/0/23438/coverbig.jpg?v=b0fa4dd1a63ded9a9391a81cd651be16)
Mariana kehilangan segalanya dalam sekejap. Suaminya berselingkuh dengan saudara kandungnya sendiri. Bayi yang sangat dinantikannya meninggal dunia. Dan Bella, sahabat baiknya, pergi untuk selamanya setelah melahirkan. Di tengah duka yang belum usai, suami Bella yang sekaligus atasannya datang dengan sebuah tawaran mengejutkan. "Kamu sahabatnya, dan kamu juga baru kehilangan anakmu. Aku tahu ini sulit, tapi bayi ini membutuhkanmu. Hanya kamu satu-satunya yang bisa kupercaya." Mariana tidak tahu apakah itu jalan keluar atau justru awal dari kehancuran baru. Apa yang awalnya hanya tentang mengisi kekosongan perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Kehangatan yang tidak seharusnya ada, tatapan yang bertahan terlalu lama, dan perasaan yang terus tumbuh di tempat yang salah. Tapi bisakah cinta bertahan jika sejak awal ia hadir dalam situasi yang begitu keliru?
"Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!"
Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.
Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.
Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca-adik kandung Mariana sendiri.
Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.
"Kalian ... bagaimana bisa?" suaranya nyaris tak terdengar.
Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.
"Ka-kak ...." Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi tubuhnya.
Di samping Bianca, Bara tersentak kaget. Dengan gerakan tergesa-gesa, pria itu meraih celananya yang tergeletak di lantai lalu berlari menghampiri Mariana.
"Sayang, aku bisa jelaskan-"
"Jelaskan apa lagi, Bara?!" Mariana menyela dengan suara bergetar. "Aku melihat semuanya dengan mataku sendiri! Kalian berdua-!"
Kata-katanya terhenti di ujung lidah. Dadanya naik turun, dipenuhi rasa sesak yang tak tertahankan. Amarah bercampur dengan kepedihan mengoyak dada Mariana seperti sembilu.
Matanya kembali menatap ranjang yang berantakan. Selimut kusut, aroma tubuh mereka masih terasa di udara. Benar-benar menjijikan!
Tubuh Mariana melemah, seolah beban yang menyesakkan dadanya kini juga melumpuhkan seluruh dirinya. Lalu, tiba-tiba-
Rasa sakit luar biasa menusuk perutnya.
Mariana tersentak. Tangannya refleks mencengkeram perutnya yang membuncit. Rasa nyeri itu datang begitu kuat hingga kakinya bergetar hebat. Dan seketika itu juga, sesuatu yang hangat mengalir di antara kedua pahanya.
Darah.
Tarikan napasnya melemah sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke lantai.
"Kak Mariana!" Bianca menjerit panik sementara matanya membelalak sempurna.
"Sayang!" Bara hendak meraih tangannya, tetapi Mariana menepisnya dengan tatapan penuh kebencian.
"Ja-jangan sentuh aku ...," suaranya begitu lemah.
Bianca dan Bara seketika kelimpungan. Wajah mereka sama-sama dipenuhi kepanikan.
"Cepat panggil ambulans!" seru Bara pada Bianca.
Bianca segera meraih ponselnya dan menghubungi layanan darurat.
Sementara itu, Mariana menggigit bibirnya seraya menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Air mata terus mengalir dari sudut matanya, bukan hanya karena rasa sakit pada perutnya, tetapi juga luka yang jauh lebih dalam di hatinya.
Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
***
Suara sirene ambulans memecah keheningan malam, menggantikan jeritan panik Bianca dan suara Bara yang terbata-bata menjelaskan situasi kepada operator darurat. Tubuh Mariana sudah hampir kehilangan seluruh tenaganya. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi.
Dalam pandangannya yang semakin kabur, Mariana merasakan tubuhnya diangkat ke atas tandu. Suara-suara di sekelilingnya terdengar samar, tetapi ia masih bisa merasakan dinginnya udara malam menyentuh kulitnya saat mereka membawanya keluar.
Seorang petugas medis dengan sigap memasangkan masker oksigen di wajahnya, sementara yang lain bergerak cepat memeriksa tekanan darahnya.
"Tekanan darahnya turun drastis!" suara paramedis itu terdengar tegang. "Detak jantung janin juga melemah. Kita harus bergerak cepat!"
Kata-kata itu menghantam kesadaran Mariana seperti tamparan keras.
Tidak. Tidak mungkin.
Kepanikannya bercampur dengan ketakutan yang mencekam. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih dari itu, ada sesuatu yang jauh lebih menakutkan menghantui pikiran Mariana.
Tidak boleh terjadi apa-apa pada bayinya.
Mariana berusaha mengangkat tangannya, ingin menggenggam perutnya yang terasa semakin berat. Tapi tubuhnya terlalu lemah.
