/0/7108/coverbig.jpg?v=98be8ed57730b68a365b27194d6c7ee0)
Orion Palguna merupakan tuan muda yang tengah mencari seorang gadis dari masa lalu. Yang ia miliki hanya sebuah gantungan kunci sebagai petunjuk. Dan hal itu membuatnnya kesulitan. Dalam rasa putus asa karena tidak kunjung menemukannya. Tiba-tiba Orion dijodohkan dengan Mahika Nada. Seorang perempuan yang merupakan kekasih dari adiknya, Oza Partha. Bagaimana kisah cinta segitiga itu? Siapa yang akan Hika pilih?
"Ayo anak-anak, kerjakan soalnya. Ibu tunggu kalian sampai tiga puluh menit ke depan."
"Iya, Bu!" seru para Murid.
Perempuan yang dipanggil ibu itu tersenyum lalu duduk di bangkunya. Mahika Nada nama perempuan itu. Ia mengambil sebuah penggaris yang bada di atas meja.
Hika berdiri dan berjalan menuju anak didiknya. Perempuan itu berjalan mengitari tiap meja. Mengawasi para murid agar menyelesaikan soal tanpa menyontek.
"Dimas, kerjakan soalnya. Bukan main ponsel terus," tegur Hika seraya mengambil ponsel dari tangan Dimas. "Ibu pinjam dulu, nanti pulang sekolah ambil ke ruang Guru," sambungnya.
Dimas yang merupakan siswa bandel itu hanya bisa diam. "Baik, Bu."
Perempuan dengan balutan kemeja batik itu kembali mengawasi anak-anak didiknya. Hingga akhirnya tiga puluh menit telah berlalu. "Kalian kumpulkan di depan!" perintahnya.
"Baik, Bu." Para murid mulai maju ke depan. Mengumpulkan lembar jawaban.
"Kalian boleh istirahat," ujar Hika.
"Baik, Bu."
Para murid berbondong-bondong keluar dari kelas. Sementara Hika masih membereskan lembar jawaban dan buku paketnya. Setelah itu ia keluar dari kelas menuju ruang guru.
"Kenapa, Bu? Kayak lelah gitu," tanya Oza.
Hika yang baru saja duduk di kursinya menoleh lalu tersenyum. "Enggak ada apa-apa, Pak."
"Kirain," ujar Oza. "Mau makan di kantin luar atau di kantin, Sayang?" tanyanya lirih.
"Mas!" tegur Hika tersentak kaget. "Ini masih di sekolah," ujarnya mengingatkan.
"Enggak apa-apa lah. Ini di ruang Guru. Bukan di kelas. Lagian mereka juga udah pada tahu kalau kita pacaran," ujar Oza dengan kerlingan mata.
Tidak ada sahutan dari Hika selain embusan napas kasar. Perempuan itu mengeluarkan dua kotak makan siang dari dalam tasnya lalu menyerahkan satu kepada Oza. "Aku tadi buatnya kelebihan."
Oza menerimanya dengan senang hati. "Enggak usah buat alasan. Mas tahu, kamu sengaja buat lebih."
Hika mengulum senyum sambil menunduk. Mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona. Namun, dengan cepat Oza menarik dagu lancip itu.
"Ehem! Ini masih di sekolah, Pak Oza, Bu Hika." Seorang pria paruh baya yang merupakan kepala sekolah itu menegur.
Sontak Oza dan Hika segera menunduk lalu berkata, "Maaf, Pak."
"Tidak apa-apa, tetapi jangan diulangi. Walaupun ini ruang Guru, tapi suka ada murid yang masuk."
"Iya, Pak."
Setelah mengatakan itu, Oza memilih kembali ke mejanya. Mereka makan terpisah dengan menu yang sama. Hingga tidak terasa, jam pelajaran kembali di mulai.
***
"Kamu pulang kapan?" tanya Oza kepada Hika.
Mereka bisa sedikit bebas karena para murid sudah lebih dahulu pulang. Hika yang tengah mengecek hasil ulangan anak-anak muridnya mendongak. "Aku nanti aja, ini tanggung."
"Tapi ini udah sore, Sayang."
"Enggak apa-apa. Ada Mang Dono yang keliling."
"Aku khawatir, tapi enggak bisa nemenin kamu. Ada jadwal les," ujar Oza penuh sesal.
Hika tersenyum lalu mengangguk. "Enggak apa-apa, Mas. Aku juga bentar lagi selesai."
"Ya sudah. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Setelah Oza tidak terlihat, Hika kembali melanjutkan kegiatannya. Hingga tidak terasa langit jingga telah datang. Suara adzan magrib berkumandang.
Akhirnya Hika memilih melaksanakan salat magrib lebih dulu. Lalu kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Hika memilih untuk pulang. Ia akan memeriksa sisanya di rumah. Dengan mengendarai motor matic, Hika meninggalkan sekolah.
Saat akan membelokkan arah, tiba-tiba ada mobil menubruk motor Hika. Sontak, Hika yang tidak bisa menjaga keseimbangan terjatuh. "Kalau motor yang benar!" bentak seorang laki-laki yang turun dari mobil tersebut.
"Liat mobilku jadi penyok!" bentak Orion lagi.
"Kamu yang salah. Kenapa malah menyalahkan aku?" tanya Hika tidak terima.
Dengan sisa tenaganya, Hika berdiri lalu membenarkan posisi motornya. "Kamu harus ganti rugi! Liat motorku jadi rusak."
