Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Ketagihan Mama Temanku
Ketagihan Mama Temanku

Ketagihan Mama Temanku

5.0
8 Bab
3.8K Penayangan
Baca Sekarang

Namaku Pras. Umurku delapan belas. Dan aku suka wanita yang usianya dua kali lipat dariku. Mereka elegan, tenang, berpengalaman... dan jauh dari drama anak sekolah. Aku pikir ini hanya fase. Ternyata aku ketagihan. Tapi hidup nggak segampang fantasi. Ketika rasa suka berubah jadi candu, dan kenyataan tidak seindah khayalan, aku mulai bertanya-apa aku hanya mencari pelarian, atau... sesuatu yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari rumah? "Ketagihan STW" adalah cerita tentang nafsu, kehilangan, dan pertumbuhan-diceritakan dari sudut pandang remaja yang terlalu cepat dewasa.

Konten

Bab 1 Ketagihan

Mohon maaf jika cerita ini terlalu jujur dan polos tanpa sensor, karena memang ini adalah KISAH NYATA yang semuanya benar-benar telah kualami. Hanya nama tokoh yang disamarkan.

^*^

Namaku Prasetya Putra Pramudya biasa dipanggil Pras, Indonesia asli, darah campuran ayah Jogja sementara mama Sunda.

Usiaku saat ini 21 tahun, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta. Kampus kecil, kurang terkenal. Bahkan banyak yang baru dengar namanya waktu aku sebutin.

Kalau soal penampilan, aku orang biasa. Kata tetangga, mirip Arhan Pratama, pemain Timnas Garuda. Ganteng? Mungkin nggak segitunya. Tapi aku nggak keberatan dibandingin, karena fans berat Timnas, terutama Justin Hubner dan Ole Romeny.

Ada satu hal dalam diriku yang beda, ialah punya ketertarikan sama perempuan yang usianya jauh lebih tua dariku. Minimal seumuran dengan mamaku. Apalagi jika wanita tersebut berstatus mama atau ibu dari temanku. Aneh bukan?

Aku juga nggak tahu kenapa bisa begitu. Rasanya muncul begitu aja, tanpa alasan yang jelas. Tapi aku bersyukur, karena perasaanku masih tertuju pada lawan jenis, walau usianya lebih tua. Nggak seperti Anwar, temanku, yang menyukai ayah temannya padahal sudah jelas dia juga seorang lelaki.

Hidupku berubah saat kelas dua SMP. Orang tuaku bercerai. Katanya sudah nggak cocok lagi. Mama kembali ke rumah nenek di Sukabumi, membawa serta adikku, Prilia Putri Pramudya. Aku tinggal sama Ayah, melanjutkan sekolah di Kota Bogor. Prilia yang masih SD kala itu, melanjutkan sekolah di Sukabumi. Sebulan sekali ketemu Mama dan adikku.

Di rumah, aku lebih sering sendirian. Ayah kerja sebagai sopir bus antar kota. Sering pergi berhari-hari. Jadinya aku udah terbiasa ngurusin diri sendiri.

Lima bulan setelah cerai, Mama hamil lagi. Calon suaminya seorang driver ojek online, usianya baru dua puluh satu. Mereka nikah, dan sejak itu, rasa hormatku ke Mama agak pudar. Gosip tentang perselingkuhannya dulu, jadi terasa masuk akal. Mungkin itu sebabnya Ayah menceraikan dia.

Ayahku, Pramudya, asli Jogja. Sebenarnya dia sarjana pendidikan. Tapi entah kenapa lebih milih kerja sebagai sopir bus. Meski jarang di rumah, dia tetap tanggung jawab. Untuk makan, kalau lagi malas masak, aku tinggal ke warung langganan. Nggak perlu bayar, karena Ayah yang urus semuanya di akhir pekan.

Setahun setelah cerai, Ayah nikah lagi. Aku manggil istri barunya Mama Nina, wanita cantik keibuan berasal dari Karawang. Nggak butuh waktu lama buatku nerima dia. Orangnya baik, perhatian, dan hangat. Aku sempat ngerasa kayak punya keluarga utuh lagi. Seperti punya dua ibu kandung.

Tapi itu nggak lama. Mama Nina nggak kuat hidup sama pria yang jarang di rumah. Akhirnya dia pergi juga. Aku kecewa, tapi bisa ngerti. Sepi itu nggak gampang dijalanin.

Saat menikah dengan Ayah, status Mama Nina, sebagai janda kaya raya, mantan istri pejabat di sana. Mungkin karena ayahku ganteng banget, sehingga Mama Nina mau menjadi istrinya, padahal status sosial kami bagai bumi dan langit.

Sekarang, aku kembali hidup sendiri di rumah. Ayah tetap urus semua kebutuhanku, walau kami hidup sederhana. Aku sekolah naik motor matic, nggak pernah neko-neko.

Dari luar mungkin aku kelihatan seperti remaja biasa. Tapi dalam hati dan pikiranku, banyak hal yang nggak semua orang tahu. Dan sebagian dari itu... mungkin terlalu rumit buat dijelaskan.

^*^

Awal sebuah perubahan dan kejutan.

Pagi itu aku telat bangun. Sempat kepikiran bolos, tapi udah janji ketemu teman sekelas, jadi aku paksa juga berangkat. Walaupun aku tahu, udah pasti bakal kena omel guru piket. Apalagi aku baru beberapa bulan menjadi siswa SMA swasta yang juga tidak terkenal tapi sangat ketat dalam penerapan disiplin sekolah.

"Pras!"

Baru aja motorku melaju, ada yang manggil dari belakang. Aku rem, noleh, dan agak bingung. Ternyata Rifky. Anak bungsu Pak Haji Anhar, tetangga sebelahku. Orang-orang manggil dia "Rifky Ustad" karena memang dikenal santun, alim, sederhana dan sangat religius. Menjadi panutan semua anak muda di kompleks.

Dia buru-buru nyamperin aku.

"Sorry, Pras. Kesiangan ya? Lagi buru-buru?" katanya sambil ulur tangan.

"Yoi. Ustad juga telat ke kampus?" Aku jawab sambil senyum.

"Banget. Eh, boleh nebeng sampai perempatan? Motor saya mogok," ucap Rifky mahasiswa tingkat tiga salah satu universitas ternama.

Aku angguk dan kasih dia boncengan. Motor langsung aku gas lagi. Entah kenapa, malah makin kenceng. Rifky nggak pake helm, tapi aku pikir aman aja karena kami nggak lewat jalan besar.

Walau rumah kami bersebelahan, namun ini pertama kalinya aku boncengin Rifky. Dulu dia kakak kelasku waktu SD dan SMP, tapi sejak SMA dan kuliah, kami jarang ngobrol. Dia anaknya sopan banget. Gak pernah ngomong 'gue-lu'. Gayanya juga rapi-celana bahan, kemeja, nggak pernah pakai jeans sobek-sobek kayak anak kompleks lainnya.

"Stop di sini aja, Pras," katanya sambil nepuk pundakku.

"Nggak lanjut ke kampus, Tad?" tanyaku.

'Tad' adalah sapaan akrab kami dari kata 'Ustad' Bukan Rifky yang meminta, tapi memang kami semua terbiasa menyapanya demikian. Kaya sudah jadi nama panggilan aja.

"Masih, tapi dari sini kita kan udah beda arah. Saya naik angkot aja, Pras."

"Sekalian aja saya anterin. Saya juga udah telat parah. Ke sekolah juga paling disuruh muter lapangan, Tad."

"Serius mau nganterin sampai kampus?"

"Kalau perlu, saya anter sampe kelas," candaku.

"Hehehe, ya udah deh, ayo lanjut."

Kami jadi lebih santai ngobrolnya. Jalanan makin padat, motor aku pelanin. Ternyata Rifky enak juga diajak ngobrol. Biasanya kami cuma sapa-sapaan kalau papasan. Lingkungan kami tahu keluarga dia religius. Sementara aku, ya... tipikal anak remaja biasa. Slengekan.

"Ngopi dulu yuk di kantin. Saya masih lama juga masuknya," ajaknya.

Aku nggak jawab, langsung arahkan motor ke kantin dekat ATM Centre. Aku emang hafal area kampus ini. Dari kecil suka main ke sini, suasananya adem, sejuk, dan tenang. Aku masuk ke lingkungan kampus tanpa mencolok. Seragam SMA-ku ketutup jaket.

Kami duduk, pesan kopi dan gorengan. Tiba-tiba Rifky ngomong serius.

"Pras, kamu kelas satu SMA, tapi kalau pake jaket gitu, terus nongkrong di kampus, udah kaya mahasiswa tingkat tiga aja, badan kamu sama kaya saya," ucap Rifky sambil terkekeh.

"Ya, mungkin keturunan ayah. Rifky tahu sendiri ayah saya gimana."

"Betul, gantengnya juga sama, hehehe," timpal Rifky.

"Hahaha, Ustad lebay ah."

"Pras, sebenarnya saya udah lama pengen ngobrol berdua sama kamu. Tapi agak gimana gitu. Soalnya ini masalah pribadi. Rahasia banget."

"Ngobrol kayak bintang tamu acara teve?" aku godain, agar suasana lebih cair dan dia ketawa kecil.

Jujur, ngobrol dengan gaya 'saya-kamu' itu bikin agak kikuk. Terasa formal banget, kayak lagi diinterogasi oleh guru BP.

"Agak canggung sih saya ngomongnya," lanjut dia.

"Gini, Tad. Kalau kamu ragu saya bisa jaga rahasia, mending jangan cerita. Tapi kalau percaya, silakan aja."

"Oke. Saya percaya. Saya lagi punya masalah pribadi. Udah lama juga. Kamu bisa bantu?"

"Bisa!" jawabku cepat, walau belum tahu masalahnya apa.

Dia ketawa. "Belum saya cerita, udah jawab bisa. Hebat kamu, Pras."

Aku ikut ketawa, minimal suasana semakin cair.

"Gak nyangka ternyata kamu cukup dewasa juga Pras, padahal baru kelas satu SMA. Kita pindah tempat yu," ajaknya.

Kami pindah ke taman kampus. Sepi dan nyaman buat ngobrol.

Rifky sempat diam. Lalu akhirnya nanya pelan, "Eh... Pras, kamu serius pake obat apa?"

Aku langsung noleh. "Hah? Obat? Maksudnya apaan, Tad?"

Kepalaku langsung mikir ke narkoba. Tapi aku yakin 100 persen, nggak pernah nyentuh barang haram itu.

"Eh... maaf, maksud saya bukan itu," Rifky terbata. "Saya denger dari anak-anak kompleks... katanya, kontol kamu itu paling gede dan paling panjang diantara semua. Malah terlalu besar. Nah, kamu pake obat khusus, gak?"

"Astaghfirullah..." teriakku spontan karena kaget. Aku menatapnya tak percaya. Namun hampir ngakak sambil guling-guling di bangku taman.

Rasanya absurd banget mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut seorang Rifky. Sosok yang dikenal santun, agamis, dan serius. Berada dalam lingkungan keluarga yang sangat religius, putra bungsu dari Pak Haji Anhar dan Bu Hajah Anhar. Tapi sekarang? Nanyanya begini? Dengan bahasa vulgar tanpa tedeng aling-aling.

Aku menatap wajah Rifky cukup lama. Dia kelihatan serius, tapi juga malu-malu. Kalau yang bertanya bukan Rifky Ustad, mungkin sudah kutampar kepalanya sejak tadi.

"Serius, Pras." katanya lagi, kali ini agak lantang.

"Yang Ustad maksud, ini?" Aku menunjuk pelan ke arah selangkanganku untuk memastikan, dan Rifky mengangguk, wajahnya mulai memerah.

"Emang kenapa dengan kontol saya, Tad?" Aku balik bertanya dengan nada yang sengaja kuangkat sedikit, ingin tahu sejauh mana dia serius mempertanyakan hal itu.

"Eh... sorry, jangan tersinggung ya, Pras. Gini, saya langsung aja. Kontol saya itu... terlalu kecil. Bahkan dibanding semua teman sebaya. Saya jadi gak percaya diri. Jujur aja mau pacaran pun gak berani. Menurut kamu, ada solusinya gak?"

Rifky menyampaikan kalimat itu dengan lancar, seolah sudah dia latih berhari-hari. Aku terdiam. Antara ingin ketawa dan gak percaya.

Speechless.

Untuk apa Rifky mempermasalahkan ukuran penisnya? Bukankah di usia kami, alat itu fungsinya masih sebatas buat buang air kecil? Bukan sesuatu yang harus dipikirkan dalam-dalam.

Tapi aku juga sadar, Rifky bukan orang pertama yang mengangkat topik ini. Beberapa teman dekatku juga pernah iseng membahas hal yang sama. Bahkan ada yang terang-terangan mengaku sangat iri dengan ukuran penisku.

Aku sendiri nggak tahu harus bangga atau biasa-biasa aja soal itu. Mungkin mereka semua, termasuk Rifky, sudah terpengaruh oleh doktrin bahwa ukuran penis itu segalanya. Bahwa 'kebanggaan laki-laki' diukur dari seberapa besar dan panjang penisnya.

Aku sama sekali tidak bisa memberikan saran atau solusi, sampai akhirnya Rifky pamit karena harus masuk kampus.

Aku tak pernah memikirkan soal ukuran penisku. Apalagi menganggapnya istimewa. Tapi ternyata, diam-diam, banyak yang memperhatikan. Banyak yang penasaran. Bahkan membanding-bandingkan. Dan, ya... ada juga yang ingin seperti aku.

Saat ereksi, panjang penisku hampir 20cm, untuk ukuran anak kelas satu SMA, mereka anggap itu sangat luar biasa. Udah kaya anak bule aja, katanya.

Aku tak bisa bohong-ada rasa bangga. Dianggap 'spesial' atau 'luar biasa' oleh orang lain, siapa yang tak senang?

Tapi di balik rasa bangga itu, ada keganjilan. Aku merasa seperti dianggap ada, hanya karena sesuatu yang tak pernah kuduga. Seolah yang dilihat hanya satu bagian tubuhku, bukan diriku seutuhnya.

"Gila. Kontol gua yang udah punya anak dua aja, kalah sama kontol lu! Diobat ya, Pras?" Mas Agus, memuji penisku saat kami mandi rame-rame di sungai sehabis kerja bakti di kompleks. Aku tak menggubris karena itu hanya candaan. Walau banyak sekali yang mendukung omongan Mas Agus itu.

Dan yang pasti, aku tidak minum obat, jamu atau ramuan apapun untuk perawatan penisku. Sejak akhir SMP, penisku tumbuh lebih cepat dari teman sebayaku, bahkan mengalahkan beberapa teman kompleks yang usianya jauh di atasku. Termasuk kaum dewasa seperti Mas Agus itu.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 8 Ketagihan   06-07 20:03
img
1 Bab 1 Ketagihan
05/06/2025
2 Bab 2 Ketagihan
05/06/2025
3 Bab 3 Ketagihan
05/06/2025
4 Bab 4 Ketagihan
05/06/2025
5 Bab 5 Ketagihan
06/06/2025
6 Bab 6 Ketagihan
07/06/2025
7 Bab 7 Ketagihan
07/06/2025
8 Bab 8 Ketagihan
07/06/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY