Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Mahasiswi Simpanan Dosen Liar
Mahasiswi Simpanan Dosen Liar

Mahasiswi Simpanan Dosen Liar

5.0
5 Bab
175 Penayangan
Baca Sekarang

"Pak kenapa bimbingannya di dalam kamar?" Tanya Zeya Scopuso. "Akan ada bimbingan tambahan dari saya," jawab Delson Weather seraya meraba paha Zeya dengan lembut.

Konten

Bab 1 Dapatkan Wanita Itu!

Lampu-lampu temaram memantulkan cahaya keemasan di sepanjang dinding marmer klub malam itu. Aroma parfum mahal dan dentuman musik bass rendah mengisi ruangan, menambah kesan mewah sekaligus sedikit menyesakkan. Di tengah gemerlap itu, Zeya berdiri, mengenakan pakaian sederhana, tampak kontras dengan lingkungan sekitarnya yang berkilau.

Manajer klub malam itu, seorang pria dengan jas rapi dan rambut disisir ke belakang, menatapnya dari balik meja kaca. Sorot matanya tajam, penuh penilaian, seperti seorang pedagang yang sedang menilai barang dagangan bernilai tinggi.

"Tentu saja, tidak ada lowongan bartender, Nona," katanya, suaranya tenang tapi tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Namun... ada posisi lain yang mungkin menarik minat Anda." Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di depan dada, dan senyum tipis mengembang di bibirnya. "Semacam... model wanita. Anda akan mengantar minuman ke setiap ruangan privat. Selain tip yang lumayan, Anda juga berkesempatan bertemu dengan tamu-tamu kami-semuanya miliarder atau triliuner. Dengan kecantikan Anda... mungkin saja, Anda bisa menggaet aktor atau pengusaha kaya raya." Ia menatap Zeya lekat-lekat. "Bagaimana? Tertarik?"

Zeya tidak langsung menjawab. Matanya mengamati sekeliling, mencerna kemewahan yang belum pernah ia jamah. Ruangan ini terlalu asing-terlalu berkilau untuk seseorang yang hidupnya selalu dibangun dari kesunyian dan perjuangan.

Dua puluh dua tahun, dan hampir semuanya ia lewati sendiri. Dari meja kasir kecil di toko kelontong, hingga menjadi pelayan paruh waktu di kafe mahasiswa-Zeya bekerja sambil menyelesaikan pendidikannya tanpa pernah menggantungkan diri pada orang tua. Ia tahu betul, bantuan apa pun dari keluarganya hanyalah untuk Larin, adik perempuannya yang selalu menjadi pusat segalanya. Ayah dan ibunya hanya mengenal kata "berkorban" jika itu untuk Larin. Sedangkan dirinya? Ia harus belajar menguatkan diri sejak lama.

Perlahan, ia menghela napas panjang, mencoba menelan segala keberatannya yang menumpuk di dada. "Baiklah," ucapnya akhirnya. Suaranya datar, hampir hampa. Tapi di balik nada itu, tekadnya menggema dengan jelas: ia akan bertahan. Dengan caranya sendiri.

Senyum manajer mengembang lebar, seolah ia baru saja memenangkan sebuah taruhan mahal. Dengan cepat, ia menarik sebuah setelan minim dari laci dan menyerahkannya. Kain hitam berkilau dengan potongan yang lebih banyak memperlihatkan daripada menutupi.

"Bagus! Anda bisa mulai malam ini."

Zeya mengangguk pelan, lalu berbalik menuju ruang ganti. Langkahnya terasa berat namun mantap. Ia tak punya banyak pilihan, namun ia punya satu senjata yang tak akan ia lepaskan: harga dirinya.

Manajer klub memperhatikan kepergiannya dengan senyum semakin lebar, mata memicing penuh perhitungan.

"Sempurna," gumamnya pelan. "Paras dan tubuh seperti itu... dia akan menghasilkan banyak uang untukku."

Dengan puas, ia kembali ke ruangannya, membiarkan pintu menutup pelan di belakangnya, sementara dentuman musik kembali menyatu dengan keriuhan malam.

Di dalam ruang VIP yang mewah dan tertutup rapat dari hiruk pikuk lantai utama klub, aroma mahal dari cerutu Kuba dan minuman beralkohol mengambang samar di udara. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke sofa beludru yang diduduki oleh sekelompok pria muda dewasa yang tengah larut dalam euforia malam itu.

Musik jazz lembut mengalun dari speaker tersembunyi, memberi kesan eksklusif, hampir intim.

"Malam ini kita pesta sampai pagi!" seru Philip dengan semangat, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. Tawa riuh mengisi ruangan saat yang lain menyambut seruannya. Suara gelas bersentuhan menciptakan denting yang menggema pelan.

Delson, yang duduk di ujung sofa panjang dengan kaki bersilang santai, hanya tersenyum kecil. Ia mengangkat gelas kristalnya-berisi minuman dingin berwarna keemasan-dan menyesap perlahan, tak terburu-buru. Di balik tatapan tenangnya, ada kilatan rasa lega dan kepuasan. Washington kembali menyambutnya, dan untuk malam ini, ia ingin menikmati kebebasan itu tanpa gangguan apa pun.

"Ayo bersulang!" seru Hans dengan suara nyaring, tapi setelah satu tegukan, alisnya bertaut kecewa. "Alkohol saja kurang! Kita butuh wiski atau sampanye! Yang premium!"

Colin, duduk di sebelahnya sambil memegang kartu di tangan, hanya terkekeh, "Sabar, sudah ku pesan tadi. Tunggu saja." Ia kembali fokus ke permainannya, meletakkan kartu dengan gaya percaya diri.

Tawa dan candaan kembali mengisi ruangan, sementara meja di hadapan mereka mulai dipenuhi botol minuman, sisa camilan eksklusif, dan kartu-kartu yang berserakan. Namun, di tengah keramaian itu, Delson tetap tenang. Matanya mengamati sekeliling, mengamati teman-teman lamanya yang tak banyak berubah, dan suasana yang sudah sangat ia kenal sejak muda.

Tapi baginya, malam ini berbeda. Kepulangannya bukan sekadar reuni, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan meskipun ia tampak tenang di luar, pikirannya terus berputar... hingga akhirnya, suara ketukan pelan di pintu dan suara engsel berdecit lembut mengalihkan perhatian semua orang di ruangan.

Suara ketukan lembut terdengar dari arah pintu, diikuti bunyi engsel berderit pelan saat daun pintu terbuka. Seorang wanita muda melangkah masuk, mendorong rak besi berisi minuman yang tampak tertata rapi. Gaunnya sederhana namun elegan, rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya yang bersih tanpa banyak polesan tampak begitu menenangkan. Ia tersenyum sopan sebelum berkata, "Permisi."

Suasana ruangan yang semula ramai oleh suara tawa dan diskusi kartu mendadak mereda. Beberapa pasang mata menoleh, namun hanya satu pasang yang tak mampu berpaling kembali-mata Delson.

Zeya, begitu nama yang tertera di papan kecil di dadanya, mulai meletakkan minuman satu per satu di atas meja dengan gerakan anggun dan terlatih. Tidak ada yang berlebihan. Tidak ada sorot mata genit. Tidak ada sapaan yang dibuat-buat. Ia hanya menjalankan tugasnya dengan sopan dan tenang.

Delson terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia terpesona hingga tak bisa berkata-kata. Bukan hanya karena parasnya yang cantik, namun karena caranya membawa diri-begitu anggun, tenang, dan tidak terusik oleh keberadaannya.

Di London, ia telah terbiasa menjadi pusat perhatian. Di Washington, wanita-wanita mendekatinya tanpa ragu, menawarkan diri tanpa malu. Namun wanita ini... dia bahkan tak menoleh. Hanya menunduk, seolah tak menyadari siapa yang sedang menatapnya begitu lekat.

Delson mengernyit samar, dalam hati bergumam, "Apa dia sungguh tak tahu siapa aku? Atau... dia tak peduli?" Ada keheningan aneh yang merayap di dadanya, bukan karena penolakan, tapi karena keunikan sikap wanita itu yang terasa... menyegarkan.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Zeya menundukkan kepala sedikit dan berkata pelan, "Selamat menikmati," sebelum mendorong raknya perlahan keluar dari ruangan.

