Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / FAMILIAR PLACES
FAMILIAR PLACES

FAMILIAR PLACES

5.0
103 Bab
123 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Kisah cinta Byan dan Gemi yang mengharukan. Setelah lima belas tahun berlalu, takdir mempertemukan lagi keduanya. "Aku merindukanmu, Gem," ucap Byan saat dirinya dan Gemi kini sudah berada di atas ranjang. Memandangi Gemi yang tengah terbaring di bawahnya, sambil memperhatikan raut wajah Gemi yang kesakitan. Gemi meremas lembut rambut Byan, saat menyadari lelaki itu kini telah mencukur tipis rambutnya. "Tak ada lagi yang bisa aku tarik." Maksudnya adalah rambut Byan. Karena setiap kali dirinya bercumbu dengan Byan, Gemi selalu menjambak rambut kekasihnya itu untuk sekedar meringankan rasa sakitnya. "Mulai sekarang aku akan menumbuhkan rambutku untukmu," bisik Byan dengan sedikit napas yang tersisa. Menggauli Gemi untuk pertama kalinya lagi, tanpa menyadari jika perempuan itu kini sudah bersuami. "Apakah ini yang aku lewati selama ini? Aku selalu merindukan setiap malam yang kita habiskan bersama," lanjut Byan sembari memeluk Gemi, menyatukan tubuh keduanya yang tak tertutupi sehelai benang pun. "Cium aku," pinta Gemi seraya menyentuh bibir Byan. Bibir yang selama ini ia rindukan. Dalam redupnya cahaya, dan derasnya hujan yang tak berhenti turun, Byan dan Gemi saling mencurahkan rasa rindu mereka. Rindu yang telah lima belas tahun lamanya mereka pendam. Cover By Pexel Telah di edit melalui Canva.

Bab 1 Tetangga Baru.

PROLOG.

Gemi tak pernah menyakitiku, hanya saja aku yang terlalu berperasaan pada perempuanku. Aku mencintainya setulus jiwa, bahkan saat terakhir kali kita bertemu di tanah yang memisahkan kami. Aku sungguh mencintainya, meskipun Gemi berusaha menyingkirkannya. Hari-hariku bersama Gemi, akan selalu menjadi kenangan dan cerita untuk aku simpan seumur hidupku.

Untuk Gemi yang aku rindukan, dan untuk kenangan yang selalu teringat.

Kalimat mengharukan itu baru saja di bacakan oleh seorang pria yang tengah berpidato di sebuah makam. Makam yang di kelilingi pohon cemara. Juga makam yang di hadiri banyaknya pelayat.

Kemudian adegan beralih saat empat puluh tahun lalu. Saat Byan untuk pertama kalinya bertemu dengan Gemi. Saat cinta pada pandangan pertama mengubah jalan hidup keduanya.

***

Suatu hari di desa nelayan, seorang pria muda baru saja turun dari mobilnya. Ia menggotong koper besarnya menuju rumah kayu yang tak jauh dari pantai. Pria itu memandangi suasana senja di desa nelayan itu, dan mendengarkan nyanyian ombak yang menyambut kedatangannya. Pria itu tersenyum lebar seraya menarik nafas dalam-dalam, nampaknya pria itu akan tinggal di desa tersebut.

Sedangkan di tempat lain, terlihat seorang gadis yang sedang membuat kue cokelat. Gadis berambut lurus itu nampak fokus membentuk karakter kartun di atas cokelat yang sudah masak itu. Gadis dengan mata indah itu sepertinya begitu asyik melakukan hobinya. Ia mendengarkan musik karya Mozart di temani kucing kesayangannya.

Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil, dan gadis itu langsung mengintip dari jendela dapur. Ia melihat seorang pria berpakaian kasual baru saja pindah ke rumah di sampingnya.

Tetangga baru.

Kurang lebih seperti itulah arti tatapan Gemintang. Ia menyandarkan sikunya, sembari memperhatikan tetangga barunya itu.

Penampilan lelaki itu terlihat nakal, dengan rambut gondrong dan pakaian yang nampak memberontak. Juga lelaki itu membawa sebuah gitar, dan peralatan berkemah. Gemintang menilai kalau pria ini akan selalu membuat kebisingan di lingkungannya.

Malam harinya, Gemi keluar rumah seraya membawa beberapa bungkusan. Ia menuruni rumah kayunya itu, dan melihat tetangga barunya itu tengah merokok di dekat speed boat. Gemi menoleh ke sekelilingnya, memperhatikan bahwa tak ada siapapun selain pria itu di lingkungan itu.

Gemintang mencoba mengabaikannya, tapi pria itu berbalik menatapnya. Ia menurunkan batang rokoknya, dan menunduk menyapa Gemi. Pria itu tersenyum ramah, dan dengan praktis Gemi ikut tersenyum.

Gemi melenggang pergi setelah membalas sapaan tetangga barunya yang bergaya kekotaan itu. Dan berjalan mengunjungi sebuah rumah.

“Selamat malam!” serunya.

Dua orang anak kecil langsung berlari menghampiri Gemi. Di tengah redupnya desa pesisir pantai, dan suara ombak yang bernyanyi setiap saat, Gemi dan kedua bocah itu duduk di atas pasir beralaskan tikar.

“Tante! Minggu depan kami akan pindah,” ucap salah satu bocah.

“Pindah? Ke mana?” tanya Gemi terkejut.

“Ke kota, ayah bilang kita akan pindah.”

Gemi menoleh ke arah kedua orang tua anak itu, dan Ibu muda itu hanya tersenyum tipis. Gemi beranjak dari duduknya, lalu berjalan menghampiri.

“Apa benar, Kakak akan pindah? Kenapa aku tidak diberi tahu?” protes Gemi.

Rupanya Ibu muda itu adalah kakak Gemi, dan sudah lama Gemi mengikuti kakaknya yang tinggal di desa nelayan. Karena kedua orang tua Gemi telah tiada, jadi gadis itu selalu ingin mengikuti kakaknya kemana pun.

“Gem ... Ayahnya anak-anak tidak mendapat pekerjaan yang begitu bagus. Namun, dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Jadi, dia akan berusaha menafkahi kami. Sayangnya, kami tidak bisa membawamu.”

Gemi mendengarkan dengan sakit hati. Kakaknya itu enggan membawanya pindah, apa Kakaknya itu menganggap Gemi adalah beban hidup?

“Bukan seperti yang kamu pikirkan, Gem. Kamu sudah mendapat pekerjaan bagus di sini. Toh, kamu juga bisa sering mengunjungi si kembar kalau kamu mau. Jika ikut dengan kami, kakak takut tidak bisa membiayai kebutuhan keluarga,” lanjutnya.

“Baiklah, aku mengerti. Umurku sudah dua puluh lima tahun, Kak. Aku bisa hidup mandiri, tapi aku mohon pada kakak. Kabari aku apapun yang terjadi,” kata Gemi.

Kakak Gemi pun mengangguk, dan lekas memeluk adiknya itu.

Tiga hari sudah berlalu, Gemi yang sedih akan di tinggal keponakan dan kakaknya itu hanya bisa melamun di teras rumahnya. Sepanjang hari yang ia lakukan hanya bekerja, memasak, bermain dengan kucingnya, lalu melamun. Tak ada sesuatu yang spesial yang benar-benar membuatnya sibuk. Ia merasa bosan, dan rasa menyebalkan itu kian bertambah saat mendengar kebisingan dari rumah di sampingnya. Tetangga barunya itu tengah membuat sesuatu dengan kayu-kayu dan perkakas, dan bisingnya musik rock, menambah parah keributan di kepalanya. Gemi menyipitkan tatapan matanya, dan menggigit kuku-kuku jarinya. Rasanya ia ingin menegur pria urakan itu.

“Hallo!” sapa pria itu saat melihat Gemi tengah memperhatikannya.

Gemi tersadar mendengar suara serak lelaki itu, ia menegakkan punggungnya, dan tersenyum ramah. “Hallo,” balasnya

Dengan senyum bodoh, Gemi beranjak dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia tidak tahu kalau rasanya begitu memalukan jika tidak berani mengungkapkan kemarahannya.

Hari berikutnya, masih seperti sebelumnya. Saat sore hari Gemi duduk di teras, dan memperhatikan keributan yang tengah di perbuat tetangga barunya. Pria itu nampaknya sedang membuat kursi, dan dengan penampilannya yang maskulin. Gemi merasa kalau pria ini ‘cukup tampan’.

Rambutnya yang gondrong, rahangnya yang terukir tegas, kulit sawo matang, otot yang terlatih, dan tinggi badan yang ideal. Gemi seketika merasa kalau pria itu benar-benar tipe laki-laki Ibu Kota. Keren, cenderung nakal.

Gemi masih memperhatikan laki-laki itu, musik rock yang kencang membuat laki-laki itu menari dan menggoyangkan kepalanya. Laki-laki itu nampak bebas, dengan segala tarian yang melambangkan kebebasan hidup.

Malam harinya, Gemi membuat camilan untuk ponakan kembarnya. Dengan rok panjang, dan sweater rajut, Gemi berjalan menuju rumah kakaknya.

“Selamat malam!”

Tetangga Gemi itu entah datang dari mana, dia tiba-tiba muncul dari bawah rumah Gemi..

“Selamat malam, sedang apa kamu di kolong rumahku?” tanya Gemi curiga.

“Ini,” ucap pria itu sembari mengangkat seekor ular.

Gemi praktis mundur dan berteriak. Ia begitu terkejut melihat ukuran ular yang berada di tangan pria asing itu.

“Ularnya sudah aku bunuh, tadi dia nyaris masuk ke lubang pipa,” jelas pria itu.

“Astaga. Bagaimana bisa kamu tahu kalau ada ular di bawah rumahku?”

Gemi masih menaruh curiga pada tetangga barunya itu. Bisa saja ular itu memang sudah mati, tapi pria itu membuat alasan untuk melakukan tindak kriminal nantinya.

“Tadi aku sedang mencari angin segar, lalu aku melihat ular itu masuk ke kolong rumahmu. Jadi, aku berusaha menangkapnya, tanpa ingin membuatmu khawatir,” tuturnya. Melihat gadis di depannya itu malah curiga kepadanya, pria itu pun merasa menyesal sudah berbuat baik.

Gemi bergidik ngeri melihat ular besar berada di tangan pria itu, ia praktis mundur sembari menatap aneh padanya. Gemi menunduk pelan, dan berlalu meninggalkan pria itu tanpa mengucapkan terima kasih.

Pria itu pun tertawa remeh, ia tidak menyangka kalau gadis itu sangat dingin dan curigaan. Ia sudah bersusah payah menghadapi maut melawan ular itu, tapi gadis jutek itu malah mencurigainya. “Menarik sekali,” ucapnya tersenyum nakal.

Gemi yang sudah berada di rumah kakaknya itu lekas bercerita tentang tetangga barunya yang menyebalkan. Ia mengatakan kalau pria itu sedikit misterius, dengan banyaknya perkakas di rumahnya.

“Golok, gergaji, martil, dan apapun itu nama perkakasnya, dia memilikinya! Lalu dia membunuh ular itu dengan golok tajam! Belum lagi dia selalu memutar musik rock yang sangat berisik, aku tidak bisa tidur!” keluh Gemi.

Kakaknya ikut merasakan ketakutan Gemi. Namun, ia menasihati adiknya itu untuk mencoba dekat dengan pria itu. Kakaknya memasukan sebuah pepatah, “Tak kenal, maka tak sayang.”

Ia meminta Gemi untuk berteman dengan pria itu, alih-alih mencurigainya terus.

“Kamu bisa menyelidikinya, Gem. Barang kali pekerjaan dia memang menyangkut dengan perkakas-perkakas itu. Contohnya, pengrajin? Atau tukang kayu?”

Gemi mendengus mendengarnya. Ia yang tengah panik karena mengira lelaki itu adalah psikopat, justru di suruh berteman dengannya. Gemi takut jika nantinya pria itu akan menyusup malam-malam ke dalam rumahnya.

Gemi hanya menggelengkan kepala, pertanda menolak saran dari kakaknya.

Satu minggu kemudian, kakak Gemi yang bernama Binar itu mengunjungi rumah adiknya untuk yang terakhir kalinya. Binar tahu jika Gemi sedih karena akan di tinggal oleh keluarga kecilnya. Di belakang Binar terdapat dua bocah yang sengaja Binar ajak untuk menghibur Gemi. Di saat dua bocah kembar itu masuk ke rumah Gemi, Binar melirik ke arah rumah tetangga baru yang di ceritakan Gemi. Lelaki itu duduk di sana, tanpa mengenakan atasan, alias bertelanjang dada. Lelaki yang sedang mengrajin kayu itu menoleh ke arah Binar, ia tersenyum menyapa.

Di lihat dari penampilannya, lelaki itu memang nampak seperti seorang pembunuh bayaran. Namun, Binar tak ingin berburuk sangka dulu. Ia memilih menghampiri lelaki itu, memastikan kalau adiknya tidak sedang dalam bahaya.

“Hallo, selamat pagi!” sapa Binar.

Lelaki itu beranjak, dan membalas sapaan Binar.

“Aku Binar, kakaknya Gemi. Sepertinya kamu baru pindah ke desa ini.”

Gemi? Siapa Gemi?

Lelaki itu menoleh ke arah rumah tetangganya. Di sana terdapat Gemi dan dua bocah kecil yang sedang memperhatikan dari teras rumah.

“Sepertinya kalian belum berkenalan. Dia adikku, namanya Gemintang,” ujar Binar, saat menyadari kalau pria itu tak mengenal nama Gemi.

“Oh, ya. Akhirnya aku tahu nama gadis itu. Terima kasih. Namaku Byantara, panggil saja Byan,” balas pria itu seraya mengulurkan tangannya. Kemudian pandangannya menyipit menatap Gemi di kejauhan.

“Apa pekerjaanmu?” tanya Binar langsung ke intinya. Ia tidak ingin berlama-lama, dan harus memastikan pekerjaan pria di hadapannya itu.

“Aku arsitek, aku pindah ke daerah sini karena ada proyek yang akan aku kerjakan di desa ini,” jelas Byan. Membuat Binar menunduk malu, senyumnya membeku karena mengira lelaki itu memiliki pekerjaan menyeramkan seperti yang dibayangkan Gemi.

“Oh, begitu ... Baiklah, salam kenal. Semoga kamu betah di desa ini, jika perlu bantuan, katakan saja pada adikku. Mungkin dia bisa membantu.”

Byan tersenyum ramah, ia berterima kasih pada wanita itu. Ia merasa kalau sikap Binar sangat jauh berbeda dengan Gemi. Kemudian tatapannya kembali ke arah Gemi, membuat mata mereka saling bertemu.

Untuk pertama kali, Byan merasa jantungnya berdetak kencang.

Bersambung.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY