an: jalan pagi sambil sesekali berlari kecil mengitari area perumahan. Udara segar,
keluar. Ia melambaikan tangan, lalu tersenyum s
n jilbab sporty yang membingkai wajahnya yang memang... tak bisa dipungkiri, menarik. Di usia muda itu, dia terlihat seperti so
cil dan melangkah mendekat. "Wah, Bu Midah ikut
berlapis. "Iya, Pak. Sesekali pengin nyoba lari beneran, bu
o pun tersenyum, walau matanya seperti
enekati enam. Dan boleh dibilang, tubuhku masih cukup terjaga. Tegap, dengan langkah yang mantap. Kalau berdiri di samping Hasto, y
h terlalu suka jalan pagi seperti ini. "Kaki Mama sudah nggak kuat," katanya. Tapi
kanan, Midah di kiri. Beberapa warga lain menyusul di belakang, t
karang naik dua ribu. Tapi sesekali, aku menangkap kerlingan mata Midah. Bukan genit. Bukan. Tapi... ada
ahku, dan berkata lirih, "Pak Arya, Bapak selalu kelihatan s
a. Aku hanya tersenyum sopan. "Hehe, y
lnya untuk memperlambat langkah, matanya sempat berpaut
nya aku yang terlalu sensitif setelah o
alan pagi hari itu terasa l
ng berjalan mendekat. Entah godaan, entah kebingungan. Tapi ya
iap akhir pekan. Beberapa anak kecil tengah bermain bola dengan penuh tawa, sementara di s
berkata, "Saya ke warung dulu, mau cari
usuri tepian lapangan menuju warung kecil di pojok komplek
ng. Seperti... sedang masuk ke dalam skenario yang bukan aku yang menulisnya. Seperti
saya jadi sering denger Bapak disebut sama suami. Katanya Bapak
sedang menyamarkan sesuatu y
njawab. Tapi jantungku be
dengar sendiri. Sudah lama dia seperti itu,"
membalas dengan keluhanku
namun menusuk, "Pak Arya... malah sebalikn
e
angku dengan tenang, seolah pertanyaannya
yata dia su
dahku kelu. Bagaimana mungkin dua orang dewasa berbicara soal... ini, di taman umu
t, nyaris tanpa suara, "Y
engusir rasa kikuk, ia berujar, "Mungkin kita semua cuma sedang berusaha j
. Tak tahu harus m
ong roti panggang dalam kantong plastik bening. Dia membagikannya dengan senyum sepert
. Tentang proyek drainase yang belum rampung. Tapi bagiku, kata-kata m
h ke mana. Antara perasaan bersalah dan penasaran,
k dan udara makin hangat,
nya. Bukan karena kelelahan fisik. Tapi karena ada sesuatu yang belum selesai d
dengan balutan busana muslim sederhana tapi rapi, aroma parfumnya samar menyapu ruang tam
anak laki-laki atau perempuan l
dia seneng sekali, memang sangat mengharap dapat
ek, kayaknya ingin di rumah aj
g tanganku sebelum melangkah keluar. Deru mo
juga pergi. Wajah Midah-tatapannya, senyumnya yang seolah mengandung banyak kata tak terucap-masih melayang-layang di
mbuka-buka majalah lama yang sudah kumal, lalu menggulir-gulir ponsel. Bukan untuk membalas sia
dah makin jelas di kepala, seperti lukisan yang belum selesai tapi sudah terlalu menggoda untuk tidak
ikasi masuk-dari
ini dari Mas Hasto. Saya minta maaf kalau uca
s menggenggam ponsel lebih er
seseorang. Tapi mungkin saya salah. Mohon m
embalas pesan ini bisa jadi awal dari sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Tapi di sisi lain... kalimat Midah itu terasa ju
a... ia tahu ini bisa terjadi. Atau
lam, berharap bisa jernih. Tapi yang teringat justru saat-saat pagi tadi-saat aku dan Midah duduiknya ya? Katanya Bu A
acam kode... semacam pintu kecil yan
san Midah masih ada di san
etik. Pelan. R
-sama... terlalu lama diam dengan beban yang tak kita b
gi. Berat. Tapi entah mengapa t
. Centang dua.
ak ada balasan. Tapi kini, bukan hanya bay
ng mulai mempertanyakan batas samar antara empati..
*