*
a enak, Leon.
yang. Sebe
jelas memenuhi kamar pribadi Leon Hale, se
k akan pernah menyangka bahwa di balik pintu kamarnya seda
, kekasihnya sekaligus calon tunangannya
sihnya ternyata mengkhianatinya. Hari ini seharusnya ia ada syuting iklan di Paris, tapi semua jadwalnya me
ia menyakinkan dirinya. Ia dengan sekuat hati membuka pintu kamar itu
berdiri di depan kamar yang seharusnya kosong. Leon Hale, pria yang selama ini membuat hatinya beecemasan yang kian mencengkeram. Namun, rasa penasaran dan kekhawatiran yang lebih besar mendoron
lahan menjadi jelas. Di sana, di tengah ruangan yang remang, di atas ranjang yang seharusnya menjadi tempat istirahat suci bagi mereka kelak yang akan menjadi s
k mengeluarkan suara, bahkan sekadar memanggil nama Leon. Hatinya seperting temaram. Anastasia merasa dunianya runtuh seketika. Wanita itu bukan orang asing. Ia adalah Elora Vivia
orang di atas ranjang tersentak. Leon langsung memandang ke arah pintu dengan keterkeju
buh polosnya. Wajahnya berubah pucat pasi, seakan-akan darah di tubuhn
rutama di depan Elora. "Tidak seperti yang aku pikirkan?" Anastasia mengulangi kata-kata itu dengan nada sinis, suaranya sarat dengan rasa
ala, menghindari tatapan tajam Anastasia. Ia tidak menyangka kalau kekasi
da-tanda penyesalan. Malah, ia tersenyum
mengundangmu lebih awal, Anastasia. Kamu bisa ikut bergabung dengan kami, mungkin? Kekasihmu itu lebih bahagia denga
mparan pada wanita yang pernah ia panggil saudara. "Kamu sungguh tidak tahu malu, Elora! Nikmati saja, aku tak peduli," katanya dengan su
tangan Anastasia. "Anastasia
aku muak disentuh oleh tangan kotormu!" Ia menatap keduanya dengan tatapan yang menyala penuh kebencian, meskipun air
itu ia melewati pintu, mengisi koridor panjang yang sepi. Setiap langkah yang i
lengan Leon dengan lembut. "Dia hanya perlu waktu untuk menerima kenyataan. Lagipula, kita tahu ini
sesuatu di hatinya yang terasa salah, tetapi ia menepis perasaan itu, memilih untuk
mang benar yang Elora katakan, selama lima tahun ini, Anastasia selalu menolaknya jika ia menginginkannya di atas ran
kannya lagi?" bisik Elor
keduanya pun larut dalam len
*
upnya. Tetapi sekeras apa pun ia berlari, rasa sakit itu tetap mengikutinya, menghantuinya setiap detik. Ia ti
adalah malaikat hidupnya, ternyata berubah jadi iblis seperti keluarganya. Ia pikir, saat ayahnya tak lagi pedu
an seorang pria yang sedang terbujur lemah dengan luka lebam-lebam
dar? Aku akan membawamu ke
n kepalanya lemah, "J-janga
pria yang bertubuh tinggi besar yang sedang berlari ke arahnya. Ia langsung m
atimu sementara
*