at makan siang, aku menerim
reng hari ini? Saya jemput di
ulang pengajian, tapi untuk bertemu di jam kerja seperti ini, rasanya tidak biasa. Apalagi kami b
n menuju sebuah rumah makan sederhana di dekat taman kota-tempat
t makanan datang dan aku baru saja meniup sendo
kiran soal malam
kat alis. "
ukar istri itu,
ut sambil tertawa miris. Kupikir itu cuma lelucon satu
o... kamu
ggung, wajahnya sepert
, ya... saya heran, kenapa istri saya begitu... aktif, sementara saya sudah lelah. Dan Bu Dewi, i
dan piring di meja-meja lain terdengar sayup. Panas dari semangkuk sot
u... hidup. Masing-masing rumah tangga punya iramanya. Kadang istri di depan, k
alu mengaduk soto
ini, tapi kadang merasa kalah. Bukan c
sebagai pria tangguh, agamis, humoris, dan stabil. Tapi hari ini, ia hanya tampak seperti lelaki
ngasih ruang buat kita jujur soal kelemahan. Kita ini manusia, Pak Hasto. Bukan
pelan, lalu te
dia kagumi Midah. Takut dia merasa saya sudah nggak bisa apa-apa,
nya. "Semua ada
amun serius. "Pak Arya, maaf... sudah bera
nya pertanyaan itu yang menggantung di udara, seperti asap dari semangk
a tetap tenang. "Tapi saya merasa baik-baik saja
bagai lelaki normal, aku masih menyimpan api yang belum padam. Tapi selama ini, aku menekannya dengan doa, kesibukan, dan rasa
pir seperti bisikan, matanya menerawang ke luar jendela. "Dia masih... muda. Dan... jujur saja, kad
al. Yang ada justru muncul suasana ganjil. Canggung, a
Apakah ini hanya curhat? Ataukah Hasto benar-benar sedang mempertimbangkan ide absurd
tapi ada sorot yang berbeda di matanya. Ia tam
rapi, tapi aku memang sering melihat sesuatu di balik sorot matanya-kerlingan yang kadang tera
m. Dan aku tahu, dia istri kedua Hasto. Istri pertama Hasto telah lama meninggal, dan Mi
mantan suaminya. Sementara anak-anak Hasto semua sudah dewasa, sehingga mereka saat ini hanya tingga
bantu aku jadi laki-laki yang cukup memenuhi kebutuhan batin bagi istriku," at
gerak. Aku bisa merasakan kebisuannya lebih k
encari pegangan di tengah ru
Kita bukan cuma punya tubuh. Kita punya tanggung jawab. Punya nama. Punya
guk kecil. Tapi ada se
. Tapi kadang, saya hanya ingi
gangguk
Hasto. Tapi tolong... jangan jadikan saya solu
dok menyentuh piring, dan napas kami yang bera
alam dada belum tentu reda. Dan tak semua tawa bisa menutup luka yang menunggu d
jam istirahat berakhir. Lorong masih lengang, hanya
satu pun yang menyambut dengan urgensi. Di luar kaca, langit mendung meng
terbuka sejak pagi. Tapi tatapanku kosong. Angka-angka itu tak berarti apa-apa sekar
menggali ruang sunyi y
iri sendiri. Murni rasa ingin tahu. T
apa pasangan
an judul bombastis: "Mengapa ber
olom anonim, tempat orang-orang memuntahkan keluh mereka dala
thread, ada
angsa dan menyelamatkan ranjang
ayar laptop, menutupnya seperti menutup dosa yang bahkan belum terjadi. Tapi aroma s
pintu dike
a terdengar lembut seperti biasa
gguk pelan
letakkannya di sisi meja yang kosong. "Ini dokumen untuk
sempat memeriksa detai
a atur. Tiket, hotel, juga mobil sewaan. Jadwal reuni di hari pert
. Mia memang efisien.
mbahan, kalau Bapak ingin lebih santa
kap nada halus dalam suaranya. Bukan basa-basi, hanya... sej
sih," jawa
u pamit keluar. Langkah
ng tak penting. Sebenarnya bukan pekerjaannya yang me
kembali tanpa permisi. Aku mendesah pelan. Mungkin Nia benar. Mungkin dua hari tambah
ah: menyamping, membelakangi tempatku, berselimut rapat hingga leher. Piyama panjang, kaos kaki lengkap. Seolah tubuhnya adalah wilayah kedaulatan yang
duduk di tepi ranjang, membuka jam tangan pelan-pelan, dan mem
membicarakan hal-hal yang mungkin tak pantas dibicarakan. Mungkin juga tak pernah bi
merebahkan diri d
asnya pelan,
ri yang hidup dengan pria yang s
mejamk
p hanya kelopak,
ti biasa, berjal
*