayak tante-tante tau gak.

"Mending lo hapus deh lipstik lo itu." Lexi turun dari motornya. Berjalan mendekati Lani. Dengan tangannya ia membelai bibir sahabatnya itu bermaksud menanggalkan warna merah pada birai menggoda itu berganti kembali ke warna alaminya.

"Nah..,cantik,'kan juga kayak gini lo," tuturnya terus menatap Lani lekat. Entah mengapa membuat perasaan Lani berdebar tak karuan. Gadis itu tak bisa menjawab sepatah kata pun. Alih-alih protes dengan sikap Lexi. Lani justru hanya mematut iris matanya terus mengarah ke wajah tampan Lexi. Wajah yang selama ini ia lihat, tak pernah sehari pun mereka terpisah selama lebih dari delapan belas tahun menjadi sahabat. Akankah perasaan itu harus berganti ke romansa cinta. Ahk, membayangkan Lexinmenjadi kekasihnya saja membuat Lani mau tertawa.

"Kenapa lo?!" Lexi memincingkan matanya keheranan dengan sudut bibir Lani yang sedikit terangkat.

"Gue! gue kenapa emangnya?!" Lani berpura-pura bisa saja. Tapi itu mengundang senyum manis di lengkapi lesung pipi milik Lexi

"Gue tau lo.., gak usah pura-pura. Lo tadi mau ketawain gue,'kan?!"

"Enggak.., siapa juga. Kurang kerjaan banget!" Lani tak lagi mau menatap wajah Lexi. Karena ia takut, seandainya Lexi menatap matanya. Maka pemuda itu juga akan tahu betapa besar rasa cintanya ke Lexi Perasaan yang Lani pendam, bahkan sering kali ia ingkari. Namun.., sebesar apapun usaha Lani. Ia yakin getaran di dadanya itu bernama cinta.

Sayang.., Lani tidak bisa mengungkapkan secara gamblang perasaannya ke Lexi. Ia hanya takut Lexi malah memilih menjauh darinya. Apalagi temannya itu sudah memiliki...

"Ni.., cepet dong Sherly ngajakin gue sarapan di kantin bareng ini," gerutunya. Yah, ini adalah salah satu alasannya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Karena Lexi sudah memiliki pujaan hatinya.

"Bentar, gue ijin sama Ibu dulu dong," kata Lani mencoba biasa saja. Lexi menarik tangannya. "Gue udah ijinin tadi sekalian buat lo!" sahutnya, tidak sabaran.

***

Motor Lexi parkir di area kampus. Seperti biasanya, Lani dengan setia menunggu Lexi selesai meletakkan kendaraan ber-cc tinggi itu. Tapi kali ini kesenangannya harus tergores karena Sherly juga datang menunggu Lexi

“Sayang.., cepet dong! Aku udah laper ini” wanita itu terlihat sangat manja pada Lexi. Ia bahkan memegangi perutnya seolah benar-benar kelaparan bak korban pengungsian. Tetapi sikap itu hanya ia perlihatkan pada Lexi. Sementara dengan Lani, Sherly sangat judes. Ia seolah ingin mengukuhkan jika Lexi adalah miliknya

“Kamu ngapain disini?” tanyanya curiga. Matanya memincing tak suka “Lexi udah ada aku, jadi lebih baik kamu pergi deh dari sini!” lanjutnya seraya mengibaskan rambutnya yang tergerai liar. Secara naluri Lani mundur selangkah dan bermaksud pergi dari sana. Sebetulnya Lani memaklumi sikap Sherly, tak ada seorang pun wanita yang mau berbagi kasih pujaan hatinya kepada wanita lain. Meski sahabatnya sekalipun, terlebih Lani menyadari ia telah menodai hubungan ini dengan perasaannya itu, Lani pun tidak mengerti. Bukankah cinta tak pernah salah. Dan ia sendiri tak pernah meminta pada Tuhan meletakkan perasaan cintanya ke Lexi. Ia hanya mengikuti arus takdir, dan jika takdir membawanya untuk mencintai sahabatnya sendiri. Lani ikhlas, meski perasaan itu hanya ada dalam hatinya.

Lani kembali mengenang kejadian yang membuat ia menyukai Lexi.

“Pa.., papa, bangun, Pa.” Tangis Lani pecah sesaat mengetahui ayahnya harus gugur di medan perang. Meski Lani sangat jarang bertemu dengan Gunawan. Tetapi ia sangat-sangat mencintai pria itu. Hanya Papa'nyalah keluarga yang Lani miliki satu-satunya setelah sang ibu meninggal sekitar tujuh tahun yang lalu.

