/0/8574/coverbig.jpg?v=a618414c50c2f99fc029c0bc38898b25)
Kapan nikah? Pertanyaan yang membuat Arunika merasa muak bukan kepalang. Ia memang telah berusia matang untuk menikah, tapi ia masih belum siap untuk melangkah ke arah sana. Tapi apa jadinya saat tiba-tiba saja ada orang asing yang datang melamarnya? Dan yang lebih mengejutkan, pria itu adalah seorang Gay!! Bagaimana yang terjadi selanjutnya, apakah Arunika akan menerima tawaran pernikahan dari Aksa atau justru menolak permintaan pria itu mentah-mentah. Juga, rahasia besar yang disembunyikan Aksa dan apa sebenarnya alasan Arunika enggan untuk menikah meski usianya telah cukup untuk menjalani kehidupan pernikahan?
"Kamu kapan nikah?"
Pertanyaan yang paling Arunika benci saat acara kumpul keluarga seperti sekarang. Tiap orang yang mendatanginya pasti hanya akan bertanya tiga hal padanya.
"Gendutan, ya sekarang."
"Kerja di mana?"
Dan ada satu yang paling Arunika benci.
"Kamu kapan nikah?"
Menurutnya, pertanyaan seperti itu sudah terlalu basi untuk ditanyakan. Apalagi di waktu momen lebaran seperti sekarang.
Momen di mana semua orang saling meminta maaf dan saling memaafkan atas segala kesalahan. Namun justru tidak jarang, sebagian dari mereka setelah meminta maaf tanpa sadar kembali menggoreskan luka di hati orang lain.
Ibaratnya, percuma saja meminta maaf tapi ujung-ujungnya tetap menyakiti hati.
Dan setelah Arunika mendengar pertanyaan yang terlontar dari Tantenya, entah yang keberapa kali. Dirinya hanya bisa tersenyum palsu.
Ia sudah terlalu malas untuk menanggapi ataupun sekadar menjelaskan jika dirinya masih belum memiliki niat untuk menikah dalam waktu dekat.
"Cepatan nikah, Nak. Umurmu udah 25 tahun, 'kan sekarang. Masa kalah sama sepupu mu, yang 20 tahun aja udah lagi hamil," perkataan Tante Diana lagi-lagi hanya dibalas senyum tipis oleh Arunika.
Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang dimaksud Tantenya itu.
Seorang perempuan dengan gamis berwarna baby blue juga perut buncit itu tampak tersenyum saat beberapa Tante juga kerabat lain menghampiri dan mengelus baby bump nya.
Arunika tentu ingat betul bagaimana salah satu sepupu cantiknya itu sampai bisa menikah di usia yang begitu muda.
"Kebobolan." Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah pasangan telah lebih dulu memiliki keturunan daripada ikatan pernikahan itu sendiri.
Arunika tentu masih ingat saat dirinya yang harus menemani sang sepupu ke Kantor Urusan Agama untuk mengucapkan janji sumpah pernikahan.
Arunika jadi berpikir, apa lebih memalukan saat seorang perempuan dewasa belum menikah, ketimbang seseorang yang mendapatkan 'bonus' lebih dulu?
Arunika tentu saja tidak bermaksud membandingkan. Ini hanya pemikirannya saja sudah merasa muak dengan pertanyaan seputar pernikahan.
Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah perlombaan yang mengharuskan untuk sampai di garis finish lebih dulu.
Semuanya bergantung dari tiap-tiap orang itu sendiri. Ada yang memang sudah siap dengan kehidupan pernikahan di usia muda, tapi ada juga yang masih ingin menikmati hidup dan belum mau untuk terikat dengan hubungan seserius pernikahan.
Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tentu kebanyakan orang menginginkan pernikahan mereka hanya akan terlaksana sekali dalam hidupnya.
Begitu pula dengan Arunika.
Trust issue soal pernikahan, cerita pengalaman teman-temannya yang telah gagal juga melihat sendiri bagaimana kehidupan pernikahan sepupunya.
Hal itu sudah cukup membuat Arunika kembali berpikir masak-masak untuk menikah di usia muda. Ia tidak ingin menyesal saat membuat keputusan besar dalam keadaan tidak siap.
Kehidupan pernikahan miliknya adalah keputusannya, bukan orang lain.
"Ngelamun aja, kamu. Udah sungkem sama Eyang, belum?"
Sebuah tepukan halus mendarat di bahu Arunika. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita dengan hijab coklat muda tengah tersenyum ke arahnya.
"Udah, dong," jawab Arunika pendek.
"Kenapa nggak gabung di dalem, malah nongkrong sendirian di teras begini."
Arunika menoleh sebentar ke arah Tante Arini yang masih tersenyum manis ke arahnya. Wanita itu tahu apa yang tengah dipikirkan keponakannya ini.
Tante Arini adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya orang yang bisa mengerti Arunika sekarang. Tante Arini juga satu-satunya orang di rumah itu yang tidak menanyakan hal-hal aneh pada Arunika sejauh ini.
Dan karena alasan itulah Arunika merasa nyaman. Ia pernah beberapa kali bercerita pada Tante Arini soal keluhannya itu.
"Nggak usah dipikirin kalo ada yang nanya soal kapan kamu nikah. Pernikahan bukan lomba balap, kok. Bukan soal siapa yang menikah lebih dulu, tapi soal siapa yang benar-benar siap dengan kehidupan setelah pernikahan. Itu yang lebih penting."
"Tapi nggak semua orang bisa punya pikiran se terbuka, Tante. Bahkan, Mama aja sering nanya kapan aku nikah, padahal Mama tahu kalo aku masih belum ada niatan buat ke situ. Aku sampe capek kalo Mama nanya soal pernikahan," tanpa sadar Arunika mengeluh.
Tante Arini mengusap perlahan kepala Arunika. Wanita itu tentu tahu perasaan gadis muda di sampingnya ini, karena dulu ia 'pun mengalaminya.
"Tahu, nggak. Dulu Tante juga sama kayak kamu, loh."
Arunika menoleh cepat, bertanya lewat sorot matanya. Menuntut agar wanita yang lebih dewasa menjelaskan lebih jauh soal perkataannya.
"Kamu pasti nggak nyangka kalo dulu, Tante nikah sama Om Bima pas umur tiga puluh tahun," ucap Tante Arini dengan senyum simpul.
Ekspresi yang ditunjukan Arunika membuat Tante Arini terkekeh, jelas gadis itu terkejut dengan perkataannya.
"Dulu, Tante sampe mau dijodohin sama seorang ustadz gara-gara nggak kunjung menikah, padahal temen-temen dan saudara Tante udah pada menikah dan punya anak. Tapi tante nggak mau. Kamu tahu apa alasannya?"
Arunika menggeleng. Kisah Tante Arini sejauh ini sama dengannya.
"Karena Tante percaya, cinta sejati dan kebahagiaan cuma berasal dari diri sendiri. Mungkin kita bisa bikin orang lain mengubah cara pandang mereka setelah kita menikah ataupun setelah kita punya anak. Tapi hal itu nggak menjamin kalo kita bakalan bahagia," Tante Arini menjeda kalimatnya.
Ia menoleh ke arah Arunika yang masih menatapnya dan tersenyum kecil.
"Kebahagiaan yang sebenarnya, cuma bisa ditentuin sama diri sendiri. Meski kata orang terlambat, tapi sebenarnya enggak. Bukan terlambat, hanya aja waktu kita dan mereka berbeda."
Melihat senyum Tante Arini, membuat senyum Arunika turut menggembang. Ia paham dengan apa yang dimaksud Tante Arini.
Jodoh tidak akan lari ke mana. Tidak perlu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena tiap orang punya jalan mereka masing-masing.
Jika saat ini kamu belum bisa meraih apa yang telah orang lain raih, itu bukan berarti kamu gagal. Hanya saja memang belum saatnya kamu untuk mendapatkannya, atau bisa juga semesta ingin kemudian bekerja lebih keras lagi untuk hal itu.
***
Pagi-pagi sekali Arunika dikejutkan dengan suara dari sering ponsel miliknya yang terasa memekakkan. Bahkan ia rasa jika sering teleponnya saat ini lebih berisik ketimbang jam weker yang biasanya membangunkannya tiap pagi.
Tertera nama Silvia di layar panggilan. Dengan agama malas Arunika mengangkat panggilan telepon dari kawan semasa SMP nya itu.
"Beb, ketemuan yuk. Kangen, nih," suara dari seberang panggilan terdengar.
Arunika berdecak, ia menoleh ke arah jam weker nya. Tertera pukul setengah lima pagi, dan Silvia sudah mengajaknya untuk bertemu? Apa tidak salah?
"Ini tuh masih pagi pake banget, gila. Ngajak ketemuan subuh-subuh begini," dumal Arunika dengan suara agak keras, membuat Silvia tertawa di seberang panggilan.
"Ya, nggak sekarang dong, Beb. Nanti jam sepuluhan, mau ya. Aku udah kangen banget nih sama kamu," suara Silvia terdengar merengek.
Arunika hanya bisa menghela napas keras. Jika sudah begini ia tidak bisa melakukan apapun selain mengiyakan permintaan sahabatnya itu.
Karena jika ia tetap menolak, maka Silvia juga akan semakin menjadi. Bahkan wanita yang telah menjadi seorang Ibu dari dua anak itu masih saja suka merengek pada Arunika jika ia menginginkan sesuatu dari gadis itu.
"Iya, iya. Bawel, ah. Udah, aku mau sholat subuh dulu."
"Oke, Beb. Sampai jumpa nanti ye."
Panggilan terputus. Arunika yang saat ini sudah tidak lagi mengantuk, memutuskan untuk bersiap menunaikan sholat subuh.
Aruna terpaksa menikah dengan Wisnu demi melunasi hutang keluarganya. Pernikahan yang dijalani keduanya hanyalah pernikahan kontrak yang akan berakhir setelah Wisnu mendapatkan keturunan dari wanita itu. Kehidupan pernikahan Aruna juga Wisnu begitu berliku seiring dengan kehamilan juga perlakuan Wisnu pada Aruna. Lalu bagaimana jadinya jika pada suatu hari, Diandra yang merupakan Istri sah Wisnu datang ke mansion yang dihuni Aruna dan menuntut cerai dari Wisnu. Apa yang akan dilakukan Wisnu selanjutnya? Apakah ia akan menuruti permintaan Diandra untuk bercerai dan menjalani pernikahan seutuhnya dengan Aruna. Ataukah pria itu lebih memilih untuk mempertahankan Diandra dan meninggalkan Aruna juga perasaannya pada wanita itu?
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
Kaluna Evelyn sudah menikah Dengan Eric Alexander Bramastyo selama kurang lebih 10 tahun. Namun, Eric sama sekali tidak mencintai Luna. Ia memiliki kebiasaan yang sering bergonta-ganti wanita. Itulah yang menyebabkan Luna semakin sakit hati, namun ia tidak bisa bercerai dengan Eric karena perjanjian kedua keluarga. Ditengah keterpurukannya, ia mengalihkan rasa sakit hatinya kepada minuman keras. Dan disaat, ia mabuk, ia melakukan kesalahan dengan tidur bersama ayah mertuanya sendiri. Seorang pria dewasa bernama Brian Edison Bramastyo. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah dari Eric sendiri. Brian yang berstatus duda, tidak bisa berkutik ketika Luna mulai menggodanya karena pengaruh minuman keras. Dan setelah kesalahan di malam itu, Luna dan sang papa mertua saling mengulangi kesalahan nikmat yang sama. Brian yang mampu memberikan nafkah batin pada Luna, harus menahan rasa perih karena mengkhianati putranya sendiri, dan menjadi tidak bermoral karena bermain gila dengan sang menantu. Namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur dan mereka berdua sama-sama kesepian. Hubungan mereka tetap berlanjut, hingga akhirnya Eric mengetahui hubungan mereka dan menceraikan Luna. Namun, beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa alasan Eric menceraikan Luna adalah dia sudah menghamili kekasihnya, yang bernama Bianca. Mereka menjalani hidup masing-masing. Eric pergi jauh dari kehidupan Brian dan Luna. Brian dan Luna pun memilih untuk bersama.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...