TPU Ind
pa-apa tentang duka yang merayap di bumi. Namun hujan masih saja turun, m
sisi sebuah makam. Tubuhnya kuyup, rambutnya menempel di wajah pucatnya, namun ia sama s
sembab. Sesekali, jemarinya yang gemetar meraba pelan batu nisan di hadapannya - men
am dirinya, ribuan kenangan yang tak ingin diingat justru berdesakan muncul -
g sese
ngan yang tak
(≧▽≦)
antung rendah, berkumpul di atas kota, menebarkan bayang-bayang muram ke setiap sudut jalan. Angin be
ik rerimbunan dedaunan. Sementara itu, ranting-ranting pohon bergoyang
berjalan dengan langkah ragu. Kedua lengannya merangkul tubuh sendiri, seolah b
jalanan, namun pikirannya melayang jauh - menuju rum
am hati, nyaris tak terdengar, hanya ber
pa Mita oleh orang-orang di sekitarnya. Namun hari ini, langkahn
di rumah. Sesuatu yang m
≧
" ucap nya lirih, n
a nihil. Tiba-tiba, ada suara gaduh dari arah dapur, tan
ara itu berasal dari halaman belakang. Dengan cepat
S
ya. Saat itu, petir menggelegar di langit, dan angin bertiup semakin kencang. Mita, yang panik d
asa bersalah. "bakal ada drama lagi nih," ujarnya sam
ibunya yang hampir terjatuh. Dengan gemetar, ia mencoba berbicara, "Ibu, tunggu, Mita tel
dengan susah payah menggenggam tan
minta s-sesu
ngan anggukan "b
it semakin gelap. Hujan rintik-rintik
ampai Mita berhasil meraih cita-cita Mita ya? Ibu gak mau liat Mita terus berlarut larut dal
n dari mulut nya. "Mita janji Sama ibu?" tanya sang ibu ser
ua nya saling mengaitkan jari kelingking
terukir di wajahnya. Tangan yang sebelumnya saling berkaitan, kin
." ujar Mita seraya menggoy
avara sambil memainkan
an suara tangisan yang begitu pilu. B
ang terus jatuh ke permukaan. Cairan berwarna merah pekat terus m
ama angin yang terus berderai. Air mata yang mengalir