Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Pemuas Birahi Setengah Baya
Pemuas Birahi Setengah Baya

Pemuas Birahi Setengah Baya

5.0
16 Bab
32.8K Penayangan
Baca Sekarang

PALING BARU, PALING BEDA, PALING PANAS! Mereka bukan lagi muda, tapi justru itulah rahasia terpanas mereka. Setengah baya, berpengalaman, dan tahu persis bagaimana membangkitkan gairah dan birahi yang tak terduga. Anisa membuktikannya, sentuhan, tatapan, dan godaan dari para pria matang ini membuka dunia baru-penuh nafsu, misteri, dan sensasi yang hanya bisa diberikan oleh mereka yang telah berpengalaman dan memiliki stamina dan maskulintitas palin liar. Dia benar-benar rela menjadi PEMUAS BIRAHI SETENGAH BAYA

Konten

Bab 1 Hasrat Anisa

"ASTAGA!!!"

Anisa terbangun dengan tiba-tiba. Dadanya naik turun, napasnya pendek-pendek seperti habis berlari jauh. Suara detik jam di dinding terdengar begitu keras dalam keheningan kamar.

Ia duduk perlahan di atas ranjang, mengusap wajah yang dingin oleh peluh. Keningnya berkeringat, meski kipas angin masih berputar pelan di pojok ruangan.

Matanya memandang gelap, seperti masih terjebak di antara mimpi dan nyata. Ia memejamkan mata lagi, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan tadi itu... masih tersisa. Membekas terlalu jelas. Terlalu hidup. Terlalu salah.

"Astaghfirullah..." bisiknya lirih.

Tangannya meremas ujung selimut. Pipinya terasa panas, meski tak ada siapa-siapa yang melihat. Ada rasa malu yang entah ditujukan kepada siapa-kepada Tuhan, kepada dirinya sendiri, atau... kepada sosok dalam mimpinya yang tak pernah ia bayangkan akan muncul dalam cara yang begitu mengguncang.

Ia berdiri pelan, berjalan ke dapur. Menuang air putih dengan tangan sedikit gemetar. Matanya sesekali melirik ke arah ruang tengah-gelap dan sepi. Seolah takut bayangan dari alam mimpi itu menyelinap lewat celah pintu.

"Apa-apaan sih tadi itu..." gumamnya pelan, mencoba membuang rasa bersalah yang menempel seperti jelaga.

Ia menatap bayangannya sendiri di kaca lemari. Sejenak tak mengenali wajah itu. Wajah yang baru saja membawa kenangan tidur ke tempat yang... seharusnya tak pernah ia kunjungi.

Anisa menarik napas panjang, mencoba mengabaikan denting waktu yang terasa lambat malam itu. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sebelah Pian yang masih terlelap-dengkurnya halus, damai, seperti tak pernah ada badai dalam hidupnya. Anisa memiringkan tubuh, memunggungi suaminya. Tapi matanya tetap terbuka, memandangi gelap, lalu langit-langit kamar.

Pikiran dan perasaannya kacau. Masih ada jejak panas yang aneh, tertinggal samar di kulitnya, di sebagian besar tubuhnya terutama area intimnya dan di ruang bawah sadarnya. Hingga tak terasa fajar datang menjelang.

Akhirnya ia bangkit. Berjalan pelan menuju kamar mandi. Air dingin tak cukup menghapus apa yang terasa kotor dalam pikirannya. Tapi setidaknya, bisa sedikit menenangkan.

Setelah mandi, ia salat Subuh. Rukuknya dalam, sujudnya lama. Tapi lidahnya kelu. Doa-doa yang biasa ia panjatkan terasa asing. Ia tak tahu harus berkata apa. Bahkan menyebut namanya sendiri dalam hati pun terasa canggung.

Pagi pun datang, seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan, menyeduh kopi untuk Pian. Saat suaminya keluar kamar, menguap dan tersenyum seperti biasa, Anisa ikut tersenyum kecil, meski tak sampai ke matanya.

"Kopinya seperti biasa ya, Mas," kata Anisa.

"Iya, makasih. Kamu gak tidur nyenyak?" tanya Pian, sekilas melihat wajahnya.

"Biasa aja. Agak susah tidur, itu aja."

Pian tak terlalu memperpanjang. Ia segera bersiap berangkat ke sawah, seperti biasa, dengan langkah tenang dan sandal kebunnya yang sudah agak usang.

Anisa mengantar sampai teras, lalu kembali masuk. Tak lama kemudian, suara klakson ojek langganannya terdengar. Ia naik, membetulkan letak tas selempangnya, dan memberi salam pelan.

Di sepanjang jalan, Anisa diam. Sementara tukang ojeknya bercerita soal hujan semalam, tentang jalur yang becek dan sawah yang mungkin tergenang, Anisa hanya mengangguk, sesekali tersenyum simpul, pura-pura menyimak.

Padahal pikirannya jauh. Terbang ke sudut gelap mimpi yang belum juga mau pergi. Mimpi yang membuatnya... malu. Sangat malu. Bahkan pada dirinya sendiri.

Setibanya di toko, ia membuka pintu dan rolling door dengan gerakan mekanis. Meletakkan tas, menggulung lengan baju, dan menata etalase. Tapi tangannya agak gemetar.

"Apa yang salah dengan diriku semalam?" bisiknya dalam hati.

Dan untuk pertama kalinya, dia berharap Tante Maya datang lebih awal. Atau paling tidak, ada keramaian janda-janda Ganjen dan candaan mereka yang biasanya membuat kupingnya panas-karena pagi ini, pikirannya jauh lebih riuh daripada suara siapa pun.

Waktu terus berlalu dan harapan Anisa pun terkabul.

Toko mainan Tante Maya bukan sekadar tempat jual beli boneka, mobil-mobilan, dan lego bajakan dari Cikarang. Ia adalah pusat semesta kecil di pasar kota kecamatan. Lantai bawah toko selalu ramai-entah karena diskon boneka Barbie kw super, atau karena magnet utama: kelompok janda-janda sosialita dengan aroma semerbak minyak zaitun dan riasan tajam penuh tekad.

Seperti biasa Anisa sibuk melayani ibu-ibu muda yang memilih mainan untuk anak mereka dalam berbagai warna. Tak lama dari arah pintu masuk terdengar suara khas Mbok Rahayu, yang hari ini mengenakan rok span dan sepatu wedges:

"Woyy... minggir-minggir, Janda Elite mau lewat! Buka jalan!"

Disusul suara ketawa renyah Tante Nani yang berjalan di samping dua pemuda berkaus ketat dan rambut cepak hasil potong 20 ribu di barbershop viral.

"Eh, Yoga, Aldi... sini deh duduk deket Tante... dingin ya di sini, tapi kalau deket kamu jadi hangat-hangat gimana gitu, hihi..."

Mereka lalu duduk di kursi sofa yang memang disediakan di sudut toko lantai bawah-seolah sudah paham fungsi sosial dari keberadaan toko ini. Di meja tengah, teh tarik dan kue lapis sudah disediakan oleh asistennya Tante Maya yang diam-diam juga mantan finalis Duta Herbal se-kecamatan.

Di sela-sela suara anak-anak yang mencoba mainan demo, dan tawa khas ibu-ibu muda yang menawar harga, suara Mbok Murni terdengar menggema:

"Nis, kamu masih betah ya kerja di sini? Nggak takut ketularan edan kita-kita ini? Hahaha!"

Anisa tersenyum simpul dari balik etalase, menekan struk pembelian sambil menjawab pelan, "Sudah kebal, Mbok. Kayaknya tiap hari aku malah belajar sabar."

"Sabar itu bagus, tapi jangan sampai kebablasan jadi pasrah loh, Nis," sahut Tante Nani sambil mengedip pada pemuda brondong di sebelahnya.

Tante Maya, yang baru turun dari lantai atas dengan kacamata hitam dan pashmina ungu, langsung menertawakan suasana.

"Eh, jangan bikin Anisa pusing pagi-pagi, ya! Dia itu brangkasku. Gak bisa diganggu! Palingan kalau hatinya yang minta digoyang, ya itu urusan dia sendiri, bukan?"

Tawa pecah. Anisa menunduk, pura-pura merapikan display mobil-mobilan, meski kupingnya jelas merona. Tapi dia sudah terlalu biasa dengan siulan nakal, kalimat ganda penuh makna, dan godaan ganjen yang bertebaran seperti glitter di udara dingin toko tersebut.

Namun di balik candaan mereka, ada getar lain yang hanya Anisa tahu: kadang ada yang lebih panas dari sinar matahari siang, dan lebih dingin dari AC toko lantai dua. Terutama ketika bisikan-bisikan itu perlahan berganti arah...

Dan dari kejauhan, saat Anisa menengok ke luar jendela, motor matic seseorang melintas pelan, masih mengenakan celana seragam SMA, berjaket jeans. Menoleh sekilas, tidak berhenti. Tapi cukup untuk membuat dada Anisa sedikit bergeser. 'Haikal,' bisiknya dalam hati.

Toko mainan berubah seperti panggung karnaval mini. Musik dangdut remix dari speaker kecil di pojokan diputar pelan tapi cukup untuk mengiringi gelak tawa rombongan janda elite yang tengah menyerbu toko seperti sedang fashion week dadakan.

Parfum mahal bercampur aroma body lotion kelapa dan rokok slim menthol memenuhi udara. Seorang brondong kurus tinggi sedang mencoba topi koboi mainan sambil bergaya di depan cermin.

"Eh Vano, jangan kayak gitu dong posenya... Tante bisa salah fokus tau!" goda Tante Tatik sambil mencubit manja pinggang Vano yang agak sedikit melenting ke depan.

Sementara itu, Tante Rani dan Mbok Rahayu sibuk mencoba boneka-boneka untuk hadiah keponakan mereka-atau pura-pura untuk keponakan, padahal ingin mengundang perhatian kasir ganteng di toko sebelah.

Di antara semua kegaduhan itu, Anisa berdiri seperti paku bumi. Tak tergoyahkan, walau senyumnya kerap kaku, matanya tetap fokus mencatat dan melayani pembeli sungguhan yang datang dan pergi di sela-sela kegilaan rombongan Ganjen.

"Eh Nis... suamimu yang ganteng itu masih tahan ya, punya istri secantik kamu tapi ditinggal kerja tiap hari?" suara Mbok Murni terdengar nyaring namun jelas penuh satir.

"Atau jangan-jangan, dia pasrah karena tahu kamu di sini udah jadi maskot toko Tante Ganjen?" celetuk Tante Nani, membuat tawa pecah kembali.

"Coba ya, kalau aku jadi Pian, udah aku gembok kamu di kamar, Nis!" seru Om Rano sambil tertawa. Dia satu-satunya duda yang maksa jadi anggota komunitas janda ganjen. Memang agak melambai tabiatnya.

Anisa hanya tersenyum simpul. Tangan tetap merapikan rak mobil-mobilan. Batinnya seperti sudah kebal, atau lebih tepatnya: tahu tak ada gunanya melawan derasnya godaan dari para senior yang lebih licin dari belut ditaburi bedak talk.

Akhirnya, setelah hampir dua jam "menyerbu" toko dengan tawa, siulan, dan godaan beracun, rombongan itu pun bersiap pergi. Brondong-brondong mereka sudah siap di motor, ada yang sambil menyulut rokok, ada pula yang sibuk membuka jok motor seperti hendak menjemput nasib.

"Udah Nis, kami pamit dulu. Mau ke... tempat yang sejuk," ujar Tante Maya sambil mengenakan kacamata hitam.

"Mau ngadem di air terjun atau di pelukan?" balas Anisa setengah menggoda.

Tawa mereka kembali meledak, kali ini benar-benar tumpah ruah seperti balon air. Tapi tak lama kemudian, suara mesin motor satu demi satu menghilang di kejauhan. Dan toko pun menjadi hening. Hanya AC yang menderu pelan. Suara jam dinding terdengar lebih keras. Anisa berdiri sendirian di balik etalase dan bayangan mimpi semabalm pun kembali mengusik.

Hari masih panjang. Langit masih terang. Tapi bayangan itu terus menempel seperti sudah tertanam kuat dalam jiwanya, padahal datang hanya sekilas, bahkan dengan susunan yang tidak terlalu jelas dan tidak logis.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY