vin
sungging di bibirnya bukan senyum kebahagiaan, melainkan sesuatu yang lebih dingin, lebih asing. Senyum itu menghilang saat dia berbelo
menandatangani surat cerai terputar di benakku. Sepi. Tenang. Tidak ada ledakan ke
Indriani mengamuk lagi. Tapi dia tidak melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata y
ahnya yang dulu meledak. Indriani yang dulu akan berteriak, menuduh, menghancurkan
api dan gairah, kini padam. Hanya ada kekosongan yang dingin. Itu adalah pernyataan pa
n. Tapi suara mereka seperti dengungan jauh yang tak bisa menembus dinding di k
ak akan
akan p
ghancurkan daripada semua kata-kata tajam yang pernah dia ucapkan. Itu a
dia tunjukkan padaku. Kapan terakhir kali dia tersenyum seperti itu? Aku tidak
alu kembali. Aku pikir kemarahannya adalah bentuk perhatian. Aku pikir
yang jauh lebih menghancurkan: ketidakpedulian.
ganga di dadaku. Kosong. Inilah pertama kalinya aku benar-benar merasakan kehilangan. Kehilangan yang mungkin tidak akan pernah bisa
awalku mencoba mendekat, merai
pergi? Ke Samosir? Sebuah pulau di tengah Danau Toba. Kenapa k
untuk mengatakan apa? Maaf?
ap sudutnya, setiap perabotan, dipenuhi kenangan Indriani. Tawanya, su
rlahan. Pikiranku terus berputar. Wajah Indriani yang tenang, matanya
al. Aku telah meremehkannya. Menganggapnya remeh
pikiranku semakin jernih. Aku harus menemukan Indriani. Aku harus membawany
Aku mengerutkan kening. Siapa
h dan sembab, seperti habis menangis. Dia mengenakan piyama tipis dan memeluk tas kecilnya
sendirian. Mereka semua membenciku. Mereka datang ke
hidupan lampau, tatapan ini akan memicuku untuk menjadi p
. Aku hanya ingin Indriani. Tapi aku tidak bisa membiarkan
aku datar. Aku tidak bis
i terasa semakin sesak. Meskipun dia ada di sini, ke
GOOGLE PLAY