“Papa.., papa gak bisa ninggalin aku kayak gini, Pa. Papa bangun." Ia menggoncangkan tubuh kaku Gunawan yang diletakkan di kamar jenazah. Tangannya perlahan menyentuh luka tembak yang terdapat di dada Gunawan, hatinya remuk redam ketika memperkirakan inilah penyebab ayahnya meregang nyawa di tanah orang. Kini setelah Panglima tersebut terbujur dingin tak ada lagi pelindung bagi Lani. Ia menunduk terus menyanyikan alunan pilu yang keluar dari sudut bibirnya. Seandainya Lani bisa memutar waktu dan meminta sang ayah untuk tinggal saja bersamanya. Atau seandainya Lani diberi waktu satu detik saja untuk mengucapkan kata betapa ia menyayangi ayahnya. Maka Lani rela mempertaruhkan seluruh hal yang ia punya. Tapi sayang.., apa yang telah berlalu tidak mungkin kembali. Kata penyesalan, hanya akan menambah derita tanpa pernah menemui titiknya.

“Lani.., udah, Ni!” Lexi menarik lengan Lani, pemuda itu mau membangunkan Lani karena sebentar lagi jenazah Gunawan mau dimandikan. Tapi Agni menolak, ia menghempaskan tangan Lexi. “Jangan sentuh aku! Jangan pisahin aku sama Papa. Papa...” Lexi pun sangat sedih. Tak pernah ia melihat Lani sehancur ini Lani yang ia kenal adalah wanita yang mandiri. Ia yang seorang anak tunggal apalagi ditinggal sosok ibu menjadi pribadi yang sedikit tertutup dan kaku. Hanya kepada Lexi, Lani menunjukkan keceriaannya sebagai gadis remaja pada umumnya.

Lexinmembeku di tempatnya. Berkali-kali ia mengacak wajahnya sendiri. Air mata seakan terus menutupi penglihatannya, Menjadikan matanya berkabut kepedihan. Ia berusaha tegar untuk Lani. Sayang.., kehilangan Gunawan, sosok kebanggannnya juga membuat Lexi hilang arah.

Untuk meredam rasanya, Lexi menumpuhkan dirinya di lutut kakinya, ia membalikkan tubuh Lani menghadapnya dan memeluk sahabatnya itu erat.

“Lani... Lani...” rancaunya disela isak tangis yang keluar dari bibir keduanya. Pelan, Lani membalas pelukkan Lexi. Ini pertama kalinya Lexi mendekapnya. Meski mereka sudah lama bersahabat tetapi mereka selalu mencoba menjaga batasan.

Lani jadi tahu, betapa nyamannya berada dipelukkan lelaki. Atau karena lelaki itu Lexi seseorang yang menemaninya baik suka dan duka. Dekapan mereka semakin erat sampai salah satu petugas menarik brankas berisikan jenazah Gunawan.

“Pa... Papa aku mau dibawa kemana?”

“Lani.., cukup Lani, lo harus kuat!” tekan Lexi.

Pemakaman secara negara dilangsungkan. Penghormatan terakhir diberikan kepada pahlawan yang gugur di medan perbatasan itu. Sedang Lani, hanya menatap acara dengan pandangan yang kosong. Sejak mengetahui kepergian ayahnya sampai detik ini pun ia tidak makan sama sekali. Mungkin Lani berniat menyusul kedua orangtuanya, entalah... Yang pasti Lexi tak akan pernah membiarkan itu terjadi.

“Ni.., lo makan dong. Nyokap udah buatin roti nih!” ia menunjukkan roti keju buatan Ningsih di tangannya, kebetulan itu roti kesukaan Lani.

“Gue suapinnya?” Lani hanya menggeleng lemah

“Lo harus makan, Ni!” Lexi nampak kesal. Tapi Lani tak jua mau membalas. Ia bagaikan mayat hidup.

“Gue tau lo sedih. Tapi lo harus bangkit demi bokap lo. Dia pasti sedih banget ngliat lo jadi kayak gini” Lexi menggoyangkan tubuh Lani, Lani sedikit memberikan reaksinya. Tatapan mereka bersiborok.

“Gue udah gak punya siapa-siapa lagi, Lex” lirihnya sambil menggeleng. Tangan besar Lexi menangkup wajah Lani.

“Kata siapa? Lo punya gue. Punya nyokap Ningsih. Dan gue akan selalu ada untuk lo!” janji LexinSemenjak itu Lani menjadi lebih manja dengan Lexi, tak mau sedikitpun Lexi menjauh darinya. Beruntung Lexi memahami perasaan Lani.

Saat Lani membutuhkan sandaran. Dengan senang hati Lexi meminjamkan bahunya. Lama kelamaan, Lani bergantung padanya, merasa tidak bisa hidup tanpa Lexi. Dan ia mendefiniskannya menjadi cinta. Cinta yang tak perlu di balas, cinta yang bahkan berusaha ia sembunyikan karena takut Lexi merasa tak nyaman.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY