dari arah kebun singkong, membawa aroma kayu bakar dari dapur-dapur warga yang baru saja selesai masak mak
sekarang nyaris tak pernah beroperasi. Di tengah lingkaran kecil itu, asap
seperti biasa, arah pembicaraan akhirnya melenceng ke hal-hal yang lebih "menggairahkan" buat merek
Pian tuh paling top dah rejekinya," celetuk
h?" sahut
lau bukan soal istrinya, si Anisa. Astaghfirullah, cakep,
pung ini, aku pikir dia orang kota yang cuma numpang tingg
rang kota, hehe," Mang Ucup menambahkan sambil tergelak, lalu buru-buru menyuruh maaf. "Ealah... maa
wa yang melecehkan. Lebih pada kek
bisik, "Pian itu kan ya biasa-biasa aja. Lha kok
u'udzon. Bisa jadi jodohnya emang rejeki nomplok. Tapi emang sih
daun kelapa di kejauhan. Malam terasa makin l
banget. Nggak pernah gosip, nggak suka dandan menor, tapi mal
an. Kalau ada Anisa lewat, banyak yang nunduk bukan karena takut, t
ungkap lebih jauh. Masing-masing sadar, ada batas antara kekaguman dan dosa hati. Tapi nama
*
para lelaki di pos ronda, berdiri sebuah rumah panggung tua
tangan dingin dalam "mengurus" banyak perkara. Ia bukan dukun, bukan pula ustaz, tapi nama
maram. Di depannya, duduk sepasang suami istri, wajah merek
pa arah di pasar, sementara istrinya, Murni, tampak lebih muda beberapa tahun,
tanya tajam mengamati gelagat tamunya. Ia baru saja meneguk kopi pahit y
Saya sama istri... mau minta petunjuk.
ngsung menjawab. Ia menatap Murni s
Rejeki? Atau... perihal perempuan?"
lu gagal. Hasil panen busuk, harga gak seberapa. Anak saya tiga, yang paling kecil masi
?" potong Bah Udin, masih den
dnya, Bah. Cuma... saya kepikiran, kalau Murni ini bisa... ya, tampil lebih 'terawat'... lebih 'menarik'... mungk
datang sendiri?" Bah Udin menggeram pelan. "Kamu
dalam. Murni menahan napas, tangan gdin mendesah panjang dan bersuara lagi,
rni serempak
aminya, yang minta langsung. Waktu mereka menikah, dia bilang: 'Bah, saya gak mau Anisa jadi perempuan yang biasa-biasa saja. Saya pe
natap Murni
a berjalan, cara menahan diri. Kalau kamu cuma pengen cantik biar dilirik lelak
Warno menatap istri
aksiat. Tapi bisa bikin Murni lebih... ya, lebih 'kelihatan' gitu.
an. Kali ini suaranya lebi
membangun wibawa. Abah bisa kasih air rukyah, bacaan untuk penguat batin, dan a
jenak. "Tapi s
Bah?" ta
but di belakang, dalam perkara yang memalukan.
m. Lalu dengan suara pelan, ia menjawab, "Iya,
egaskan kesungguhan niat keduanya Malam semakin pekat, dan ar
h ke titik terang, Bah Udin berdiri dan menepuk bahu Wa
gelap rumah panggung itu. Di balik tirai tipis yang mengayun ditiup angin malam
a, dan buku-buku tua bersampul usang, Bah Udin duduk
elaki bodoh. Kamu bukan benar-benar pengangguran. Tapi kamu su
in menghela napas panj
mau. Aura terpancar, wibawa naik, lelaki akan menyukai, perempuan akan ir
Warno bertanya pela
sini. Bisa sendiri, bisa juga sama kamu. Kalau siang biasa aja pulang, hanya malam aja.
.. Neng Anisa dan Pian
a Anisa dan Pian pun tak pernah tahu. Dan kamu lihat sendiri sekarang. Anisa bukan lagi perempuan biasa. Bahkan P
yang penuh beras, motor baru, anak-anak dengan seragam baru
rlalu jauh dan Murni tidak meninggalkan saya
Tapi kamu tenang saja. Tidak akan ada darah. Tidak akan ada tumba
bahkan tersenyum. B
unggu, langsung berdiri dan memandang suaminya dengan tatapan bertanya. Tap
rni ada semburat lega, dan di mata Warno tersirat euforia yang nyaris
ibirnya melengkung dalam senyum simpul yang menyimpan ribuan rahasia. Ia memandangi
ap," ujarnya sambil meng
adahal aku sendiri tidak terlalu kenal sama mereka, hehehe.
, membawa harum dupa yang
*

GOOGLE PLAY