/0/9213/coverbig.jpg?v=f4781ba785480ddddcc175191bff5135)
Sebagai seorang istri, Dira berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya yang sering sekali diterpa oleh badai. Himpitan ekonomi dan malasnya seorang suami untuk mencari kebutuhan tetap, membuat ekonomi mereka terus menurun dan tidak pernah tercukupi. Ketika Karir Dira mulai melejit naik, ia harus dihadapkan dengan banyaknya masalah di dalam keluarganya. Haidar, sebagai suaminya sama sekali tidak memiliki niat untuk bekerja dan membantu ekonomi keluarganya sama sekali. Belum lagi banyaknya hinaan dan celaan dari keluarga Haidar yang membuat pikiran Dira semakin runyam. Dira yang semakin tidak dihargai usahanya pun mulai bimbang dengan apa yang harus ia pilih, antara harus menceraikan suaminya karena sama sekali tidak diberi nafkah, atau memperbaiki hubungan mereka dengan terus bersabar?
"Mas, kamu yakin nggak mau kerja?"
Dira menarik selimutnya dan menutup tubuhnya yang masih tanpa busana sedikitpun. Setiap malam jum'at, Dira tak melupakan kewajibannya sebagai istri untuk memenuhi kebutuhan batin suaminya.
Haidar pun membalikkan badannya ke arah istrinya itu dan mengusap rambut istrinya perlahan.
"Kenapa sih? Uang kamu habis?" tanya Haidar kepada istrinya tersebut.
"Bukan begitu, Mas. Orang tuaku menanyakan kerjaanmu terus, aku harus jawab apa?" tanya Dira yang mulai cemas.
Ia sengaja membicarakan hal sensitif seperti itu pada suaminya karena sudah dua tahun berlalu, namun suaminya sama sekali tidak ingin kerja tetap. Ia hanya terus di rumah, menghabiskan uang, dan bekerja ketika ada yang cocok dengan kemampuannya saja. Yang lainnya, ia sama sekali tidak minat sedikitpun. Hal itu membuat keluarga mereka jadi gunjingan, baik keluarga, saudara, maupun tetangga.
"Bilang aja, aku kerja di rumah dengan gaji yang cukup banyak. Kamu tahu sendiri, kan? Aku tidak pernah bisa melakukan apa-apa selain mendesain gambar? Aku sudah cari banyak lowongan kok, tapi gaji dan pekerjaannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Lalu, ada pekerjaan yang cocok untukku di sebuah perusahaan, tapi gajinya kecil. Buang-buang tenagaku doang dong!" urai pria itu dengan lembut.
Dira tidak habis pikir, mengapa sejak suaminya dipecat dari perusahaan, ia sama sekali tidak mau bangkit dan mencari pekerjaan lain. Padahal kebutuhan mereka cukup banyak.
"Iya, aku setiap bertemu mereka juga bilang begitu kok. Kamu yakin nggak mau kerja? Sebentar lagi anak ini lahir loh," ujar Dira sembari mengusap perutnya yang semakin membesar dan janin di dalamnya juga mulai menendang-nendang.
"Lalu?"
"Kita butuh biaya untuk lahiran, Mas. Biaya lahiran juga nggak sedikit loh." Dira mengerucutkan bibirnya agar suaminya setidaknya luluh dengannya dan bisa mulai mencari pekerjaan.
"Iya, aku juga usah cari uang kok. Kemarin aku juga digaji lima ratus ribu dari kerjaan freelancerku. Kita bisa menabung sedikit-sedikit, bukan?" Pria itu berpindah turun ke perut Dira dan mengusap perut wanita itu.
Dira sedikit kesal karena bukan jawaban seperti itu yang ia inginkan. Memang, dia bersyukur bisa hidup berkecukupan. Hanya saja, jika begini terus, maka akan banyak lagi himpitan ekonomi dan hujatan yang mereka dapatkan.
Wanita itu merasakan kecupan lembut di perutnya, ia tahu betul jika pria yang ia nikahi ini benar-benar menyayanginya. Perlakuannya kepada Dira juga baik selama menikah, maka dari itu, Dira sama sekali tidak tega jika harus menuntut dengan keras suaminya untuk bekerja. Belaian lembut dari tangan Dira membuat Haidar tersenyum kecil ke arah istrinya.
"Kamu kalau sedang hamil begini, kelihatan seksi deh. Aku suka."
Haidar mencium kening istrinya dan menarik selimut wanita itu, karena sudah larut malam dan ia juga harus bekerja besok, Dira pun memutuskan untuk tidur dan tidak melanjutkan kembali percakapan mereka yang barusan. Percuma juga dan tidak ada hasilnya, karena pada akhirnya, Haidar menolak untuk bekerja.
Pagi harinya, Dira sudah bersiap untuk pergi ke kantor dengan dandanan yang rapi dan sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba, Haidar melingkarkan kedua tangannya di pinggang Dira hingga terlihat di kaca, Haidar tengah memeluk wanita itu dengan gemas dan terlihat manja.
"Kenapa, Mas?" tanya Dira sembari mengusap pipi suaminya yang berada di pundak Dira.
"Kamu cantik, gemoy. Untungnya, kamu milikku." Haidar berucap seperti itu sembari tersenyum kecil dan merasa bahagia memiliki istri yang cantik. Dira memutar tubuhnya, hingga membuat mereka berdua saling berhada-hadapan.
"Mas, boleh kamu pikirkan lagi perkataanku semalam?" tanya Dira sembari memegang kedua pipi suaminya.
"Kenapa, sih? Kamu pingin aku kerja? Kalau aku kerja, siapa yang bakal urus rumah kalau aku nggak ada? Siapa yang bakal siapin kamu sarapan kalau aku kerja? Kamu juga lagi nggak boleh banyak melakukan kerjaan rumah yang berat-berat." Haidar seakan berusaha untuk membuat istrinya mengerti.
"Mas, aku takut aja uang kita kurang kalau kamu nggak kerja. Kontrakan juga udah mulai harus dibayar sebentar lagi." Dira kembali mengerucutkan bibirnya agar suaminya iba.
"Nggak akan kurang, Sayang. Kamu jangan terlalu memikirkan itu." Haidar pun mengusap kepala istrinya dengan lembut. "Oh! Atau begini saja. Beri aku waktu sampai anak kita sudah berumur 3 bulan. Selepas itu, aku akan mencari pekerjaan, bagaimana?" tanya Haidar yang justru menawarkan hal yang cukup tidak masuk akal untuk Dira.
"Kenapa harus nunggu anak ini lahir, Mas? Dua bulan lagi aku cuti loh." Dira semakin cemas.
"Ya itu tadi aku bilang, biar aku yang urus semua pekerjaan rumah, jadi di kantor kamu tinggal bersantai dan sampai rumah juga rumah ini bersih buat ibu hamil seperti kamu. Bagaimana, setuju?" tanya pria itu.
Dira pun hanya berusaha untuk mengambil sisi positif dari apa yang diucapkan oleh suaminya itu. Memang benar, Dira tidak boleh terlalu lelah, bahkan ketika pulang kerja pun, suaminya yang melakukan pekerjaan rumah dan mencuci pakaian untuk Dira. Padahal seharusnya dia yang melakukan itu. Mungkin saja, ucapan suaminya benar, dan dia akan mulai bekerja setelah anaknya lahir.
"Tidak ada salahnya mempercayai perkataan Mas Haidar."
Dira pun pada akhirnya setuju dengan ucapan dan keputusan suaminya itu. Karena sudah hampir terlambat, Dira pun diajak untuk sarapan dan setelah itu langsung pergi ke kantor untuk bekerja.
Ia pergi dengan menggunakan bus, kontrakannya cukup dekat dengan halte bus. Di kampung pun Dira dan Haidar juga terkenal sebagai pasangan suami istri yang sangat ramah. Hanya saja, tidak sedikit gunjingan yang masuk ke telinga Dira ketika ia tengah lewat di hadapan mereka.
