Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Dusta Dan Sandiwara Cinta
Dusta Dan Sandiwara Cinta

Dusta Dan Sandiwara Cinta

5.0
4 Bab
74 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Afifah merasa sangat terpukul dan putus asa ketika tahu suami yang baru dinikahinya enam bulan yang lalu meninggal karena kecelakaan tabrak lari. Tetapi kehadiran buah hati di kandungannya membuat dia tetap tegar menghadapi kesulitan hidup yang datang silih berganti. Di dalam kesulitan hidupnya, datang dua pria yang perlahan mulai mengisi kekosongan hidupnya. Mereka seperti malaikat tanpa sayap yang rela melakukan apapun demi dirinya. Tetapi sekali lagi takdir membuatnya kecewa tatkala ia mengetahui kenyataan bahwa salah satu diantara mereka adalah pria yang telah menghabisi nyawa suaminya dan selama ini berdusta juga bersandiwara mencintainya. Haruskah ia menerima dusta dan cinta sandiwara itu, atau malah memilih membalas kematian suaminya?

Bab 1 1. Tidak Mau Ditinggalkan

"Bisakah kamu tidak pergi kali ini, Mas?" Afifah menatap lekat mata suaminya yang juga menatapnya penuh cinta. Kalimat itu dia utarakan karena merasa hatinya tidak tenang mengizinkan suaminya pergi ke luar kota tiga lamanya.

"Memangnya kenapa, Sayang? Padahal semalam kamu sudah mengizinkan aku pergi." Evans penasaran, dia tidak akan tenang jika pergi tanpa izin dari istri tercintanya. Jika memang nanti alasan Afifah tidak mengizinkannya untuk pergi sangat masuk akal dan bisa diterima, maka dia tidak keberatan membatalkan kepergiannya ke Surabaya.

"Perasaanku sangat tidak tenang, aku merasa tidak akan bisa melihat wajah tampan dan senyuman manis kamu lagi. Aku takut kamu tinggalkan, lagipula satu minggu yang lalu kamu juga baru saja pulang dari Singapura dan sekarang harus pergi lagi. Mas, aku butuh banyak waktu bersama kamu, kita masih pengantin baru, tetapi aku sudah sering ditinggalkan." Afifah memeluk pinggang suaminya dan mendongak untuk melihat bagaimana respon suaminya setelah dia mengatakan alasannya.

"InsyaAllah, kalau pekerjaan kali ini selesai. Aku akan ajak kamu liburan ke Mesir, bagaimana?" Evans membujuk istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Tapi, Mas!" rengek Afifah yang masih berat meninggalkan suaminya pergi.

"Dua minggu kita akan ke Mesir kalau kamu izinkan aku pergi bekerja kali ini?" Evans mencium dahi istrinya cukup lama.

"Aku tetap tidak mau ditinggal lagi, Mas. Pokoknya aku gak mau kamu pergi!" rengek Afifah dengan mata berkaca-kaca.

"Mas tetap harus pergi, Sayang." Evans sedikit lelah karena terus memberi pengertian kepada istrinya.

Afifah tidak biasanya bersikap seperti itu ketika ditinggal bekerja di luar kota. Ini pertama kalinya sang istri merengek tidak mengizinkan ia pergi.

"Di perusahaan itu banyak orang, Mas. Bukan cuma kamu, biarkan mereka saja yang pergi mewakili kamu!" sentak Afifah dengan nada rendah dan suara serak.

Satu minggu setelah kepulangannya dari Singapura, Evans kembali mendapat tugas untuk bekerja di luar kota. Tentu saja hal itu sangat berat untuk Afifah karena harus berpisah kembali dengan sang suami. Namun, dia dituntut untuk merelakan karena jabatan suaminya yang merupakan pemimpin tinggi perusahaan patut untuk dipertanggungjawabkan sehingga mau tidak mau Afifah harus mengizinkan Evans pergi.

"Sayang, mas perginya hanya tiga hari. Kamu jaga diri baik-baik di rumah, ya! Jangan lupa sholat, makan, dan istirahat yang cukup. Tunggu mas pulang!" Evans mengecup dahi Afifah lagi sebelum berangkat bekerja hari ini.

Afifah langsung mengeratkan pelukannya karena entah mengapa dia merasa jika dirinya tidak akan bisa bertemu dengan Evans lagi setelah itu.

"Apa benar-benar tidak bisa digantikan orang lain, Mas?" tanya Afifah yang masih enggan melepaskan pelukannya.

"Mas sudah bilang kan tadi malam sama kamu?" Evans mengusap air mata yang mengalir di pipi Afifah.

"Perasaanku tidak enak, Mas. Entah kenapa kali ini aku berat mengizinkan kamu pergi." Afifah semakin erat memeluk suaminya dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang itu.

"Mas akan baik-baik saja, mas berpesan kamu selalu berdoa setiap sholat untuk keselamatan mas. Hanya doamu yang mampu melindungi mas, Sayang." Evans kemudian melepas pelukan mereka perlahan. Sebenarnya dia juga tidak tega kalau harus meninggalkan istrinya lagi, tetapi pekerjaannya yang sangat penting membuat ia harus mengalah.

"Tanpa mas minta pun, aku selalu mendoakan kamu," ucap Afifah lirih karena dia sedang menahan perasaan kesalnya.

