Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cinta Yang Penuh Rahasia
Cinta Yang Penuh Rahasia

Cinta Yang Penuh Rahasia

5.0

Risa menemukan dirinya terjerat dalam pesona Bima, seorang dosen muda di kampusnya. Perasaan ini tumbuh subur di hati Risa, meskipun ia tahu hubungan semacam itu tidak seharusnya terjadi. Hingga suatu hari, takdir berkata lain; Risa dijodohkan dengan Bima. Kebahagiaan Risa meluap-luap, seolah mimpinya menjadi kenyataan. Namun, sayangnya, Bima tidak merasakan hal yang sama. Ia menyembunyikan banyak kenyataan pahit di balik senyumannya, rahasia yang ia tutupi rapat-rapat dari Risa. Seketika, semua kebenaran yang selama ini disembunyikan Bima terungkap. Kenyataan itu menghantam Risa dengan telak, mengubah gadis periang itu menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Dengan kesadaran penuh dan hati yang hancur, Risa memutuskan untuk pergi. Ia meninggalkan Bima tanpa jejak, menghilang begitu saja dari kehidupannya. Kepergian Risa meninggalkan lubang besar di hati Bima, menggempurnya dengan rasa penyesalan yang tak berkesudahan selama bertahun-tahun.

Konten

Bab 1 Di Antara Buku dan Hati

Langit Jakarta sore itu berwarna jingga pekat, memudar perlahan menjadi ungu kebiruan. Risa memandangnya dari jendela perpustakaan kampus, tangannya memegang pena yang tak bergerak di atas buku tebal. Harusnya ia fokus pada teori filsafat yang rumit di hadapannya, tapi pikirannya melayang jauh, menceritakan kembali momen-momen kecil yang selalu sukses membuatnya tersenyum sendiri. Namanya Bima, dosen muda yang mengajar mata kuliah Metodologi Penelitian di jurusannya.

Sejak pertama kali melihatnya tiga bulan lalu, pada hari orientasi mahasiswa baru, Risa sudah merasakan getaran aneh. Bima bukan tipe dosen yang kaku atau menakutkan. Ia punya senyum hangat yang selalu menular, tatapan mata yang tajam namun menenangkan, dan cara menjelaskan materi yang selalu berhasil membuat topik paling membosankan sekalipun terdengar menarik. Rambut hitamnya kadang sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia mungkin baru saja mengacak-acaknya saat berpikir keras. Kemeja rapi yang sering ia kenakan seolah kontras dengan kepribadiannya yang santai dan humoris.

Risa adalah mahasiswi yang ceria, penuh semangat, dan mudah bergaul. Ia punya banyak teman, sering terlibat dalam kegiatan kampus, dan dikenal karena tawa renyahnya yang sering mengisi koridor. Namun, di hadapan Bima, ia seringkali berubah menjadi sedikit kikuk. Kata-kata yang biasanya mengalir lancar tiba-tiba macet di tenggorokannya, senyumnya terasa kaku, dan jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia mencoba menyembunyikan perasaannya, berpura-pura bersikap biasa saja, layaknya mahasiswi pada umumnya yang menghormati dosennya. Tapi, dalam hati kecilnya, Risa tahu itu lebih dari sekadar rasa hormat. Itu adalah rasa suka yang perlahan tumbuh menjadi bibit-bibit cinta.

Setiap hari Selasa dan Kamis adalah hari favorit Risa. Bukan karena mata kuliahnya ringan, justru sebaliknya. Hari-hari itu adalah jadwal mata kuliah Bima. Risa selalu datang lebih awal, memilih kursi di barisan tengah agar bisa melihat Bima dengan jelas tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia mencatat setiap kata yang diucapkan Bima, bukan hanya materi kuliah, tapi juga lelucon ringan yang ia selipkan atau anekdot pribadi yang kadang ia ceritakan. Suara Bima yang berat namun menenangkan selalu berhasil menenggelamkan Risa dalam khayalan-khayalan manisnya.

Ada satu insiden kecil yang semakin memperkuat perasaannya. Saat itu, Risa sedang buru-buru menuruni tangga dari lantai tiga. Tangannya penuh dengan buku dan laptop. Tanpa sengaja, kakinya tersandung dan ia hampir terjatuh. Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh menahannya dari belakang. Itu adalah Bima.

"Hati-hati, Risa," katanya dengan senyum khawatir. "Banyak-banyak bawa barang, ya? Lain kali bisa minta tolong teman."

Risa hanya bisa mengangguk, pipinya merona merah. Jarak mereka begitu dekat, ia bisa mencium aroma parfum Bima yang maskulin dan segar. Jantungnya berpacu lebih kencang dari biasanya. Sejak saat itu, setiap kali mereka berpapasan di koridor, senyum Bima selalu terasa lebih hangat, seolah ada ikatan tak terlihat yang terbentuk di antara mereka.

Dunia yang Berputar di Sekitar Bima

Perasaan Risa terhadap Bima semakin dalam seiring berjalannya waktu. Ia mulai memikirkan Bima di luar jam kuliah. Setiap lagu cinta yang didengarnya seolah bercerita tentang perasaannya. Setiap film romantis yang ditontonnya terasa seperti cerminan keinginannya. Teman-temannya, Sarah dan Dino, sering menggodanya.

"Udah, Ris, ngaku aja," goda Sarah suatu siang di kantin, sambil menyikut lengannya. "Dari cara lo ngelihat Pak Bima, udah jelas banget."

Dino menambahkan, "Iya, Ris. Mata lo kayak ada bintang-bintangnya gitu kalau udah bahas Pak Bima."

Risa hanya tertawa malu, mencoba menyangkal dengan lemah. "Apaan sih kalian! Aku kan cuma kagum sama cara ngajarnya."

Tapi ia tahu, mereka benar. Ia tidak bisa lagi menyangkalnya. Kekaguman itu sudah berevolusi menjadi sesuatu yang lebih kuat, lebih dalam, dan lebih memabukkan.

Risa mulai mencari tahu lebih banyak tentang Bima. Ia mengikuti akun media sosial kampus, berharap ada informasi tentang Bima. Ia pernah mencoba mencari nama Bima di internet, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengobati rasa penasarannya. Namun, Bima adalah orang yang cukup tertutup di dunia maya. Tidak ada akun pribadi yang ia temukan, hanya beberapa artikel mengenai kontribusinya dalam penelitian kampus atau seminar yang ia ikuti. Hal itu justru membuat Risa semakin penasaran. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Bima, bukan hanya sebagai dosen, tetapi sebagai seorang pria.

Ia seringkali sengaja mencari alasan untuk bisa berinteraksi dengan Bima di luar jam kuliah. Misalnya, ia akan pura-pura bertanya tentang materi yang tidak ia pahami (padahal ia sudah sangat memahaminya), atau meminta rekomendasi buku. Bima selalu menjawab dengan sabar, menjelaskan dengan detail, dan sesekali melempar senyum yang selalu berhasil membuat Risa salah tingkah.

Suatu sore, Risa memberanikan diri untuk mengantarkan tugas kelompok secara langsung ke ruang dosen, padahal teman kelompoknya sudah bersedia mengantarkan. Ia berharap bisa bertemu Bima secara pribadi, tanpa hiruk-pikuk kelas. Dan harapannya terkabul. Bima sedang duduk di mejanya, membaca sebuah jurnal.

"Permisi, Pak," sapa Risa pelan.

Bima mendongak, senyum tipis terukir di bibirnya. "Oh, Risa. Ada apa?"

"Ini, Pak. Tugas Metodologi Penelitian dari kelompok saya," kata Risa, menyerahkan map. Tangannya sedikit gemetar.

"Terima kasih, Risa," Bima mengambil map itu. "Sudah dicek lagi isinya?"

"Sudah, Pak."

Ada keheningan singkat. Risa merasa jantungnya berdetak seperti drum. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa saja, agar percakapan ini tidak berakhir terlalu cepat.

"Pak," Risa akhirnya memberanikan diri. "Saya mau tanya sedikit tentang tugas akhir nanti. Kira-kira topik apa yang sedang menarik untuk diteliti di bidang kita, ya?"

Bima tampak berpikir sejenak. "Hmm, kalau untuk sekarang, topik tentang 'Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja' cukup menarik, Risa. Atau 'Peran Teknologi dalam Membangun Literasi Digital Masyarakat Pedesaan'. Banyak sekali sebenarnya, tergantung minat kamu. Kamu sendiri ada ketertarikan pada bidang apa?"

Risa mendengarkan dengan saksama, matanya terpaku pada Bima. Ia suka bagaimana Bima serius membahas topik penelitian, menunjukkan betapa berdedikasinya ia pada bidangnya. "Saya... saya tertarik pada yang berkaitan dengan sosial dan masyarakat, Pak," jawab Risa, sedikit malu karena merasa jawabannya terlalu umum.

Bima tersenyum lagi. "Bagus itu. Nanti kalau ada ide spesifik, jangan sungkan diskusikan dengan saya, ya."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak."

Risa pamit dengan perasaan campur aduk antara senang dan sedikit kecewa karena percakapan itu harus berakhir. Namun, ia merasa ada secercah harapan. Bima sepertinya tidak keberatan dengan kehadirannya, bahkan ia mengundang Risa untuk berdiskusi lagi. Itu sudah cukup untuk membuat hati Risa berbunga-bunga.

Badai di Balik Kebahagiaan

Beberapa minggu kemudian, kabar mengejutkan datang menghantam Risa dan keluarganya. Setelah sekian lama, orang tua Risa, yang memang memiliki hubungan baik dengan keluarga besar mereka, menyampaikan sebuah berita yang membuat Risa terhenyak.

"Risa, Sayang," ujar ibunya suatu malam, di meja makan. "Ada kabar baik. Kamu tahu Om Surya, kan?"

Risa mengangguk. Om Surya adalah sahabat karib ayahnya sejak kuliah, seorang pengusaha sukses dengan jaringan bisnis yang luas. Risa jarang bertemu dengannya, tapi ia tahu Om Surya punya seorang putra yang seumuran dengannya.

"Om Surya dan Papa sudah lama bicara, dan mereka punya keinginan untuk menjodohkan kamu dengan putranya."

Jantung Risa serasa berhenti berdetak. Dijodohkan? Di zaman modern seperti ini? Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan mengalami hal seperti itu. Ia selalu berpikir akan jatuh cinta, berpacaran, lalu menikah dengan pilihannya sendiri.

"Siapa, Bu? Putra Om Surya yang mana?" tanya Risa, suaranya tercekat. Ia punya firasat buruk.

Ayahnya tersenyum hangat. "Putranya Om Surya yang dosen itu, Sayang. Bima Putra Wicaksono."

Dunia Risa terasa berputar. Bima? Dijodohkan dengan Bima? Ini pasti mimpi, atau ia salah dengar. Nama lengkap Bima, Bima Putra Wicaksono, tiba-tiba terdengar sangat familier. Selama ini ia hanya memanggilnya Pak Bima, tidak pernah terlalu memperhatikan nama lengkapnya. Ternyata, dia adalah putra dari sahabat ayahnya.

Seketika, pipi Risa memerah, bukan karena malu atau kesal, tapi karena kebahagiaan luar biasa. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan! Pria yang selama ini ia cintai dalam diam, yang ia dambakan, kini akan menjadi calon suaminya? Ini adalah keajaiban!

"Beneran, Pa? Bu?" Risa tidak bisa menahan senyum lebar yang merekah di wajahnya. Ada campuran antara rasa tak percaya, kaget, dan euforia yang membanjirinya.

Orang tuanya tertawa melihat reaksi Risa. "Iya, Sayang. Kenapa? Kamu sudah kenal?" tanya ibunya.

"Dia dosen Risa di kampus, Bu," jawab Risa, suaranya terdengar cicitan. Ia merasa sangat bahagia, hingga rasanya ingin berteriak dan memeluk seluruh dunia.

Keluarga Bima dan keluarga Risa memang sudah sangat akrab. Mereka sering bertemu di acara-acara keluarga besar, hanya saja Bima dan Risa tidak pernah berinteraksi secara intens karena perbedaan usia yang cukup signifikan (Bima lebih tua delapan tahun dari Risa) dan kesibukan masing-masing. Bima sudah menyelesaikan studinya di luar negeri dan langsung mengajar, sementara Risa masih mahasiswa baru saat itu.

Sejak hari itu, kehidupan Risa berubah 180 derajat. Ia berjalan di kampus dengan senyum yang tak pernah pudar. Setiap kali bertemu Bima, entah itu di koridor atau di ruang kelas, ia merasa ada percikan kebahagiaan yang membakar jiwanya. Ia bahkan berani sedikit lebih santai dan menunjukkan jati dirinya yang ceria di hadapan Bima, karena ia merasa bahwa status mereka akan segera berubah.

Beberapa hari setelah pengumuman perjodohan, Bima mengunjungi rumah Risa bersama orang tuanya untuk acara makan malam keluarga. Suasana canggung sempat menyelimuti Risa di awal, tapi kebahagiaannya lebih besar dari rasa canggung itu. Ia melihat Bima dalam balutan kemeja batik yang rapi, tampak sangat tampan.

"Jadi, kamu sering menyusahkan Pak Bima di kampus, ya, Risa?" canda Ayah Bima, membuat semua orang tertawa.

Risa hanya tersenyum malu, melirik Bima yang juga tersenyum tipis. Senyum itu, pikir Risa, adalah senyum persetujuan. Senyum yang mengatakan bahwa Bima juga bahagia dengan perjodohan ini. Ia merasa sangat yakin bahwa Bima pun merasakan hal yang sama dengannya.

Malam itu, mereka berdua bahkan sempat berbincang santai di teras belakang. "Gimana kuliahnya, Risa?" tanya Bima, suaranya tenang seperti biasa.

"Baik, Pak... eh, Kak Bima," Risa memperbaiki panggilan, pipinya merona. "Lumayan menantang. Tapi Risa suka."

Bima mengangguk. "Baguslah kalau begitu. Dosennya galak-galak, ya?" Ia menggodanya.

Risa tertawa. "Enggak semua kok, Kak. Ada yang baik banget," katanya sambil melirik Bima, mencoba memberikan isyarat halus.

Bima hanya tersenyum simpul, matanya menatap ke arah taman. Risa merasa ada sesuatu yang aneh. Senyum Bima tampak sedikit hampa, dan tatapannya tampak jauh. Tapi Risa mengabaikannya. Mungkin Bima hanya lelah, atau ia memang tipe orang yang tidak terlalu ekspresif. Risa terlalu larut dalam kebahagiaannya sendiri untuk memperhatikan detail-detail kecil itu. Ia percaya, cinta akan tumbuh di antara mereka. Bukankah banyak pasangan yang dijodohkan akhirnya saling mencintai?

Rahasia di Balik Senyum Bima

Hari-hari berlalu. Perjodohan mereka mulai santer terdengar di kalangan keluarga besar. Persiapan mulai dilakukan, meskipun masih dalam tahap awal. Risa merasa di awang-awang. Ia seringkali memimpikan masa depannya bersama Bima: membangun keluarga, mengurus rumah, mungkin memiliki anak-anak lucu yang mewarisi senyum Bima.

Namun, di tengah kebahagiaannya yang meluap-luap, ada satu hal yang terus mengganjal. Bima tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang sama dengannya. Ia memang bersikap ramah, seperti biasa. Kadang-kadang ia akan mengirimkan pesan singkat untuk menanyakan kabar atau sekadar mengingatkan jadwal pertemuan keluarga. Tapi tidak pernah ada nada romantis, tidak ada pujian, tidak ada sentuhan-sentuhan kecil yang seharusnya ada di antara dua orang yang akan menikah.

Risa berusaha mencari pembenaran. "Mungkin Bima adalah tipe orang yang tidak ekspresif," pikirnya. "Mungkin dia ingin menjaga jarak karena statusnya sebagai dosen." Ia mencoba menepis keraguan yang sesekali muncul di benaknya. Ia tidak ingin kebahagiaannya rusak oleh hal-hal kecil.

Suatu sore, Risa berpapasan dengan teman Bima, seorang dosen senior bernama Pak Dimas. Mereka sempat mengobrol sebentar.

