/0/12754/coverbig.jpg?v=e6ce11975e25da3381ac05989a07a327)
Danu pria miskin yang menikah dengan Sakira. Namun, di tengah perjalanan rumah tangganya Sakira pergi meninggalkannya dan memilih pria lain. Sakira meninggalkan Danu dan bayinya hanya demi pria kaya. Akan tetapi, kehidupan yang terus berjalan membuat Sakira berubah. Dicampakkan oleh suaminya. Sakira sakit kanker paru-paru menjadikan dia kurus dan jatuh miskin.
Allahu Akbar ... Allahu Akbar. Laila Ila Hailahu Allahu Akbar ... Allahu Akbar Walillah Ilham.
Takbir menggema diseluruh jagat raya. Sementara, aku masih mengumpulkan botol bekas untuk dijual. Besok lusa sudah ditutup tempat pengepul karena lebaran tiba. Sedangkan aku masih sibuk mencari uang untuk sesuap nasi. Memenuhi kebutuhan kelaurga kecilku. Padahal, lebaran esok hari sudah tiba. Di sini aku masih bergelut dengan peluh, dan keringat yang bercampur debu.
Ibu sudah tak lagi mampu mencari barang-barang bekas. Usaha ini terpaksa aku jalankan untuk bertahan hidup. Sudah sejak dari kemarin hujan mengguyur kotaku. Bahkan, di hari terakhir menjelang puasa ramadan tetap saja air membasahi bumi.
"Kamu mau apa? Penampungan sudah tutup sejak sore tadi. Tidak tidak lagi menerima barang bekas." Mang Damin berdiri menatapku acuh tak acuh. Pria paruh baya itu, tampak akan meninggalkan tempat penampungan barang bekas.
"Tapi, Mang. Aku dan ibuku perlu makan malam ini besok sudah hari lebaran. Tolong buka sebentar, ya," pintaku memelas. Berharap Mang Damin punya hati nurani, untuk menerima barangan rongsokan yang kubawa.
"Tidak bisa. Saya juga mau takbiran malam ini. Silahkan bawa kembali seminggu lagi kemari."
Tubuhku terasa lemas saat Mang Damin menolak barang rongsokan yang kubawa. Sudah seharian aku berkeliling untuk mencari botol bekas. Agar bisa menghasilkan uang untuk makan. Namun, semua pengepul sudah tidak lagi menerima dengan alasan malam takbiran.
"Mang, tolonglah. Aku dan ibuku bisa mati kelaparan kalau tidak ada uang buat kami makan lusa. Besok pengepul sudah tutup dan waktu akan dibuka seminggu lagi kami harus makan apa, Mang?"
"Bukan urusanku. Kalian mau makan apa. Pergi sana!" Usir Mang Damin. Pendiriannya tetap kekeh tidak mau menerima barang milikku.
Dia segera menutup pintu gudang pengepul dengan kuat. Lelaki itu, segera pergi berlalu tanpa rasa bersalah. Aku duduk terdiam sambil menenteng karung yang berisi barang rongsokan. Sedangkan Rafa, masih tetap dalam gendongan di punggung belakang. Dia sudah kehujanan dan kedinginan sejak tadi pagi. Tapi anakku yang malang masih betah tidur dalam gendongan. Mungkin Rafa tahu kesusahan orang tuanya. Harus berjuang sambil mencari nafkah.
Tubuh mungilnya pun sudah basah kuyup karena rintik hujan. Sungguh, tidak tega melihat anak malang seperti dia. Masih berumur empat tahun harus ikut merasakan derita ayahnya. Mencari sesuap nasi demi bertahan hidup. Apa hendak dikata. Nasibku yang malang tak berubah meski sudah berusaha bekerja keras.
Bukan aku tak sayang padanya, namun pilihan tidak ada lagi. Sejak umurnya tiga bulan, Rafa sudah ditinggal ibunya. Sakira pergi meninggalkanku bersama Rafa hanya karena tak tahan hidup susah. Dia memilih laki-laki lain yang lebih kaya.
Kini, sudah empat tahun berlalu. Namun, tak pernah kudengar lagi beritanya. Saat terakhir kita bertemu, dia sudah menikah dengan pria idamannya. Ya, karena aku miskin dia berpaling dan meninggalkan Rafa yang masih bayi merah.
"Mas, pokoknya aku minta cerai sama kamu. Aku tidak tahan hidup susah terus menerus denganmu, Mas. Sampai kapan hidupku begini. Sampai kapan, Mas," ucap Sakira kala itu. Matanya memerah menatapku.
"Sabar, Sakira. Mas juga lagi berusaha kerja agar hidup kita enak dan bahagia."
"Kalau begini terus aku tidak tahan, Mas. Kamu cuma kerja sebagai buruh harus menanggung ibumu yang penyakitan itu. Rumah juga masih mengontrak. Kapan kita senang, Mas."
"Istighfar, Kira. Ibu itu orang tua kandungku. Kamu gak boleh ngomong begitu. Hanya dia satu-satunya keluargaku. Kalau bukan aku, lalu siapa lagi yang akan merawatnya."
"Usaha dong, Mas. Usaha!" Teriak Sakira.
Tangisnya pecah ketika suaranya melengking tinggi. Sementara, bayi Rafa menangis karena mendengar teriakan ibunya. Mungkin dia haus karena sejak tadi Sakira belum memberinya ASI.
Kuraih tubuh Rafa yang terus menangis. Memberikan kepada Sakira. Namun, dia menolak untuk menyusui. Berbagai alasan dia katakan.
"Sakira, Rafa menangis. Tolong kamu susui dia," ucapku lembut.
"Aku tidak mau. Berikan saja dia minum susu formula."
"Astagfirullah, Sakira. Kamu itu ibunya, masa tega membiarkan Rafa minum susu formula."
"Mulai sekarang kamu yang urus Rafa, Mas. Kamu bisa membeli obat untuk ibumu. Tapi tidak bisa memberikan susu untuk anak sendiri."
"Ibu sedang sakit, Kira. Kalau dia tidak diberi obat maka bisa semakin parah penyakitnya."
"Itu urusanmu, Mas. Pokoknya aku tidak mau menyusui Rafa."
Buk!
Sakira langsung pergi ke kamar, lalu membanting pintu sekuatnya. Ibu yang mendengar pertengkaran kami pun langsung ke luar dari kamar.
"Ada apa lagi to, Le. Kamu bertengkar lagi sama istrimu?"
"Ndak, Bu. Kami tidak bertengkar kok. Ibu istirahat saja nanti malah capek," ujarku.
"Kalau hidup Ibu jadi beban buatmu lebih baik Ibu pergi saja dari sini. Ibu tidak ingin rumah tanggamu hancur gara-gara Ibu."
Ya Tuhan!
"Ibu gak usah ngomong gitu. Aku akan menjadi anak durhaka bila Ibu pergi."
Sebagai suami, tentu aku tidak ingin terus membela istri. Bukan tak mau, tetapi keadaanlah yang memaksa tetap begini. Siang dan malam sudah bekerja keras membanting tulang. Demi menutupi semua kebutuhan. Namun, nasib baik belum berpihak kepadaku.
"Itu Rafa kenapa, Le? Kok sedari tadi menangis terus?"
"Rafa haus, Bu. Sakira tidak mau menyusuinya."
"Ya Allah, kenapa ibunya gak mau menyusui, Danu?" tanya ibu lagi.
Aku bergeming. Tangis Rafa terus saja berpanjangan. Membuat hatiku terasa sakit. Bukan tak ingin membelikan dia susu, namun keuanganku tidaklah cukup. Jangankan untuk membeli susu formula, untuk makan saja harus bekerja keras.
Dari pagi sampai jam lima sore aku bekerja sebagai buruh bangunan. Selesai itu, masih harus mencari barang rongsokan dan menjual kepada pengepul barang bekas.
Gaji hasil kerja menjadi buruh kuberikan kepada Sakira untuk memenuhi kebutuhan. Uang hasil mencari barang rongsokan aku berikan pada ibu untuk membeli obat. Ibu divonis dokter terkena penyakit paru-paru. Perobatannya tidak boleh telat selama enam bulan. Setiap satu Minggu sekali, aku harus menebus di puskesmas terdekat.
"Ayah, Rafa lapar," ucap Rafa membuka mata.
"Sabar, ya, Nak. Sebentar lagi kita akan beli makanan."
"Ayah, apakah malam ini kita akan makan enak? Sekarang malam takbiran. Besok hari raya. Teman-temanku semuanya sudah membeli baju baru buat besok. Kapan aku bisa punya baju baru juga, Yah?" tanya Rafa dengan mata yang berbinar.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah pria yang tak berguna. Bahkan, untuk membeli sepotong baju saja tidak bisa."