Pintu tertutup kembali. Tapi Delson masih terpaku, tatapannya tertinggal di pintu yang kini sudah menutup rapat, sementara pikirannya masih penuh dengan bayangan wajah wanita yang bahkan tak sempat menatap balik ke arahnya.

"Siapa wanita barusan? Apa dia malaikat atau bidadari? Dia sungguh sempurna... sangat sopan dan elegan," gumam Philip nyaris tak percaya, tatapannya masih tertuju ke arah pintu yang tadi sempat terbuka.

"Kurasa dia anak baru. Siapa tadi namanya?" timpal Colin, masih mengernyitkan dahi, mencoba mengingat detail wajah dan nama gadis muda yang baru saja masuk membawakan minuman mereka.

Hans mengangguk pelan, suaranya terdengar mantap, "Kurasa kita harus mendapatkan nomor teleponnya." Colin menoleh dan mengangguk sependapat, senyum geli menghiasi wajah keduanya.

Namun hanya satu orang yang tetap diam. Delson.

Ia menatap kosong ke dalam gelasnya sebelum akhirnya membuka suara dengan nada yang tak terbantahkan.

"Dapatkan wanita itu untukku."

Tiga pasang mata langsung beralih menatapnya. Terkejut. Tak percaya. Bahkan nyaris tak yakin dengan apa yang baru saja mereka dengar.

Dengan gerakan serempak, ketiganya bergeser duduk lebih dekat ke arah Delson, seperti ditarik oleh gravitasi dari kata-kata yang baru saja dilontarkannya.

"Jangan gila, kau lupa apa tujuanmu kembali ke Washington?" ujar Philip, berusaha mengembalikan Delson ke jalur rasional. "Perjodohan, ingat? Orang tuamu sudah mengatur semuanya."

Delson berdecak pelan, meletakkan gelas kristalnya di atas meja dengan tenang. Tatapannya tajam menembus bayangan cahaya lampu gantung di atas mereka.

"Itu hanya perjodohan," ucapnya datar namun penuh makna. "Pernikahan di atas kertas, tanpa rasa, tanpa gairah. Untuk apa kupikirkan? Aku membutuhkan wanita yang bisa membuatku bertahan hidup. Yang membuatku ingin pulang. Yang membuat jantungku berdetak lebih cepat... dan sepertinya, aku telah menemukannya."

Kata-kata itu meluncur dari bibir Delson dengan keyakinan yang tak biasa, membuat ketiga temannya terdiam dalam keterpanaan.

"Gila... kau sungguh gila," olok Hans, menatapnya dengan tatapan setengah heran, setengah kagum.

Colin mencondongkan tubuh, suaranya terdengar tajam namun jujur. "Ini pertama kalinya aku melihatmu sejatuh ini hanya karena seorang wanita. Tapi... apa dia akan sama saja seperti wanita-wanita sebelumnya? Setelah kau mendapatkan yang kau mau... apakah kau akan membuangnya begitu saja? Kita sudah berteman lebih dari sepuluh tahun, Del. Kita tahu siapa dirimu. Kau pria paling playboy yang pernah kami kenal. Dalam sebulan kau bisa berganti wanita seperti mengganti jam tangan."

Ia menatap Delson lurus, seolah ingin menggali kepastian dari mata sahabatnya.

"Karena itulah Om Weather mengusulkan perjodohan. Agar kau berhenti-"

Delson hanya tersenyum kecil, bukan karena setuju, tapi karena tahu betapa sedikit yang mereka pahami tentang apa yang baru saja terjadi di hatinya.

Ia bangkit perlahan dari sofa, membenahi lipatan jas dan kancing kemejanya yang sedikit terbuka. Sorot matanya tajam, dingin, namun di baliknya menyala sebuah hasrat yang tak biasa.

"Untuk kali ini," ujarnya dengan suara rendah namun penuh ketegasan, "sepertinya aku serius. Aku akan mendapatkannya... apa pun caranya."

Tiga sahabatnya hanya bisa terdiam menatap punggung Delson yang perlahan menjauh, membawa serta aura tekad dan obsesi yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Untuk pertama kalinya... sang raja playboy jatuh cinta. Dan saat Delson menginginkan sesuatu, dunia tahu-ia akan melakukannya dengan cara apa pun.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Calon Suami Larin   Kemarin11:17
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY