ar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hi
," gumam
ng menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatu
nya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh b
ca-kaca. Ia buru-buru menurunkan miny
an sorot mata sendu, penuh
i setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. "Ibu ga
berkata banyak hal, ingin mengungkapkan sakit hatiny
Mariana yang basah oleh air mata. Sentuhan itu lembut, penuh k
isik Ratna dengan suara serak. "Tap
hatinya berkecamuk antara sakit hati
Bianca setelah semua yang terjadi? S
baring lemah dengan wajah penuh penye
atna begitu lirih. "Tapi Bianca tetap adikmu.
ya ingin berteriak bahwa semua ini tidak semudah itu. Namun di
aja dulu," kata
belum akhirnya menghela napas pelan. Ia tahu, l
r mendekat. Mariana menoleh ke arah pintu dan jantungnya seke
an
, sorot matanya seketika menjadi dingin saat melihat
gan erat. "Aku cuma mau lihat ib
apa yang kamu lakukan, kamu pi
napas berat. Ia menatap Bianca, bukan dengan ke
tajam. "Apa yang kamu lakukan buka
Mariana?" nadanya penuh tuduhan. "Kenapa? Karena dia ana
di matanya. "Bukan masalah siapa yang lebih baik, Bianca
seolah-olah selama ini memperlakukan Bia dengan adil. Tapi kenyata
ng terasa berat. "Kamu pikir itu alasan yang cukup untuk me
belaan. Seolah-olah apa yang ia lakukan hanyalah bent
u mungkin bukan ibu yang sempurna, tapi apa
a ter
gak mau dengar lagi," katanya dingin. "Kalau kamu cuma datang untuk menyalah
. "Bia nggak datang untuk minta maaf. Bia cu
h ini, apa? Kamu kembali ke suamiku
wab. Gadis itu hanya mengerj
khirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Kalau itu ke
erbalik menuju pintu. Saat melewati Bianca, Mariana berhenti seje
ca," katanya pelan. "Tapi mulai
dengan sorot mata yang semakin suram. Tangannya gl, Bianca?" Suaranya lirih. "Se
dagunya terangkat dengan angkuh mes
ak menye
a rapat-rapat, berusaha m
isa aku melahirkan anak yang tega m
Bia," desisnya dengan mata berkaca-kaca. "Dari dulu, Ibu dan Aya
ggak pernah memperlakukan kalian dengan berbeda. Terlepas dari semua
Kak Mariana!" jawabnya dengan suara yang
nyaris tidak memiliki tenaga tadi, kini menatapny
dengan suara bergetar. "Cinta maca
h pipinya yang memerah. Ia mengepalkan jemariny
berusaha mengumpulkan semua sisa te
gak men
hwa kamu merasa kurang diperhatikan? Bahwa kamu iri pada kakak
a ter
ngan suara yang mulai melemah. "Tapi Ibu nggak pernah mengaja