"Oh, Risa," kata Pak Dimas. "Sudah lama sekali tidak melihat Bima seceria ini. Kamu punya dampak yang baik untuknya."

Risa terkejut. "Se-ceria ini, Pak?"

Pak Dimas mengangguk. "Iya. Dia kan dulu... ah, sudahlah. Intinya, dia sekarang terlihat lebih baik. Kamu beruntung mendapatkan Bima. Dia pria yang baik, hanya saja dulu ia pernah menghadapi masa-masa sulit."

Risa penasaran. "Masa sulit apa, Pak?"

Pak Dimas tampak ragu-ragu. "Bima pernah punya tunangan, Risa. Namanya Clara. Mereka sudah bersama sejak kuliah, bahkan berencana menikah. Tapi Clara meninggal karena kecelakaan mobil setahun yang lalu. Itu sangat memukul Bima. Dia sempat menarik diri dari segalanya. Kita semua khawatir."

Dunia Risa runtuh. Clara. Nama itu menggaung di kepalanya. Jadi, Bima pernah mencintai orang lain? Dan orang itu... meninggal? Mengapa Bima tidak pernah bercerita? Mengapa keluarga Bima tidak pernah menyinggung hal ini?

Rasa sakit yang tajam menusuk hati Risa. Bukan karena cemburu pada mendiang Clara, tapi karena fakta bahwa Bima menyembunyikan hal sebesar itu darinya. Ia akan menjadi istrinya! Bukankah seharusnya ada kejujuran di antara mereka? Ia merasa bodoh, begitu buta oleh kebahagiaan semu.

Sepulang dari kampus, Risa langsung mencari tahu tentang Clara. Dengan mudah ia menemukan berita duka setahun lalu tentang kecelakaan yang menewaskan seorang wanita bernama Clara Anindita, seorang seniman muda berbakat. Ada foto-foto Bima di sana, dengan wajah yang begitu terpukul, menatap kosong ke arah makam. Di beberapa foto, Bima terlihat memegang sebuah gelang perak dengan liontin hati.

Rasa dingin merayapi tubuh Risa. Semua kebahagiaannya lenyap dalam sekejap, digantikan oleh kekecewaan yang mendalam dan perasaan dikhianati. Selama ini, ia membangun istana pasir di atas kebohongan. Bima tidak mencintainya. Ia tahu itu sekarang. Bima hanya menerimanya karena perjodohan ini, mungkin karena ia lelah dengan kesendiriannya, atau mungkin karena keluarganya mendesak.

Ia mulai mengingat kembali semua interaksi mereka. Senyum Bima yang hampa, tatapan matanya yang jauh, ketiadaan sentuhan hangat. Semua itu kini memiliki makna yang mengerikan. Bima tidak pernah benar-benar ada bersamanya. Pikirannya, hatinya, masih tertambat pada Clara.

Risa merasa bodoh. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari tanda-tanda itu? Bagaimana mungkin ia begitu dibutakan oleh perasaannya sendiri hingga tidak melihat kenyataan pahit di depan mata? Rasa malu membakar pipinya.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Perubahan dan Keputusan Tak Terbantahkan

Semenjak hari itu, Risa yang periang, ceria, dan penuh tawa seolah menghilang ditelan bumi. Gadis yang dulu selalu tersenyum itu kini berubah menjadi pendiam. Tawanya tak terdengar lagi. Senyumnya hanya tipis, seolah dipaksakan. Ia sering menyendiri, menghabiskan waktu di perpustakaan atau di kamarnya, merenung dalam diam. Teman-temannya, Sarah dan Dino, tentu saja menyadari perubahan ini.

"Risa, kamu kenapa?" tanya Sarah suatu malam saat mereka sedang belajar kelompok. "Kok beda banget akhir-akhir ini? Ada masalah?"

Risa hanya menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, kok, cuma lagi banyak pikiran aja."

Dino menatapnya curiga. "Pikiran apa? Cerita aja, Ris. Siapa tahu kita bisa bantu."

Risa hanya tersenyum pahit. Bagaimana ia bisa menceritakan bahwa kebahagiaan yang selama ini ia agung-agungkan ternyata adalah fatamorgana? Bahwa pria yang ia cintai ternyata masih mencintai mendiang tunangannya dan menyembunyikan semua itu darinya? Rasa malu dan sakit terlalu besar untuk dibagikan.

Pertemuan keluarga dengan Bima dan keluarganya masih terus berlangsung, namun Risa kini datang dengan hati yang hampa. Ia berusaha keras menampilkan wajah ceria, senyum yang dipaksakan, dan obrolan ringan yang terasa seperti beban berat. Bima, di sisi lain, tampak seperti biasa. Mungkin ia tidak menyadari perubahan Risa, atau ia memang tidak peduli. Itu justru semakin melukai Risa.

Suatu malam, Risa melihat sebuah foto lama di ponsel Bima saat ia tidak sengaja melirik. Bima sedang tertawa bahagia, memeluk seorang wanita cantik berambut panjang. Wanita itu mengenakan gelang perak dengan liontin hati yang sama persis dengan yang ia lihat di foto-foto pemakaman Clara. Foto itu diambil di sebuah taman bunga yang indah. Tatapan mata Bima pada wanita itu penuh cinta, sesuatu yang tidak pernah Risa lihat saat Bima menatapnya.

Air mata Risa tumpah. Hatinya remuk redam. Ia merasa seperti pecundang. Betapa naifnya ia selama ini. Kebahagiaan Bima saat bersamanya adalah ilusi. Bima tidak bahagia. Ia hanya sedang melanjutkan hidup, mungkin demi keluarganya, mungkin demi menjaga nama baik. Tapi bukan karena ia mencintai Risa.

Malam itu, Risa membuat keputusan besar. Keputusan yang sangat sulit, tapi ia tahu itu adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari kehancuran yang lebih dalam. Ia tidak bisa hidup dalam kebohongan. Ia tidak bisa membangun rumah tangga di atas puing-puing cinta yang bukan miliknya.

Dengan kesadaran penuh, Risa tahu ia harus pergi.

Pagi-pagi sekali, saat fajar baru menyingsing dan kota masih terlelap, Risa meninggalkan sebuah surat di meja makan untuk kedua orang tuanya. Tas punggungnya sudah ia siapkan semalam. Di dalamnya hanya ada pakaian seadanya, beberapa buku, dan dompet kecil. Ia tidak membawa ponselnya. Ia ingin memutuskan semua kontak, semua jejak yang bisa menghubungkannya dengan kehidupan lama, dengan Bima.

Langkah kakinya terasa berat, namun hatinya dipenuhi tekad yang membara. Ia memanggil taksi daring dan melaju menuju stasiun kereta. Tujuannya adalah sebuah kota kecil di ujung pulau Jawa, tempat bibinya tinggal. Bibinya adalah seorang pelukis yang hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota. Risa pernah menghabiskan liburan musim panas di sana dan ia tahu, di sanalah ia bisa menemukan ketenangan.

Di dalam kereta, Risa menatap keluar jendela, membiarkan pemandangan hijau yang berarak menghapus air mata yang tak henti mengalir. Ia membiarkan hatinya menangis untuk semua kebahagiaan yang semu, untuk semua impian yang hancur, dan untuk cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ia tahu keputusannya ini akan menyakiti banyak orang, terutama orang tuanya. Tapi ia tidak bisa melanjutkan sandiwara ini. Ia tidak bisa menjadi pengganti, atau bayangan dari cinta yang telah pergi.

Risa tahu Bima mungkin akan terkejut, marah, atau bahkan lega. Ia tidak peduli lagi. Yang ia pedulikan adalah dirinya sendiri, hatinya yang perlu disembuhkan, dan jiwanya yang perlu menemukan kedamaian.

Ia akan memulai hidup baru, di tempat baru, tanpa Bima, tanpa bayang-bayang Clara, dan tanpa jejak apapun yang bisa menghubungkannya dengan masa lalu yang penuh kepedihan itu. Ia akan menghilang, sepenuhnya. Ia akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri lagi, dan mungkin, suatu hari nanti, ia bisa kembali menjadi Risa yang periang dan penuh tawa. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin pergi. Pergi sejauh mungkin.