Bukannya merasa bersalah, Orion malah tertawa terbahak-bahak. Hal itu jelas membuat Hika keheranan. Dengan berani perempuan itu menghampiri.
"Pantas, lagi mabuk." Hika dapat mencium aroma menyengat dari tubuh pria di hadapannya.
Sadar jika tidak akan ada gunanya berbicara dengan manusia setengah sadar. Hika memilih pergi. Walaupun berat karena motornya rusak, tetapi ia tidak mau membuang-buang waktu.
"Mau ke mana woy! Gantiin dulu," teriak Orion.
Tidak ada sahutan dari Hika karena perempuan itu sudah pergi jauh. "Ah. Sial!" umpat Orion sambil menendang bagian depan mobilnya.
"Bangsat! Sakit."
***
"Dari mana kamu baru pulang jam segini?" tanya Rama, papa Orion.
Tidak ada sahutan dari Orion. Pria itu berjalan begitu saja. Namun, langkahnya terhenti karena Sinta menahannya.
"Ya ampun! Kamu minum lagi, Yon?"
"Cuma sedikit, Pa. Buat hangat aja," sahut Orion.
"Astagfirullah, Yon. Sedikit juga tetap enggak boleh. Itu haram, Nak."
Orion menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Udah tanggung, Mam." Setelah mengatakan itu, Orion masuk ke dalam kamar.
Rama memijat pangkat hidungnya. Ia merasa pusing dengan anak sulungnya. "Bagaimana ini, Pa? Orion enggak bisa dibiarkan begitu saja. Mama takut dia semakin tersesat."
"Papa akan pikirkan."
"Apa perjodohan kita percepat saja?" tanya Sinta memberikan solusi.
"Assamu'alaikum," ucap Oza saat kakinya menginjak rumah orang tuanya.
Kedua orang tuanya yang tengah berunding mengenai Orion pun menjawab salam Oza. "Wa'alaikumussalam, Za."
"Kamu dari mana jam segini baru pulang?" tanya Sinta.
"Aku habis ngajar di tempat les, Mam."
Sinta tersenyum dan menatap bangga anak bungsunya. "Kamu memang hebat, Sayang."
"Mama bisa aja. Aku enggak hebat kok," ujar Oza. "Tumben jam segini masih di ruang tamu. Habis ada tamu?" tanyanya.
"Bukan, Za."
"Lalu?"
"Kami membahas soal perjodohan Kakakmu," jawab Sinta.
Oza sedikit tersentak mendengar ucapan mamanya. "Yang benar, Mam? Emang Kak Orion mau?"
"Kita belum membahas dengannya. Tapi walaupun dia tidak mau, perjodohan harus tetap terjadi."
"Kok bisa?"
"Itu karena ini sebuah wasiat yang almarhum Kakek berikan."
"Bagaimana bisa?" tanya Oza tidak habis pikir.
"Itu bisa terjadi, Za. Ceritanya panjang, dan kamu tidak perlu mengetahuinya." Oza mengangguk lalu memilih masuk ke dalam kamarnya.
***
"Ada apa nih? Serius banget," tanya Orion saat melihat wajah orang tuanya yang tidak seperti biasa.
Pagi itu, mereka tengah berada di meja makan untuk sarapan. "Setelah makan, kamu jangan dulu pergi ke kantor. Ada yang ingin kami bahas denganmu, Yon."
Alis Orion bertautan mendengar ucapan mamanya. "Penting banget ya? Aku ada meeting soalnya," tanya Orion seraya melihat ke arah jam mewah yang melingkar di lengannya.
"Ini lebih penting dari meeting kamu." Rama menegaskan.
Jelas hal itu semakin membuat dahi Orion berkerut. "Bikin penasaran aja. Ini meeting dengan Investor loh," ujarnya menjelaskan. "Apa hal itu lebih penting?"
"Ini jauh lebih penting. Udah kamu jangan banyak tanya! Mending sekarang habiskan makannya."
Orion mendengus, tetapi menuruti perintah mamanya.
Kupejamkan mataku, dan kukecup bibirnya dengan lembut, dia menyambutnya. Bibir kami saling terpaut, saling mengecup. Pelan dan lembut, aku tidak ingin terburu-buru. Sejenak hatiku berkecamuk, shit! She got a boyfriend! Tapi sepertinya pikiranku mulai buyar, semakin larut dalam ciuman ini, malah dalam pikiranku, hanya ada Nita. My logic kick in, ku hentikan ciuman itu, kutarik bibirku mejauh darinya. Mata Nita terpejam, menikmati setiap detik ciuman kami, bibir merahnya begitu menggoda, begitu indah. Fu*k the logic, kusambar lagi bibir yang terpampang di depanku itu. Kejadian ini jelas akan mengubah hubungan kami, yang seharusnya hanya sebatas kerjaan, menjadi lebih dari kerjaan, sebatas teman dan lebih dari teman.
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Awalnya, Krystal hanya meminta pertolongan pada Kaivan untuk meminjam uang demi mengobati adiknya yang sakit. Namun, semua niat Krystal tidak bisa gratis begitu saja. Ada harga yang harus dibayar. Menjadi istri kedua dari seorang Kaivan Bastian Mahendra adalah syarat utama yang harus Krystal lakukan. Hubungan rumit layaknya sesuatu hal yang tak mungkin, mampukah Krystal bertahan?
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.