"Ari? Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini?"
"Aku sudah menduganya kamu pasti akan datang kemari."
"Ada perlu apa sampai kamu menyusulku?" tanya Annisa sedikit ketus. Sepertinya dia tidak suka dengan kehadiranku.
"Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu. Ada satu hal yang perlu kita bicarakan."
"Hal apa? Bukankah sekarang ingatanmu sudah kembali. Lalu hal apa lagi?"
Entah mengapa, sikap Annisa padaku sekarang berubah dingin. "Ayo, Sya, kita ke rumah. Permisi," Annisa menggandeng Rasya dan berjalan melewatiku.
"Tentang perjodohan itu."
Annisa menghentikan langkahnya. Ia menghela napas berat.
"Rasya, kamu pulang dulu ya nanti Kakak nyusul. Kakak mau bicara sama Kak Sandy."
"Kakak tidak apa-apa ditinggal sendiri?"
"Tidak apa-apa Rasya. Sudah sana."
"Kalau begitu, Rasya pergi dulu ya, Kak. Assalamualaikum," kata Rasya sambil mencium tangan Annisa.
"Waalaikum salam," sahut Annisa.
"Waalaikum salam." Aku juga menjawab salam Rasya walau dengan suara pelan.
"Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu dengan Abah. Sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan lagi, Ari Sandiago Revan?" tatapan Annisa begitu nanar.
Kata-kata Annisa yang memanggilku dengan nama lengkap seolah menekankan bahwa dia menyimpan sesuatu dalam hatinya. Entah apa yang sedang dipikirkannya tentangku saat ini.
"Apa kamu marah padaku karena aku menolak perjodohan itu?"
"Kenapa aku harus marah? Maaf, aku harus pergi. Assalamualaikum." Annisa buru-buru pergi. Tanpa menjawab salamnya, aku langsung menyambar lengannya yang terbungkus baju hijabnya.
"Akù suka kamu." Akhirnya tiga kata itu terlontar dari mulutku.
Waktu seolah berjalan lambat. Aku masih mencengkram lengan Annisa. Dia bahkan tidak berusaha untuk melepaskan ketika bersentuhan dengan lawan jenisnya. Tak suka berbicara dengan orang yang membelakangiku, kugeser tubuhku ke depan Annisa. Jarak kami hanya beberapa senti saja.
"Kalau boleh aku meminta, lebih baik Allah menghapus semua kenangan masa laluku supaya aku bisa memilihmu."
"Tapi itu tidak mungkin, kan? Sudahlah. Lupakan aku," tegas Annisa.
"Aku suka kamu, Annisa. Bagaimana bisa aku melupakanmu?" Aku tersenyum hambar ketika melihat ekspresinya.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kembali aku berujar, "Kenapa waktu itu kamu menangis saat mengetahui aku menolak perjodohan itu. Apa karena ada perempuan lain di masa laluku? Atau jangan-jangan kamu juga menyukaiku?" Kutancapkan pertanyaan di relung hatinya. Membuat Annisa mematung seketika. "Kenapa diam?"
"Lepaskan tanganku!" seru Annisa.
"Jawab dulu pertanyaanku." Aku masih bersikukuh sampai mendapatkan jawaban langsung dari mulut Annisa.
"Aku mohon, lepaskan tanganku." Kali ini Annisa memohon. Kurenggangkan cengkramanku sampai tangannya terlepas dari belenggu.
Mendadak aku terbengong seolah terhipnotis oleh kata-katanya hingga tanpa sadar Annisa melewatiku.
Sejenak keheningan menyergap kami. Bergelut dengan pikiran masing-masing. Angin di tepi sungai itu menyapu dedaunan pohon di sekitar. Menimbulkan irama gemerisik yang melankolis.
"Maaf aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Bukankah kamu bilang mencintai perempuan itu? Maka lupakan saja aku, anggap saja kita tidak pernah bertemu. Assalamualaikum," suara Annisa memecah keheningan. Sontak menyeretku pada kenyataan.
Aku memutar badan setelah menyadari Annisa pergi.
"Tunggu Annisa!" seruku, tapi Annisa tetap berlalu.