Di sisi lain kota, Bima terbangun seperti biasa. Ia bersiap untuk mengajar, minum kopi, dan mengecek ponselnya. Tidak ada pesan dari Risa. Itu tidak aneh, karena Risa tidak selalu mengiriminya pesan. Namun, ketika ia pergi ke dapur dan melihat orang tua Risa panik mencari putri mereka, hatinya langsung mencelos. Sebuah surat dari Risa tergeletak di meja, hanya beberapa baris tulisan tangan yang rapi namun penuh kepedihan.

Untuk Papa dan Mama,

Maafkan Risa. Risa tidak bisa melanjutkan ini. Risa butuh waktu untuk sendiri, untuk menyembuhkan diri. Jangan cari Risa. Risa akan baik-baik saja. Suatu hari nanti, Risa akan kembali.

Dengan cinta dan maaf,

Risa.

Bima mengambil surat itu dari tangan Ayah Risa yang gemetar. Matanya membaca tulisan itu berulang kali. Tidak ada nama Bima di sana. Tidak ada penjelasan. Hanya sebuah kepergian tanpa jejak. Sebuah kepergian yang begitu tiba-tiba, begitu sunyi, namun menghantamnya seperti palu godam.

Ia merasa kosong. Ada kekosongan yang tiba-tiba melanda dirinya. Apakah ini tentang perjodohan? Apakah Risa tidak bahagia? Ia tahu ia tidak mencintai Risa seperti ia mencintai Clara. Ia tahu ia masih menyimpan Clara di sudut hatinya. Ia tahu ia hanya menerima perjodohan ini karena ingin mencoba melanjutkan hidup, karena keluarganya terus mendesak, karena Risa adalah gadis yang baik dan ceria. Ia pikir, seiring waktu, ia bisa belajar mencintai Risa. Ia pikir, Risa akan mengerti.

Tapi Risa tidak menunggu. Risa pergi.

Rasa penyesalan mulai merayapi hati Bima. Penyesalan karena tidak jujur sepenuhnya. Penyesalan karena mungkin telah menyakiti Risa tanpa ia sadari. Penyesalan karena telah membiarkan bayangan masa lalu menghalangi kebahagiaan yang mungkin bisa tumbuh.

Ia mencoba menghubungi Risa, tapi nomornya tidak aktif. Ia mencari tahu ke teman-teman Risa, tapi tidak ada yang tahu kemana Risa pergi. Risa benar-benar menghilang, seperti ditelan bumi.

Ruangan Risa kosong, kecuali beberapa barang yang sengaja ditinggalkan. Di atas meja belajarnya, ada sebuah buku filsafat yang terbuka. Di sebelahnya, ada selembar kertas dengan tulisan tangan Risa. Bukan materi kuliah, melainkan sebuah puisi pendek.

Pada setiap senyum yang kupaksakan,

Ada hati yang perlahan hancur.

Pada setiap tatapmu yang hampa,

Kutemukan diriku yang tak nyata.

Kau tak pernah tahu lukaku,

*Tersembunyi di balik tawa.

Kau tak pernah melihat air mataku,

Mengering di dasar jiwa.

Maka kubiarkan langkah ini pergi,

Menghapus jejak yang pernah ada.

Mencari cahaya di ujung sepi,

Meninggalkan cinta yang sia-sia.

Bima membaca puisi itu berulang kali, hatinya mencelos. Ia tidak pernah tahu. Ia tidak pernah menyadari seberapa dalam Risa terluka. Ia terlalu sibuk dengan kesedihannya sendiri, dengan bayangan Clara, hingga ia buta akan perasaan gadis di hadapannya.

Penyesalan itu kini berubah menjadi beban berat di pundaknya. Bima tahu, kepergian Risa akan menghantuinya selama bertahun-tahun. Ia kehilangan bukan hanya calon istrinya, tapi juga seorang gadis yang tulus mencintainya, dan yang kini telah pergi, membawa serta senyum dan tawa yang pernah ia miliki. Ia tidak tahu kapan, atau apakah Risa akan kembali. Yang ia tahu, ia telah menyakiti seseorang yang tidak pantas disakiti. Dan itu adalah kesalahan terbesarnya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Setelah pertemuan   06-19 14:50
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY