Di ruangan yang nyaris membeku oleh suhu dan rasa putus asa, Calla berdiri kaku di samping ranjang rumah sakit mungil itu-menatap tub
tak sekuat dulu. Napasnya berat, teratur oleh alat, dan setiap bunyi bip yang terdengar seolah menusuk ulu hati Calla lebih dalam. Sakit itu ta
nya. Leona tak akan bertahan lama. Beberapa jam, mungkin. Sehari, jika mujizat d
tidak ada
ukan, pelipur, atau bahkan tatapan iba dari seorang ayah yang seharusnya berlari, jat
Ares memilih ber
berharap hanya sekali ini saja Ares menjawab dengan cepat. Ia bahkan belum sempat menyekaong... Leo
ggal lepas landas," sahut Ares cepat, terdeng
la pecah. "Leona k
rumah sakit terbaik. D
ng-orang di ruang tunggu yang mulai menatapnya. Ia berdiri sendiri di tengah dunia yang ret
l
n dari berita apapun yang
tidak menangis lagi. Air matanya kering. Hatinya pun demikian. Ia duduk di kursi plastik dingin, menggenggam
ka yang tak lagi menjanjikan harapan. Perawat masuk dan keluar membawa instrumen yang tak
nggil keluarga... mun
uar
eradaannya. Ibunya sendiri meninggal saat Calla masih duduk di bangku SMA. Ayahnya entah di mana. Ya
an
yang katanya menghilang, lalu muncul kembali dua minggu lalu. Dan Ares, dengan segala luka yang katanya belum
media sosial salah satu rekan bisnis Ares, yang tanpa sadar
akdirkan bersama kembali ber
yang di
an Leona. Seolah mengalirkan selur
n lalu, itu bukan karena cinta. Tapi karena sebuah perjanjian keluarga yang tidak pernah Call
menerimanya k
idupnya punya makna. Bahwa Ares mungkin bisa melihatnya. Mu
aring antara hidup dan mati
l 23
jang. Dokter berteriak. Perawat ber
jebak di tengah kekacauan itu, dengan jantu
rawat menatap
a harus ke
kan dia," bisik
k ada jaw
Ia bersandar di dinding luar ICU, dan di saa
i:
jadi malam yang panjang. Aku aka
ertanyaan t
bagaimana kon
ak
perlahan. Saat suara alarm di ruang ICU berhenti, d
berhenti
ak tahu apa yang ba