"Mas pergi, ya?"

"Iya." Afifah akhirnya mengangguk. "Aku antar kamu sampai depan, Mas." Afifah memeluk lengan kiri Evans dan mereka pun berjalan menuruni anak tangga menuju lantai satu sampai keluar dari rumah.

"Ingat pesan mas tadi apa saja yang harus kamu lakukan di rumah! Assalamu'alaikum." Sekali lagi Evans mengecup kening Afifah dan bibirnya juga yang pastinya akan sangat dia rindukan tiga hari ke depan.

"Wa'alaikumussalam, Mas." Afifah menatap suaminya yang sudah masuk ke mobil. Dia berdoa semoga Allah selalu melindungi suaminya di mana pun pria itu berada. Setelah mobil suaminya tidak terlihat lagi, Afifah pun kembali masuk ke rumah dan duduk di sofa ruang tamu.

"Sayang, hari ini kamu akan pergi bekerja menggantikan suami kamu?" tanya mertua Afifah yang bernama Sarah.

"Iya, Ma." Afifah tersenyum dan mengangguk.

"Ya sudah, kalau begitu kamu siap-siap dulu saja, nanti kalau selesai langsung turun dan makan bersama!" ucap Sarah lembut.

"Iya, Ma. Kalau begitu, aku ke kamar dulu." Afifah berdiri kemudian melangkah cepat menuju kamarnya.

Selama Evans pergi, Afifah akan menggantikan pekerjaan suaminya itu di perusahaan karena dirinya adalah wakil CEO di sana.

***

Tidak terasa tiga hari telah berlalu dan hari ini Afifah memutuskan pulang lebih awal dari kantor karena akan menyambut suaminya pulang.

"Sekretaris Dev, sama pulang dulu!" pamitnya pada sekretaris pribadinya.

"Baik, Bu. Hati-hati di jalan!" ucap Devan sopan.

"Ya." Afifah mengangguk. Dia pun pergi ke parkiran, masuk ke mobil dan langsung pulang.

Malam telah tiba, Afifah sekarang sedang duduk di kursi rias karena dia baru saja selesai mandi. Afifah mendengar ponselnya berbunyi yang membuatnya bangun dan berjalan ke ranjang kemudian duduk seraya mengambil ponsel miliknya, ternyata ada satu panggilan video dari Evans. Afifah segera menerima panggilan itu dengan senang hati.

"Assalamu'alaikum, Istriku." Wajah tampan Evans terpampang memenuhi layar ponsel Afifah.

"Wa'alaikumussalam, Suamiku." Afifah tersenyum melihat wajah tampan Evans yang sangat dia rindukan.

"Sayang, aku sekarang sedang dalam perjalanan pulang." Evans terlihat sangat bersemangat ketika mengatakannya.

"Aku akan menunggu dirimu." Afifah tersenyum cantik.

"Baiklah, kamu sekarang mandi dan berdandan yang cantik!" perintah Evans seperti biasanya.

"Aku sudah mandi," jawab Afifah tenang.

"Baiklah, aku akhiri panggilan kita. Sekitar empat puluh menit lagi aku akan sampai," ucap Evans lembut.

"Baiklah, aku akan menunggu kamu, Mas." Afifah tersenyum cantik.

"Assalamualaikum, Sayang." Evans memberi kecupan jauh.

"Wa'alaikumussalam, Mas." Panggilan video pun berakhir.

"Aku akan berdandan sekarang." Afifah meletakkan ponselnya di ranjang kemudian pergi ke kamar ganti untuk memakai pakaian.

Tiga puluh menit berlalu, Afifah sudah berdandan cantik dan memakai parfum kesukaan suaminya, tubuhnya yang ramping dibalut dengan busana muslim membuatnya semakin terlihat cantik. Afifah menatap pantulan dirinya di cermin untuk memastikan jika dirinya tidak terlihat buruk untuk menyambut suaminya pulang nanti.

Afifah sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan suaminya yang sudah tiga hari ini tidak pulang ke rumah karena bekerja di luar kota.

"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kamu dan memeluk tubuh kamu, Mas." Afifah tersenyum menatap foto dirinya dengan Evans yang dipajang di dinding kamar mereka.

"Aku sangat merindukan kamu, bicara hanya melalui panggilan video tidak membuat rasa rinduku hilang." Afifah tersenyum cantik, ia berjalan keluar dari kamar dan akan menunggu Evans di lantai satu bersama dengan mama mertuanya.

Namun, saat ia sampai di lantai satu. Afifah tidak sengaja mendengar percakapan mama mertuanya dengan seseorang melalui panggilan telepon. Percakapan mereka terdengar sangat serius, awalnya Afifah tidak tertarik untuk menguping tetapi saat nama Evans membuatnya langsung tertarik.

"Tidak mungkin, Pak. Anak saya baik-baik saja, ia beberapa menit yang lalu baru menghubungi saya kalau sudah hampir sampai di rumah melalui panggilan video," ucap Sarah seakan meyakinkan orang di seberang telepon. Sarah terlihat fokus mendengarkan lawan bicaranya bicara.

"Evans, tidak mungkin meninggal, Pak!" bentak Sarah dengan suara serak seperti hampir menangis.

Sementara itu, Afifah menutup mulut seraya menggelengkan kepala dan menangis dalam diamnya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY