"Hei, Bro!" Salah satu dari orang itu memanggilnya. Ragu-ragu langkahnya kembali terayun, menghampiri beberapa orang yang masing-masing menggenggam bungkusan kecil berisikan bubuk putih. Ya, bubuk putih yang kini sedang ia butuhkan.
Hingga langkah sepasang kakinya berhenti tepat di hadapan orang itu. Tanpa sadar tangannya yang lain semakin meremas tali ransel.
"Udah gue siapin sepuluh gram buat lo," ujar orang itu dengan pelan lalu mengangkat bungkusan kecil berisi bubuk putih itu di hadapannya.
Dia merasakan tenggorokannya mengering lalu dengan susah payah dia menelan salivanya.
Tangan orang itu bergerak terulur lalu tanpa dimintanya memasukkan bungkusan kecil itu ke dalam saku kemeja putih yang dia kenakan. "Kali ini nggak ada yang gratisan. Lo bawa duitnya, kan?" Orang itu menengadahkan tangan tepat di depan wajah.
Kepalanya mengangguk. Mengiakan pertanyaan dari seorang berpakaian seragam SMA dengan dibalut jaket denim hitam.
"Ya udah, mana?"
Untuk kesekian kali ia menelan saliva dengan susah payah. Ini salah. Ini salah. Ini nggak bener, decapnya dalam hati. Seketika ia tersadar, semua yang dilakukannya adalah kesalahan fatal. Meski di sisi lain ia amat menginginkan benda itu. Ah, sial! Candu itu kini menjadi adiksi yang menyerangnya dengan hebat lantas membelenggunya erat-erat.
Ini salah. Ini nggak bener. Ini salah.
Kata-kata itu terus memutari isi kepala. Meski mtanya menatap tangan yang masih setia menggantung di udara.
Tanpa mengatakan apapun kakinya terayun secepat mungkin, seolah ada sosok yang menariknya untuk menjauh dari orang itu. Tak lama kemudian gemuruh langkah terdengar ramai-ramai mengejarnya. Hanya satu yang melintas di dalam benak, ia hanya ingin terlepas dari semua adiksi yang telah mengikatnya.
Tanpa arah ia terus berlari dengan sebisa mungkin untuk bisa terhindar dari kejaran beberapa orang di belakangnya. Bahkan sampai tak kuasa menghindar hingga menabrak beberapa pejalan kaki saat melewati trotoar yang cukup ramai, serta mobil yang melintas pun nyaris bertabrakan saat dirinya saat menyebrangi jalan raya.
Langkahnya terus mengayun cepat. Tak peduli arah mana yang dilaluinya, hingga justru membuatnya terkepung. Tepat di hadapannya ada tembok tinggi menghadang dengan dilindungi kawat berduri di atasnya. Sementara gedebam langkah itu semakin terdengar jelas tengah menghampirinya.
"Mau lari ke mana lo, hah?" Orang tadi tanpa segan mendekatinya yang sudah terkepung.
Keringat dingin mengucur dari dahinya. Ia sudah terpojok dengan dinding besar di belakangnya.
"Mau nyari masalah sama gue, hah?" Tangan orang itu terulur mencengkram erat kerah kemeja putih yang dipakainya. Bahkan sampai mencekiknya tanpa ampun.
Sementara itu, ia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala dan kembali berusaha menelan salivanya meski dengan susah payah. Lehernya tercekik hingga membuatnya merasakan urat-urat nadinya melemah dengan jantung yang justru berpacu semakin cepat. Matanya menatap pasrah orang itu, seakan menyiratkan jika ingin membunuhnya sebaiknya dipercepat. Namun nahas, orang dihadapannya justru seakan menikmati bagaimana dirinya yang tersiksa kehabisan oksigen yang seharusnya mengalir ke seluruh tubuh.
Senyum puas terbit di salah satu sudut bibir orang itu sebelum semuanya berubah gelap dan tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah tanpa sadarkan diri. Sedangkan dirinya merasakan semuanya berhenti. Detak jantungnya, sisa napasnya, denyut di nadinya, waktu yang dimilikinya. Semuanya terhenti ... seakan ikut mati. Ah, Arial yang malang.
***
Tentang luka tanpa pereda lara. Terjebak dalam zona penuh ancaman dan teror mengerikan. Tanpa kasih sayang dan hanya bayangan. Tanpa sepatah kata meski untuk bersapa. Bersama solidaritas tanpa batas, menjadikannya prioritas untuk melawan brutalitas.
(Arial Bima Pradipta)