ti jembatan antara ketenangan Cendana dan hiruk pikuk metropolis yang ia tinggalkan. Pepohonan rindang di sepanjang jalan, deretan kafe de
api jendela besarnya menghadap ke arah kota yang sesekali diselimuti kabut tipis. Risa menata buku-bukunya, meletakkan beberapa lukis
em perkuliahan yang sedikit berbeda. Risa mengambil jurusan Filsafat lagi, kali ini dengan semangat yang membara, bukan lagi
badian yang blak-blakan, mirip Risa yang dulu. Mereka dengan cepat menjadi akrab. Ada juga Rio, seorang mahasiswa cerdas dan sedikit pendiam yang selalu d
in mencari suasana baru. Ia tahu, suatu hari ia mungkin harus menceritakannya, tapi untuk saat ini, ia ingin fokus
untuk berpikir kritis dan berani berargumen. Risa, yang kini lebih matang dan bijaksana, tidak lagi canggung. Ia aktif di kelas, berani bertanya, dan seri
yang tersembunyi. Ia juga bergabung dengan komunitas pecinta buku dan sering menghabiskan sore di perpustakaan kota
-Bayang yang Ta
an. Hampir dua tahun telah berlalu sejak kepergian Risa, namun rasa bersalah itu tidak pernah surut. Sebali
a, atau yang duduk di barisan tengah dengan buku catatan rapi, bayangan Risa selalu muncul. Ia seringkali tanpa sadar mencari akun
melankolis. Ia jarang tersenyum lebar, dan tawa renyahnya telah lenyap. Rekan-rekan dosennya, termas
tu hari, saat mereka makan siang bersama. "Aku
annya, Pak Dimas. Risa. Aku tidak tahu bagaimana kea
mengerutkan kening. "Atau me
penuhnya jujur padanya. Aku membiarkan dia berpikir bahwa aku bisa mencinta
u yang terpenting. Penyesalan itu wajar, tapi jangan biarkan penye
aafkan dirinya sendiri. Ia tahu ia harus melanjutkan hidup, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga un
n dan Pe
galami kesulitan, dan menjadi mentor yang lebih mendalam bagi mereka. Ia seringkali memberikan nasihat tentang pentingnya komunikasi yang jujur dalam sebuah hubungan,
esalan, dan tentang proses penyembuhan. Ia mempublikasikan beberapa esainya di blog pribadinya, dan tanpa disangka, tulisan-tulisann
li menggunakan metafora tentang "gadis yang pergi", "cahaya yang padam", atau "janji yang tak
ya. Ia memegangnya erat. Dulu, gelang itu adalah pengingat akan cinta yang hilang, sebuah jimat kesedihan. Tapi kini, ia melihatnya d
ngan keindahan, dan membiarkan kenangan itu menjadi kekuatan, bukan beban. Ia menyadari bahwa ia telah memb
mbol kesedihan, melainkan sebagai tanda b
akdir yang
edang sibuk dengan skripsinya. Ia berencana untuk melanjutkan studi S2 atau bekerja di l
Bandung, mengerjakan tugas. Risa sedang fokus membaca jurnal di laptopny
lnya. "Aku nemu blog ini, tulisannya bagus banget. Dia dosen
ma ia singkirkan dari pikirannya, kini kembali muncul. I
Risa, mendek
mpang. Ada sebuah foto profil yang buram, tapi Risa bisa mengenali siluet Bima. Ia membaca judu
ul "Gadis yang Pergi". Hatinya menc
Aku menyakitinya, tanpa ia sadari, dan ia pergi. Pergi tanpa jejak, meninggalkan aku dengan penyesalan yang tak berkesudahan. Aku berharap, di mana pun ia berada, ia telah menemukan k
melainkan air mata pemahaman. Bima menyesal. Ia benar-benar menyesal. Dan ia telah berub
?" tanya Ayu khaw
matanya. "Nggak apa-apa, Yu. Cu
a tidak pernah melupakannya. Dan yang lebih p
Benan
Ia tahu ia butuh waktu untuk mencerna semua ini. Ia telah melalui perjalanan panjang
g punya caranya sen
r bagus! Departemen kita bakal mengadakan seminar nasional, dan salah satu pembicara utamanya itu Pak Bima Putra Wicaksono
Bima. Di kampusnya. Sebagai pembicara utam
k menghadapi masa lalu, tapi apakah ia benar-benar siap? Ia sudah kuat, ia tahu itu. T
n raut wajah Risa, bertanya
pus lama," jawab Risa, jujur tapi tidak sepenuhnya. Ia
Wah, keren dong! Kamu bisa min
Bima akan mengenalinya? Apakah ia akan melihat perubahan pada Risa? Apakah Bima akan meminta maaf? Da
k sedikit lebih kurus, ada kerutan samar di sekitar matanya, tapi auranya jauh lebih tenang, lebih matang, dan entah mengapa, lebih memancarkan kede
ujuran adalah kunci untuk sebuah penyembuhan. Ia tidak secara eksplisit menceritakan kisah pribadinya, namun Risa tahu,
akan kemarahan atau kebencian. Yang ia rasakan hanyalah empati. Bima
tanya dan berinteraksi dengan Bima. Risa berdiri di barisan paling belak
rhenti. Pandangannya terpaku pada Risa. Ada keterkejutan di matanya, keraguan, dan kemudian sebuah kilatan pengakuan. Senyu
Ini dia. Momen yang ia tunggu-tunggu, dan
swa di hadapannya, dan perlahan berjalan mendekati R
uaranya sedikit serak
mulai menggenang di pelupu
gin memastikan bahwa ini bukan mimpi. Risa yang dulu ceria, kini berdiri di hadapannya sebagai wani
nta maaf, Risa. Maaf untuk semuanya. Maaf karena aku tidak jujur. Maaf karena aku menyakitim
arena sakit, tapi karena kelegaan. Bima te
"Aku... aku sudah memaafkanmu. Aku sudah belajar ba
Terima kasih karena sudah mengajariku arti kejujuran. Terima kasih karena sudah
Hanya ada dua jiwa yang pernah terluka, kini berdiri di hadapan satu sama lain, saling memaafkan dan saling
ima," kata Risa, akhirn
.. senang melihatmu lagi. Kamu
lama tidak ia tunjukkan pada Bima. "Aku
gi. Ia tahu, babak itu telah berakhir. Perjodohan, cinta sepihak, dan kebohongan itu kini hanyalah ba
ran berharga yang ia bawa dari setiap luka dan setiap proses penyembuhan. Ia tidak lagi ga