Kupeluk tubuh kurus Rafa. Sembari menangis di pelukannya. Jujur, ingin sekali memberikan semua apa yang dia inginkan. Akan tetapi, keadaan ekonomiku tidak bisa membuatnya tertawa seperti anak-anak yang lainnya.
"Ayah, kenapa nangis? Rafa gak papa kok kalau Ayah belum bisa belikan baju untuk Rafa. Baju yang lama pun tak apa-apa."
"Ayah janji, bila nanti punya uang banyak akan membelikan Rafa baju baru."
"Iya,Yah. Rafa ngerti kok Ayah belum punya uang."
Oh Tuhan! Bagaimana anak sekecil Rafa bisa mengerti. Sungguh, aku malu telah menjadi ayah yang gagal. Andai, saja keajaiban bisa terjadi. Aku akan tak meminta banyak kecuali baju lebaran.
Suara takbir masih terdengar bergema dari arah masjid. Aku dan Rafa pergi meninggalkan tempat penampungan dengan langkah gontai. Usaha untuk menjual barang rongsokan telah gagal. Rencananya, akan membelikan baju baru buat ibu dan Rafa bila barang bekas terjual.
Aku sudah mengumpulkan uang tabungan beberapa bulan lalu untuk persiapan lebaran. Ditambah sedikit lagi pasti bisa membelikan mereka baju baru. Dari tahun ke tahun ibu tak pernah memakai baju baru. Ingin sekali memberikan hadiah gamis. Walau harganya tidak mahal. Pasti ibu bahagia menerima pemberian dari anak laki-lakinya.
Bahkan, baju yang dia gunakan sudah robek sana sini. Tidak layak untuk dipakai. Namun, ibu tak pernah mengeluh. Dia mengerti keadaan ekonomi kita sangat sulit. Jangankan untuk membeli baju lebaran, untuk makan besok saja uang tidak cukup. Tempatku bekerja libur satu Minggu. Otomatis aku tidak bisa bekerja selama itu. Harus ada stok makanan di rumah, sementara hasil pencarian barang bekas belum terjual.
"Ayah, apakah kita akan pulang sekarang?" Rafa bertanya sambil menatapku.
"Iya, Nak. Kita akan pulang ke rumah. Maaf, Ayah belum bisa memberikan baju lebaran untuk kamu."
"Ndak apa, Yah. Rafa ngerti kok Ayah lagi gak punya uang. Rafa tidak akan minta apa-apa," ucap Rafa menghapus jejak air mataku. Senyumnya membuatku bersemangat terus berjuang merubah nasib.
Aku terus saja melangkah menyusuri jalan yang becek. Hujan masih enggan untuk berhenti. Meski gerimis masih turun membasahi bumi. Akan tetapi, tak menyurutkan langkah sebagain orang untuk mengumandangkan takbir. Menyebut kebesaran Allah. Setelah agak jauh meninggalkan penampungan barang rongsokan tiba-tiba suara yang tidak asing lagi menyapa. Membuatku seketika menghentikan langkah.
"Danu, tunggu!"
***
Bersambung.
Kesucian seorang wanita dipermasalahkan karena tidak keluar darah saat melakukan hubungan di malam pertama. Zahra ditlak suaminya dituduh tidak suci lagi. Sementara Raja adalah seorang perwira polisi. Saat akan menikah semua berjalan mulus, namun baru resmi beberpa jam menikah Zahra sudah ditalak. Hati Zahra hancur dan bersedih ketika tahu suaminya menuduh tidak suci lagi.
Kehamilan Rea yang ingin disampaikan kepada Beno suaminya berubah menjadi berita bencana. Rea dikejutkan lebih dulu dengan berita kehamilan sang adik yang telah tertangkap basah berselingkuh dengan suaminya.
Pengkhianatan suami dan kakak sepupunya yang menikah secara diam-diam dan menipu adiknya hanya untuk mendapatkan anak karena mereka sudah menikah belum dikarunia keturunan.
Kisah seorang istri yang merindukan suaminya merantau, tapi tak pernah kembali. Setelah lima tahun ditinggal hanya mengirimkan nafkah seadanya itu pun melalui tetangga. Begitu suaminya kembali ia malah dihadiahi talak. Sang suamin ternyata sudah menikah dengan wanita lain dan punya anak.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.