Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Pemuas Birahi Setengah Baya
Pemuas Birahi Setengah Baya

Pemuas Birahi Setengah Baya

5.0
6 Bab
215 Penayangan
Baca Sekarang

PEMUAS BIRAHI SETENGAH BAYA Ketika usia tak lagi muda, tetapi hati justru mulai berani jujur pada rasa dan birahi yang kian bergelora. Di balik kehidupan yang tampak mapan dan tenang, tersimpan riak-riak kerindua yang tak pernah terucap. Ada mereka yang telah menjalani usia setengah baya dengan peran mulia-sebagai istri, suami, orang tua-namun menyimpan ruang kosong yang lama dibiarkan hampa. Hingga sebuah pertemuan, sebuah sentuhan, atau sekadar perhatian kecil membuka kembali pintu-pintu perasaan yang terkunci. Hasrat yang dulu terpendam kini menyala, tak peduli usia, status, atau norma yang mengikat. Ini bukan kisah cinta remaja yang manis dan polos. Ini adalah cerita tentang mereka yang belajar mencintai-dengan luka, dengan keberanian, dengan kejujuran yang menyesakkan. Panas membara. Hasrat Setengah Baya mengajak kita menyelami cinta yang terlambat, hubungan yang tak terduga, dan pilihan-pilihan yang tak selalu hitam-putih.

Konten

Bab 1 PBSB (Pemuas Birahi Setengah Baya)

Usiaku telah melewati setengah abad lebih lima tahun. Di titik ini, banyak hal dalam hidup menjadi rutinitas: seragam kerja, rapat dinas, laporan tahunan, dan kadang-jika mood mengizinkan, bisnis sampingan yang kutekuni secara diam-diam, sekadar menjaga api semangat agar tidak padam terlalu dini.

Pagi menjelang siang ini di sebuah kafe eksklusif bilangan Jakarta Selatan, aku dijadwalkan bertemu dengan Gunawan Ariwijaya, sahabat lama masa kuliah. Sudah lebih dari dua dekade kami tak bertatap muka, meski komunikasi sesekali terjadi lewat layar ponsel. Kami memang sering terlibat diskusi tentang bidang yang kami geluti.

Gunawan tinggal di Bandung, pengusaha tekstil yang cukup sukses. Sementara aku masih setia di jalur birokrasi, PNS eselon di Departemen Perdagangan. Mapan dan stabil, kata banyak orang. Tapi dalam diam, aku tahu ada sisi dalam diriku yang kerap merindukan sesuatu yang tak bisa disebutkan dengan pasti.

"Aryanto Surbakti!" sapa Gunawan ramah. Aku refleks berdiri, kami berpelukan. Pelukan yang masih hangat seperti dulu. Tubuh Gunawan masih gagah dan tegap seolah tak termakan usia, sama sepertiku.

Namun bukan itu yang membuatku sedikit terkejut, melainkan wanita muda yang ikut bersamanya. Penampilannya anggun, wajahnya bersih dan tenang, ada wibawa yang tidak biasa untuk usianya yang kutaksir tak lebih dari dua puluh enam tahun.

"Kenalkan, ini Veronika," kata Gunawan dengan senyum khasnya. "Biasa disapa Vero, menantu bontotku."

Aku sempat tercekat sejenak. Rasanya dalam satu atau dua tahun terakhir, Gunawan tak pernah mengundangku ke resepsi pernikahan anaknya.

Vero tampak seperti mahasiswi pasca sarjana yang lebih cocok berdiskusi soal startup ketimbang duduk dalam urusan tekstil. Apakah benar menantunya, masih calon menantu atau istri yang kesekiannya, atau...?

Wanita muda nan cantik itu menyodorkan tangan dan tersenyum sopan. Hangat, tapi menjaga jarak. Ada keanggunan yang tidak dibuat-buat.

Selama perbincangan berlangsung, aku mulai bisa membaca dinamika mereka. Vero bukan sekadar menantu pendamping, dia punya porsi bicara. Beberapa kali Gunawan justru memintanya menjelaskan rincian proposal. Ternyata, dia lulusan bisnis dari Melbourne, dan kini membantu mengembangkan divisi digitalisasi distribusi perusahaan milik keluarga Gunawan.

Aku menyimak, sedikit terpesona, dan sedikit terusik.

Tak bisa kupungkiri, ada semacam rasa asing yang muncul, bukan iri, tapi lebih pada kesadaran tentang bagaimana waktu telah berjalan. Dulu kami sama-sama muda, sama-sama gelisah.

Kini, Gunawan sudah punya empat menantu, salah satunya yang duduk di hadapanku, sementara aku sudah memiliki tiga menantu dan satu anak yang masih lajang. Tetap bergelut antara kewajiban dan keinginan, antara birokrasi dan mimpi lama yang tertunda. Gunawan menikah lebih dulu dariku, bahkan saat dia belum diwisuda.

Pertemuan kami telah selesai, karena sebenarnya sudah sering kami diskusikan secara daring. Cangkir kopi tinggal menyisakan ampas, dan udara di ruangan itu mulai mengisyaratkan perpisahan. Tapi sebelum benar-benar beranjak, Gunawan menoleh, menatapku dengan sorot mata yang tidak asing-mata seorang sahabat yang sedang menggoda, tapi juga menyembunyikan sesuatu.

"Kalau ada urusan teknis yang perlu dibereskan," katanya sambil merapikan map proposalnya, "Vero siap bantu kamu. Dia bahkan siap kalau harus tinggal beberapa hari di Jakarta. Kamu tahu lah, anak-anak sekarang ingin cepat selesai dan cepat tanggap."

Aku hanya mengangguk kecil, belum menangkap maksud sebenarnya. Tapi kemudian dia menambahkan, dengan nada yang agak mengejutkan.

"Biar semua lancar, kamu bisa kontak Vero kapan saja, untuk keperluan apapun. Aku sudah bilang sama dia, dan dia sangat mengerti posisimu dalam bisnis kita ini."

Aku mengangguk sambil kembali pura-pura baca pesan di ponselku.

"Aku percayakan semuanya sama Vero. Aku juga yakin, dia akan memberimu layanan istimewa, bahkan mungkin yang tak pernah kamu dapatkan sebelumnya," bisik Gunawan selanjutnya.

Aku tertegun dan terdiam.

Sejenak suasana terasa lebih berat daripada udara ber-AC di ruang itu. Vero, yang saat itu hanya tersenyum tipis, tetap menatap ke arah jendela, seolah tak terganggu oleh kalimat yang baru saja dilontarkan mertuanya. Tapi aku tahu, ia pasti mendengarnya. Dan ia tidak menolak. Itu yang membuatku mulai gelisah.

"Dia menantumu kan?" tanyaku berbisik, untuk memastikan.

"Baru setengah tahun menjadi bagian keluargaku, tapi kami sudah lama bekerja sama. Vero sudah sangat memahami segalanya, tenang saja."

"Lantas anakmu?" tanyaku lagi makin pelan. "Maksudku... suaminya Vero?"

"Sedang melanjutkan S3 di Australia."

Dalam dunia kerjaku, tawaran-tawaran semacam ini bukan barang baru. Makan malam mewah, voucher hotel, koper berisi uang tunai. Aku tahu cara mereka bekerja. Selama ini aku memilih fee dalam bentuk yang lebih terhormat dan aman, uang. Tapi tawaran Gunawan kali itu bukan hanya soal godaan. Ia seperti membentangkan pilihan hidup di depan wajahku sendiri.

Veronika menantunya, seorang wanita muda yang seharusnya ada dalam lingkaran keluarga yang melindunganinya, justru dijadikan bagian dari "paket" negosiasi. Apakah ini bentuk kepercayaan penuh dari seorang mertua, atau justru bentuk paling sunyi dari kegagalan moral Gunawan sebagai pimpinan perusahaan sekaligus kepala keluarga?

Dan yang lebih menggangguku, mengapa Vero tidak menolak? Apakah dia bagian dari strategi? Ataukah ia juga sedang mencoba bebas dari batasan yang diciptakan oleh sistem yang membesarkannya? Apakah suami Vero tahu? Sepertinya aku masih perlu mengkaji lebih dalam. Bisa jadi ini adalah jebakan batman yang bisa jadi akan menghancurkan segalanya.

Aku masih duduk termangu setelah Gunawan dan menantunya pamit. Melihat sisa kopi di cangkirku, aku bertanya pada diri sendiri: di usia senja ini, apa sebenarnya yang sedang kucari? Kekuasaan? Ketenangan? Kekayaan atau pengakuan? Atau hanya sekadar ingin merasa diinginkan lagi-di tengah dunia yang terus bergerak, dan mungkin aku memang sudah tertinggal karena terlalu naif dan lurus.

Sore itu, sesampainya di rumah, semuanya kembali pada alurnya. Istriku menyiapkan teh hangat di meja, Jordy anak bungsuku-yang baru tingkat dua kuliah, dan kebetulan sedang ada di rumah, tampak asyik di balik layar laptop di kamarnya. Televisi menyala tapi suaranya kecil, hanya menjadi pengisi ruang tamu yang hening.

Aku pun bersiap untuk shalat Maghrib. Seperti biasa, berjalan kaki ke masjid di tengah kompelks, sambil jalan menyapa beberapa tetangga, berbasa-basi seperlunya. Ini bagian dari hidupku yang paling teratur-ritme masyarakat yang sudah terinternalisasi nyaris otomatis.

Usai salat berjamaah, ada pengajian kaum bapak yang dipandu oleh ustaz tamu-ustaz Arif, seorang dai muda dari pesantren di pinggiran kota. PembaHastonya materinya sederhana: "Menjaga hati dalam dunia yang penuh tipu daya." Tapi entah kenapa, kalimat itu seperti ditujukan langsung ke arahku.

Aku duduk di barisan ketiga, bersila dengan sajadah yang kulipat rapi. Mendengar, tapi pikiran tetap melayang. Di hadapanku, sang ustaz menjelaskan tentang fitnah dunia, tentang pentingnya menjaga niat, tentang betapa mudahnya hati tergelincir meski raga tetap dalam balutan ibadah.

Aku menyimak... atau pura-pura menyimak. Karena di ruang dalam kepalaku, bayangan Vero masih berputar. Cara ia menunduk sambil membaca dokumen. Cara ia melirik dengan mata penuh isyarat. Sering kali terlontar kalimat-kalimatnya yang ringan tapi meninggalkan jejak yang mendalam.

Dan tentu saja, pikiranku kembali pada Gunawan. Sahabat masa kuliahku, yang kini menjadi mitra bisnis, dan-dalam satu waktu yang absurd-juga sosok yang secara implisit menawarkan menantunya sendiri kepadaku.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku sedang diuji? Ataukah ini hanyalah permainan hasrat birahi para manusia setengah baya yang dibungkus formalitas? Sudah segila itukah mertua dan menantu di masa kini.

Aku mencoba mengembalikan fokus. Kembali mendengarkan ustaz Arif yang kini membacakan ayat dari Surah Al-Hadid:

"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga antara kamu, serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan..."

Ayat itu menikam. Di antara pantulan lantai masjid yang dingin dan bau karpet yang lembap, aku merasa sedang dikuliti oleh suara sendiri. Tak berapa pengajian berkahir yang kami lanjutkan dengan salat isya berjamaah.

Malam itu udara terasa sejuk setelah hujan gerimis mengguyur sejak sore. Aku dan Hasto berjalan berdampingan menyusuri jalan kecil menuju rumah masing-masing. Lampu-lampu jalan temaram menemani langkah kami, sesekali terdengar suara jangkrik mengisi kesunyian malam.

Kami berdua sudah sama-sama memasuki usia senja. Rambut kami memutih, terbungkus peci hitam dan disamarkan dengan semir. Langkah mulai melambat, tapi semangat untuk hadir di pengajian dan bersilaturahmi tak pernah surut. Kami sama-sama PNS, pada instansi berbeda. Hidup kami cukup tenang. Hasto adik kelas saat SMP di Semarang, tak disangka kini kembali menjadi tetangga di Jakarta saat usia kami sudah setengah baya.

Hasto membuka topik yang sedikit pribadi.

"Pak Arya, saya ini makin kewalahan," katanya pelan, tapi nadanya setengah tertawa.

"Kewalahan kenapa?" tanyaku agak heran.

"Istri saya itu, semangatnya masih luar biasa. Usianya kan memang masih muda, apalagi dibanding saya. Kadang saya udah ngos-ngosan, dia malah ngajak tancap gas-paham kan maksud saya?"

Aku terkekeh kecil, mencoba menghangatkan suasana.

"Wah, itu kebalikan saya, Pak Hasto. Istri saya justru sering menolak hal-hal begitu. Alasannya, sudah menopause, nggak punya gairah, sudah merasa tua. Saya sih ngerti, tapi kadang ya... ya begitulah. Agak kesal juga, hehehe."

Kami sama-sama tertawa kecil-tawa getir yang menandakan keakraban sekaligus saling memahami dan menghormati atas realita hidup di usia senja. Tak ada saling menghakimi. Hanya dua sahabat tua berbagi uneg-uneg dalam balutan malam yang hening.

Lantas aku menyenggol lengan Hasto pelan sambil terkekeh.

"Mungkin seharusnya kita tukeran, Pak Hasto," ucapku iseng.

Hasto menoleh cepat, alisnya naik satu, matanya menyipit penasaran.

"Hah, tukeran apa maksudmu, Pak Arya?" nada suaranya agak nyolot, tapi aku tahu itu cuma gaya khasnya kalau lagi penasaran.

"Ya tukeran nasib lah... masa tukeran istri, hahahaha!"

Tawa meledak di antara kami berdua, menggema di jalan kecil depan masjid yang mulai sepi. Hasto sampai menepuk jidatnya sendiri, tertawa sambil menggeleng-geleng, hampir saja lopiah hitamnya terjatuh.

"Edan kamu, Pak. Bisa aja. Yang ada malah kena semprit malaikat Raqib!"

"Lha, malaikat juga pasti ngerti maksudnya, kita kan cuma bercanda, Pak," jawabku, masih geli.

Setelah tawa kami reda, suasana kembali tenang. Tapi kini lebih ringan, seperti beban-beban yang tadi sempat terasa berat sudah terbang bersama angin malam.

"Tapi bener juga ya, Pak," gumam Hasto, suaranya pelan. "Hidup itu aneh. Bapak kekurangan, saya kelebihan. Tapi kita sama-sama bingung."

Aku mengangguk, menatap jalan setapak menuju rumah kami yang mulai remang.

"Mungkin itu cara Tuhan ngajarin kita buat bersyukur, Pak. Biar kita nggak sombong dengan apa yang kita punya, dan nggak minder dengan apa yang kita nggak punya."

Hasto terdiam sejenak, lalu menepuk pundakku.

"Pak Arya luar biasa. Makin tua makin bijak. Tapi tetap aja, mulutnya kadang ngeres. Pake acara punya ide tuker istri segala, hahahaha."

Kami tertawa lagi, dan malam itu pun menjadi saksi bahwa di usia senja, persahabatan dan tawa bisa jadi penghibur terbaik-lebih dari obat, lebih dari nasihat.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 6 PBSB   Kemarin14:01
img
2 Bab 2 PBSB
15/06/2025
3 Bab 3 PBSB
15/06/2025
4 Bab 4 PBSB
15/06/2025
5 Bab 5 PBSB
16/06/2025
6 Bab 6 PBSB
16/06/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY