rutinitas: seragam kerja, rapat dinas, laporan tahunan, dan kadang-jika mood mengizinkan, bisnis sa
nawan Ariwijaya, sahabat lama masa kuliah. Sudah lebih dari dua dekade kami tak bertatap muka, meski komunika
birokrasi, PNS eselon di Departemen Perdagangan. Mapan dan stabil, kata banyak orang. Tapi dalam dia
berpelukan. Pelukan yang masih hangat seperti dulu. Tubuh Gunawa
ut bersamanya. Penampilannya anggun, wajahnya bersih dan tenang, ada wibawa ya
nawan dengan senyum khasnya. "Bia
tu atau dua tahun terakhir, Gunawan tak perna
usi soal startup ketimbang duduk dalam urusan tekstil. Apakah benar
n dan tersenyum sopan. Hangat, tapi menjaga
punya porsi bicara. Beberapa kali Gunawan justru memintanya menjelaskan rincian proposal. Ternyata, dia lulusan bisn
ikit terpesona, d
kan iri, tapi lebih pada kesadaran tentang bagaimana waktu
iki tiga menantu dan satu anak yang masih lajang. Tetap bergelut antara kewajiban dan keinginan, antara b
kan ampas, dan udara di ruangan itu mulai mengisyaratkan perpisahan. Tapi sebelum benar-benar beranjak, Gunawan menoleh,
salnya, "Vero siap bantu kamu. Dia bahkan siap kalau harus tinggal beberapa hari di
maksud sebenarnya. Tapi kemudian dia menam
untuk keperluan apapun. Aku sudah bilang sama dia, d
kembali pura-pura ba
kan memberimu layanan istimewa, bahkan mungkin yang tak p
egun dan
yum tipis, tetap menatap ke arah jendela, seolah tak terganggu oleh kalimat yang baru saja dilontarkan
?" tanyaku berbisi
ku, tapi kami sudah lama bekerja sama. Vero
u lagi makin pelan. "Ma
njutkan S3 d
ng tunai. Aku tahu cara mereka bekerja. Selama ini aku memilih fee dalam bentuk yang lebih terhormat dan aman, uang.
ustru dijadikan bagian dari "paket" negosiasi. Apakah ini bentuk kepercayaan penuh dari seorang mertua, atau
encoba bebas dari batasan yang diciptakan oleh sistem yang membesarkannya? Apakah suami Vero tahu? Sepertinya aku
i usia senja ini, apa sebenarnya yang sedang kucari? Kekuasaan? Ketenangan? Kekayaan atau pengakuan? Atau hanya sekadar ingin me
y anak bungsuku-yang baru tingkat dua kuliah, dan kebetulan sedang ada di rumah, tampak asyik di balik lay
mpelks, sambil jalan menyapa beberapa tetangga, berbasa-basi seperlunya. Ini bagian dari
ai muda dari pesantren di pinggiran kota. PembaHastonya materinya sederhana: "Menjaga hati dalam
tetap melayang. Di hadapanku, sang ustaz menjelaskan tentang fitnah dunia, tentang pentingnya
berputar. Cara ia menunduk sambil membaca dokumen. Cara ia melirik dengan mata penuh isyara
, yang kini menjadi mitra bisnis, dan-dalam satu waktu yang absurd-ju
nyalah permainan hasrat birahi para manusia setengah baya yang dibun
ali mendengarkan ustaz Arif yang kini
ainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga antar
arpet yang lembap, aku merasa sedang dikuliti oleh suara sendiri. Tak be
erjalan berdampingan menyusuri jalan kecil menuju rumah masing-masing. Lampu-lampu jalan
mbat, tapi semangat untuk hadir di pengajian dan bersilaturahmi tak pernah surut. Kami sama-sama PNS, pada instansi berbeda. Hidup kami cuk
topik yang s
ewalahan," katanya pelan, t
napa?" tanyak
mang masih muda, apalagi dibanding saya. Kadang saya udah ngo
il, mencoba meng
al begitu. Alasannya, sudah menopause, nggak punya gairah, sudah merasa tua
ng memahami dan menghormati atas realita hidup di usia senja. Tak ada saling men
ol lengan Hasto pel
kita tukeran, Pak
lisnya naik satu, mata
da suaranya agak nyolot, tapi aku tahu it
lah... masa tukera
masjid yang mulai sepi. Hasto sampai menepuk jidatnya sendiri, ter
ja. Yang ada malah kena
i maksudnya, kita kan cuma berc
kini lebih ringan, seperti beban-beban yang tadi se
nya pelan. "Hidup itu aneh. Bapak kekurangan,
jalan setapak menuju rum
Pak. Biar kita nggak sombong dengan apa yang kita puny
ejenak, lalu me
Tapi tetap aja, mulutnya kadang ngeres. Pake
ahwa di usia senja, persahabatan dan tawa bisa jadi
*