g sepertinya masih ingin berbicara dengan mempelai. Bagaimana pun, ini adalah acara pernikahan, sudah seharusnya semua berbahagia. Memberi selamat untuk
au bukan mereka, Budhe Lastri dan Laili. Mereka masih di rumahku, menjagaku. Budhe Lastri selalu
al di rumah Budhe. Laili tidak akan keberatan jika kau tetap tidur sekamar dengannya,
ak akan keberatan, kok,” sa
mudian kututup wajahku menggunakan kedua telapak tangan dan diakhiri dengan mengusap air mataku. Sejujurnya, a
ingung, Budhe
gin kamu tahu, pintu rumah Budh
he. Budhe seperti ibu bagi Wulan ….” Aku memeluk Budhe Lastri erat-erat. Sangat
sendiri. Oleh karena itu, tetaplah t
ba-tiba Rio menghampiriku sambil melontar pertanyaan. Dadaku
wabku sambil merengkuh Rio. Aku berusaha t
orang nikah, ya, Bu
alam hati. Aku memeluk Rio erat-erat. Belum mampu
wajah polosnya menatap dan menghapus air mataku. Dia mengi
, Rio tidak nakal,” timpalku
meleleh. Aku sendiri masih bingung, bagaimana harus memberi penjelasan kepada
penjelasan kepada Rio, Nduk,” ucap Budhe La
akku bahwa ayah dan ibunya tak lagi bersama. Aku tak sanggup men
ri isyarat agar Budhe Lastri memb
diambilnya Rio dari pangkuanku. Kini
mau tanya, Nak Rio say
li hanya bisa terdiam. Laili mendekatkan duduknya di sebel
ang. Rio sayang b
jagain bunda, yan
“Iya, Eyang. Rio sama ayah selalu
pai membungkam mulutku erat-erat agar taka da suara tangis yang
Karena itu Rio nggak boleh bantah kata-kata Bunda, nurut sama Bunda. Biar Bunda nggak sedih …
io tampak bingung. Aku dan Budhe
a adik bayi … suka tidak?” ta
ertinya Rio tidak suka mendengar kata ‘adik’. “Iya, Eyang, suka … nanti
alam hati. Ternyata anakku bahagia saat tahu akan memiliki seoarang
lah turun dari pangkuan Budhe Lastri. Kini d
ti hati putraku. Bukan aku yang akan mewujudkan harapannya untuk memiliki seorang adik, tet
at Rio. Menyejajarkan diri agar setinggi tubuh mungil anakku. A
pi adik bayinya sekarang tidak di dalam perut Bunda.” Budhe Lastri terliha
, saling memastikan bahwa kami akan memberitahu Rio, menjelaskan semuanya. En
a di mana, Eyang?” tany
engangguk, memberi persetujuan jika B
masih ada di dalam perut Tante Nindi. Karena itu, ayah N
a dia bingung dengan k
Kalau adik Rio, kan ada di dala
atiku semakin menjadi-jadi. Budhe Lastri dan Laili sudah tak mampu menahan tangis. Be
io. “Nak Rio sayang sama Tente Nindi ‘kan?” B
. Sama Eyang Lastri dan Tante Lai
juga harus sayang sama adik bayi dalam perut Tante Nindi. Anggap adik bay
an Mas Rangga, kapan dia akan punya adik. Sebelum tidur, Rio sering memegangi perutku dan berceloteh, ‘dalam perut Bunda nanti ada adikn
bayi dalam perut Tante Nindi lahir, Rio akan sayang sama adik bayinya Tante Nindi. Nan
k sekeras mungkin. Ucapan Rio membuat dadaku ingin meledak. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi
ba menyalahkan Tuhan. Akan tetapi, cobaan seberat ini sungguh membuatku terpuruk. Mengapa aku harus menerima kenyataan sepahit ini? Jauh di dasar hatiku, aku