"Mbak Dira!" panggil seorang wanita yang berlari di belakang Dira dan berusaha mengejarnya. Dira yang mendengar hal itu langsung menghentikan langkahnya dan melihat ke arah wanita yang memanggilnya.
"Bu Dewi? Ada apa?" tanya Dira sembari melihat ke arah wanita itu.
"Mbak Dira mau berangkat kerja?" tanya Bu Dewi sembari tersenyum.
"Iya, Bu."
"Oh begitu, suami Mbak Dira masih di rumah? Nggak kerja, Mbak?"
Pertanyaan yang hampir setiap minggu didengar oleh Dira, seakan ibu-ibu itu ingin mencari bahan gosip dan begitu bahagia ketika harus menggosip perihal Dira dan suaminya yang merupakan seorang pengangguran. Dira berusaha bersabar dan menjawab dengan senyuman.
"Iya, Bu. Kerjaan suami saya ada di rumah." Dira menjawab sesuai dengan apa yang diminta oleh suaminya.
"Oh begitu. Eh, Mbak. Jangan lupa uang kontrakannya dibayar ya, Mbak. Tinggal dua hari lagi, takutnya mbak lupa," tukas Bu Dewi sembari tertawa kecil.
"Iya, Bu. Saya ingat kok, besok saya bayar, Bu." Dira tersenyum menghadapi ibu pemilik kontrakan itu.
"Ya sudah, saya pergi dulu ya, Mbak. Hati-hati jalannya, lagi hamil!" tutur wanita itu sok perhatian. Padahal, Dira tahu betul jika selain berniat untuk mengingatkan, berniat juga untuk mencari informasi keluarga kecil mereka.
"Ck! Ibu-ibu rempong," umpat Dira dalam hati sembari berjalan menjauh dan menuju ke halte.
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Please be awise. Mature Content. Harap bijak saat membacanya. "Regina Meizura Carlton sebenarnya sudah mati. Namun, tuhan memberikannya kesempatan kedua untuk membalas dendam* Bagaimana rasanya dikhianati oleh suami, adik, ibu tiri dan juga ayah yang selalu memihak pada mereka. Hingga kematian merenggut Regina dan kesempatan kedua kali ini dia tidak akan melewatkan kasih sayang dari Axel Witsel Witzelm.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Kurnia, yang buta karena kecelakaan ditolak oleh semua sosialita-kecuali Elara, yang menikah dengannya tanpa ragu. Tiga tahun kemudian, dia mendapatkan penglihatan kembali dan pernikahan mereka pun berakhir. "Kami sudah kehilangan banyak tahun. Aku tidak akan membiarkan dia menyia-nyiakan tahun itu lagi untukku." Elara menandatangani surat perjanjian perceraian tanpa sepatah kata pun. Semua orang mengejek kejatuhannya-sampai mereka menemukan bahwa dokter ajaib, maestro perhiasan, genius saham, peretas ulung, dan putri sejati Presiden ... semuanya adalah dirinya. Ketika Kurnia merangkak kembali, seorang miliarder kejam mengusirnya. "Dia istriku sekarang. Pergilah."
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Rachel dulu berpikir bahwa kesetiaannya akan membuat Brian jatuh hati suatu hari nanti, tetapi ternyata dia salah ketika cinta sejati pria itu kembali. Rachel telah menanggung semuanya-mulai dari berdiri sendirian di altar pernikahan hingga menyeret dirinya sendiri ke rumah sakit untuk perawatan darurat. Semua orang mengira dia gila karena menyerahkan begitu banyak dirinya untuk seseorang yang tidak membalas perasaannya. Namun ketika Brian menerima berita tentang penyakit terminal Rachel dan menyadari bahwa wanita itu tidak akan hidup lama lagi, dia benar-benar hancur. "Aku melarangmu mati!" Rachel hanya tersenyum. Dia tidak lagi membutuhkannya. "Aku akhirnya akan bebas."