pertanyaan yang terus menggantung yang sulit untuk dijelaskan. Tentang Gunawan dengan
bali ke Bandung tempat
ng tengah mulai diredupkan. Hanya suara televisi dan de
yang sudah menemaniku lebih dari tiga puluh tahun, yang mengenalku lebih dalam dari siapa pun. Tapi malam itu,
Pah," katanya rin
sesuatu di balik kain sarungku berdiri. Tak sadar tanganku menyentuh bahu istriku perlah
" tanyany
dah lama padam. Bukan semata karena tubuh mudanya yang molek, wajahnya yang jelita, sikapnya yang menggoda, tapi
r pelan. "Kangen. Sudah lama ki
rakannya penuh tanda penolakan. Aku bisa mem
lirih tapi tegas. "Tubuhku sudah beda. Aku suda
an hanya tentang hasrat-ini tentang rasa ditolak, tentang dinding tak terlihat yang terus tumbuh di
"Kenapa Papa tiba-tiba begini? Ada apa?
in menghindar, tapi juga ingin menjelaskan. Tapi apa yang bisa dijelaskan, jika yan
awabku pelan, mencoba menahan diri. "Papa
a Papa masih mau hidup seperti anak muda terus? Sek
abad, namun ia masih sangat gesit dan lincah, aktif dalam berbagai kegiatan sosial, namun setiap kali kuajak bersetubuh, selalu menolak halus denga
keintiman, aku mulai merasa asing dan tersingkir. Bayangan Vero yang masih muda serta Midah
Duduk di ruang tengah, memandangi temaram lampu gantung. Hat
aku masih ingin
ika hasratku m
tas disebut su
enarik. Aku duduk di sofa, sendirian, dengan ponsel di tangan. Istriku sudah jauh tenggelam dalam mimpi-mimpinya, dan tak lama kemud
*
un di sofa, punggung terasa pegal, leher kaku karena posisi tidur yang tidak semestinya. Televisi sudah
Narsih, pembantu kami yang sudah bekerja lebih dari satu dekade, tengah menyiapkan sar
il menoleh sebentar. "Kurang tidur
njelaskan apapun. Mbok Narsih tentu cukup bijak untuk ta
ngenakan daster hijau lumut, rambut disanggul seadanya. Tatapan kami sempat bertemu. Hanya sekejap
ya datar, lalu dud
sambil menarik k
ada yang mengganjal. Setiap bunyi sendok menyentuh piring terasa lebih nyarin
striku berkata, dengan suara yan
terlalu cepat menuduh. Mungkin aku ca
ersalah yang membenarkan tuduhannya. Karena sesungguhnya, ia tidak salah sepenuhnya. Ada Vero dalam pikiranku, dan
akhirnya. "Papa ngerti... mung
gaja menjaga suasana agar tidak sampai terjadi be
anan kompleks masih sepi, hanya terdengar gemericik air dari selokan yang baru dibersihka
erdiri di depan pagar rumahnya. Ia tampak rapi, mengenakan tunik bir
seolah sedang menunggu seseorang. Aku memperl
Hasto," sa
pas banget. Saya lagi nunggu taksi online, mau ke dokt
a lewat Simprir. Kalau tidak kebe
jenak, lalu tersenyum lagi. "Wah, beneran
a sekali. A
an keluar dari kompleks, melewati pos satpam yang mengangguk sopan. Di dalam mobil, aw
ut senam bareng staf. Saya pikir daripada bengong di rumah, mending periksa sekal
bih baik diperiksa. Semo
uatku teringat pada sesuatu yang lama hilang-kerapian, ketenangan,
ntara Hasto sudah kelelahan. Atau mungkin karena ini kali pertama aku benar-benar memperhatikannya, Midah tampa
an kelapa parut yang melonjak. Tapi di sela kalimatnya, ada nada manj
ng selama ini tersembunyi di balik wajah seriusnya saat
kelasnya Mas Hasto, y
sih dua tahun. tapi SMA
ebih muda Pak Arya ya, h
a sih rata-rata selisih dua sampa
k Arya keliatan masih sangat gagah, s
ngat sih malah bisa ngadu sama yang di bawah 40 tahun juga, hehehe. Tapi
ai akhirnya kami tiba di depan klinik, ia mengucapkan terima kasih
sa sempit dan sumpek. Entah mengapa bayangan Midah seolah memenuhi tiap sudut ruang, duduk di sofa tamu, berd
as yang harus segera ditandatangani. Tanganku mulai menari di
rsenyum dari balik lembar-lembar disposisi itu. Tangannya yang sempat menyeka dahinya, l
rsi. Lalu kupejamkan mata sejenak, berharap sedikit kejern
eperti menandatangani kebingunganku sendiri. Setiap paraf terasa seper
sesuatu yang hilang dalam hidupku: perhatian, gairah, dan keintiman yang manusiawi. Aku tahu dia
engapa bisa
*