Bara naik ke dalam ambulans, wajahnya tampak begitu cemas. "Sayang, bertahanlah! Aku ikut denganmu," suaranya bergetar.
Mariana ingin menjerit, ingin menolak kehadiran pria itu. Tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah isakan lirih. Mariana terlalu lemah untuk mengusir pria itu.
Sesampainya di rumah sakit, Mariana segera dibawa ke ruang gawat darurat. Seorang dokter perempuan datang tergesa-gesa memeriksa kondisinya.
"Kita harus segera lakukan operasi. Pasien mengalami solusio plasenta-"
Mariana tak bisa memahami sepenuhnya istilah medis yang digunakan dokter, tetapi ia tahu satu hal. Saat ini bayinya dalam bahaya.
"Kumohon ... selamatkan bayiku," Mariana berbisik lemah, air matanya mengalir membasahi pipi.
"Tim segera bersiap. Kita ke ruang operasi sekarang!"
Para perawat mendorong ranjang Mariana dengan cepat. Langit-langit rumah sakit tampak berputar dalam pandangannya yang semakin mengabur. Suara-suara mulai terdengar jauh seperti berada di ujung terowongan.
Sebelum semuanya menjadi gelap, Mariana hanya bisa berdoa.
'Ya Allah, selamatkan bayiku.'
***
Beberapa jam kemudian,
Suara monitor detak jantung berdengung samar di ruangan serba putih itu. Aroma khas antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan hawa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang.
Mariana membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemah, sementara nyeri masih berdenyut di perutnya.
Ada sesuatu yang hilang. Perasaan kosong itu mencengkeram hatinya sebelum pikirannya bisa sepenuhnya sadar.
"B-bayi ... bayiku ...," suaranya serak, hampir tak terdengar.
Seorang perawat yang berjaga segera menghampiri. Tatapan wanita itu penuh belas kasihan, dan itu sudah cukup bagi Mariana untuk memahami segalanya.
Tidak-
Pintu kamar terbuka, seorang dokter masuk dengan ekspresi tenang namun penuh simpati. Ia berhenti di samping ranjang, lalu menatap Mariana sejenak sebelum berbicara,
"Nyonya Mariana Cempaka, kami sudah berusaha semampu kami."
Napas Mariana tercekat. Tangannya mencengkeram selimut erat. "B-bayi saya. Bagaimana bayi saya, Dok?"
Dokter menghela napas. "Pendarahan yang terjadi terlalu banyak. Saat tiba di rumah sakit, kondisi janin sudah sangat lemah."
Mariana menggeleng pelan, matanya mulai basah. "Tidak ...."
Dokter melanjutkan dengan suara lembut. "Kami sudah mencoba segalanya, tapi kami tidak bisa menyelamatkannya. Saya turut berduka."
Dunia Mariana terasa runtuh. Air matanya jatuh tanpa suara sementara tangannya meraba perutnya yang kini kosong.
Tidak ada lagi kehidupan di sana.
Bayi yang selama ini ia nantikan, yang tinggal dua minggu lagi seharusnya ia lahirkan-hilang dalam semalam. Semua harapan yang ia bangun runtuh begitu saja.
Suara pintu terbuka di sampingnya. Langkah kaki terdengar mendekat.
Mariana tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
Bara.
Pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh penyesalan, tetapi Mariana tak ingin melihatnya. Tak ingin mendengar satu kata pun dari pria itu.
"Sayang, aku-"
"Keluar." Suara Mariana begitu lirih tetapi juga tajam.
Bara terdiam.
"Keluar dari hidupku, Bara!" Mariana mengulangi, kali ini suaranya pecah bersama isak tangis yang tak bisa lagi ia tahan. "Kamu membunuh anak kita. Aku nggak mau melihatmu lagi."
Isakan pilu itu memenuhi seluruh ruangan kamar. Untuk pertama kalinya, Mariana membenci Bara lebih dari apa pun.
Rumor menyatakan bahwa Fernanda, yang baru kembali ke keluarganya, tidak lebih dari orang kampung yang kasar. Fernanda hanya melontarkan seringai santai dan meremehkan sebagai tanggapan. Rumor lain menyebutkan bahwa Cristian yang biasanya rasional telah kehilangan akal sehatnya dan jatuh cinta pada Fernanda. Hal ini membuatnya jengkel. Dia bisa menolerir gosip tentang dirinya sendiri, tetapi fitnah terhadap kekasihnya sudah melewati batas! Lambat laun, ketika berbagai identitas Fernanda sebagai seorang desainer terkenal, seorang gamer yang cerdas, seorang pelukis terkenal, dan seorang raja bisnis yang sukses terungkap, semua orang menyadari bahwa merekalah yang telah dibodohi.
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.