/0/29183/coverbig.jpg?v=e46abcd53141d7023d9cb590f08ba4e9)
di Puncak untuk akhir pekan, katanya untu
dua orang tuaku. Mereka sedang menimang seorang anak laki-laki kecil di pangkuan
menatap Annisa dengan tatapan penuh cinta yang belum pernah sekalipun ia tunjukkan padaku. Seluruh lima tahun pernikahanku ha
raktis". Lalu dia mengungkapkan rencana terakhir mereka: mereka sudah mengatur untuk
tepi jalan raya, hidupku hancur lebur. Tanpa tempat lain untuk dituju, aku membuat panggi
a
ur lima tahun, dan kebohon
enangkan, malam ini terasa memuakkan, pekat dengan bau hujan dan tipu daya. Gerimis halus menempel di kulitku, meresap ke dalam gaun tipis yang kuken
ra yang tidak pernah kudengar selama setengah dekade, kepalanya mendongak saat menatap suamiku. Baskaraku. Dia tersenyum padanya, ekspresi lembut dan penuh kasih yang s
bersinar dengan kebahagiaan yang tidak pernah bisa kubangkitkan. Ayahku berdiri di samping
," kata Ibuku, suaranya terdengar
nya seperti gema hantu dari kehidupan yang kukira sudah te
Kami mengadakan pemakaman. Aku menghabiskan berbulan-bulan menghibur Baskara yang hancur, menopang or
Suara Ayah terdengar rendah, diwarnai denga
rlalu sibuk memainkan perannya sebagai istri yang berbakti dan berduka, dia tidak akan menyadari kebenaran
tangan ke mulutku. Dunia terasa miring, tanaman melati seolah meliuk dan membeli
umit, dengan dua mata safir kecil. Liontin nenekku. Ibuku pernah memberitahuku, dengan berlinang air mata, bahwa liontin itu hilang dalam perampokan bertahun-ta
ruh hidupku, sebuah sandiwara panggung yang dibangun dengan cermat untuk membuatku sibuk, untuk mengendalik
anak perempuan. Aku hanyalah
mbakar habis keterkejutanku.
anah yang lembut dan basah. Sebuah ranting patah di bawah t
hku. Senyum Baskara lenyap, digantikan ol
alui taman, duri-duri menyangkut di gaunku, daun-daun basah menampar wajahku. Aku tidak tahu ke mana aku pe
at tangan Baskara mencengkeram lenganku, cengkeramannya s
kemarahan, tidak ada kepanikan. Hanya sebuah kepastian yang dingin da
mua!" Kata-kata itu keluar dari
roma parfumnya, aroma yang dulu kuhubungkan dengan kenyamanan, kini berbau seperti pemb
Aku menancapkan tumitku, jantungku berdeba
Surat-suratnya sudah diurus. Dr. Handoko sudah mengamatimu selama berbulan-bulan. 'Kesedihanmu yang mendalam,' 'ketida
Ini adalah pelarian dari sangkar yang telah mereka bangun di sekelilingku selama bertahun-tahun. Mereka tidak akan hanya membuangku
sepatu kulit mahalnya, dan ketika dia mengerang kesakitan, cengkeramannya mengendur sepersekian detik, aku menye
, mendarat di sebuah jeriken bensin merah di sebelah mesin pemotong rumput. Sebuah
udut. Aku tidak membiarkan diriku berpikir. Aku menemukan sekotak korek api di meja kerja yang berdebap mulai mengepul, tebal dan tajam. Aku tidak menunggu untuk melihat lebih banyak. Aku lari keluar pint
kan, tangisan panik pertama saat mereka melihat asap. Aku tidak menoleh ke belakang. Aku hanya berlari, paru-paruku terbakar, ka
i karena kedinginan dan teror. Tasku. Aku masih memegang tas malam kecilku di tangan. Ponselkulu, sebuah kartu hitam ramping dengan nama timbul berwarna perak. Julian Adiwijaya. Saingan bisnis terbesarnya. Satu-satunya pria yang
nnya, ibu jariku melayang di atas angka-angka. Ini gila. Dia tidak akan membantuku. Kenapa dia mau?r itu. Berdering
ab, dalam dan sedin
 GOOGLE PLAY
 GOOGLE PLAY