"Kalau begitu, Lyra berhenti saja sekolah Mah sampai dia sembuh total." Lyora tidak mau berhenti dari sekolah impiannya. Ia sudah bekerja keras selama ini agar masuk di sekolah yang terkenal di Swiss.
Lyora dan Lyra memiliki IQ yang beda jauh. Hal itu membuat Lyra tidak bisa sekolah bersama dengan Lyora, karena sekolah tersebut hanya menerima murid murid yang cerdas, namun murid yang tidak cerdas juga bisa masuk, namun biayanya begitu besar.
"Nanti Lyra bisa tinggal kelas, Lyora." Davira terus memaksa sang anak untuk menggantikan kembarannya yang sedang sakit.
"Terus bagaimana dengan sekolah Lyora, Mah? Kalau Lyora keluar dari sekolah, maka Lyora harus menunggu tahun depan biar bisa masuk kembali," ujar Lyora yang tidak mau menuruti keinginan mamanya.
Plak!
Tangan Davira melayang ke pipi Lyora, hingga membuat suara yang begitu nyaring.
"Dasar anak egois! Kamu memiliki IQ di atas rata-rata dan kamu juga bisa menyelesaikan pendidikan dengan cepat. Jika Lyra di berhenti sekolah, maka Lyra akan lama untuk menyelesaikannya, Lyora!" nada tinggi dari Davira membuat tubuh Lyora terdiam membeku. Baru kali ini, ia mendapatkan tamparan dan nada tinggi dari mamanya.
Lyora menatap kecewa Davira. Ia tidak menyangka, jika sang mama begitu egois malam ini.
"Apa karena Lyra sakit, mama jadi kasar sama Lyora?" nada lirih dari Lyora begitu menyayat hati. Kedua bola mata Lyora menatap iris sang mama. Cairan bening mulai keluar dari mata Lyora.
"Diam! Mama nggak mau tau, besok kamu harus menggantikan Lyra." nada yang tidak terbantahkan keluar dari bibir Davira.
Davira langsung melenggang pergi menuju kamar dan meninggalkan Lyora bersama sang papa.
Lyora menatap papanya, "Pah."
"Turutin saja apa yang mama kamu bilang, Lyora. Ini semua untuk kebaikan bersama." Setelah mengucapkan itu, pria parubaya yang sering di panggil Adrian melenggang pergi meninggalkan Lyora sendirian.
"Bukan kebaikan bersama, tapi kebaikan Lyra," lirih Lyora.
Dengan langkah gontai, Lyora berjalan menuju kamarnya. Ia menginjak anak tangga satu persatu.
Sesampainya di kamar, Lyora langsung masuk kedalam kamar. Kaki Lyora terus melangkah hingga sampai tempat tidur.
Lyora membaringkan tubuhnya di kasur. Malam ini, Lyora lelah. Bukan hanya lelah fisik, ia lelah batin.
***
Keesokan harinya, kini matahari kembali terbit. Kicauan burung begitu indah di dengar. Sinar matahari menyelinap masuk kedalam kamar seorang gadis.
"Eungh," lenguhan kecil keluar dari bibir mungil gadis itu, kala sinar matahari menerpa wajahnya.
"Lyora, bangun. Kamu harus sekolah," suara wanita parubaya masuk ke indra pendengaran gadis yang tak lain adalah Lyora.
Lyora membuka matanya perlahan, ia pun mengerjab-ngerjabkan matanya agar penglihatan nya kembali normal.
"Cepat bangun! Sekarang kamu mandi dan turun untuk sarapan," ujar Davira.
"Iya Mah," suara serak khas bangun tidur dari bibir Lyora terdengar. Lyora bangun dan memposisikan dirinya untuk duduk. Ia terdiam sejenak untuk mengumpulkan nyawanya.
"Jangan lama, nanti kamu telat," ujar Davira yang langsung melenggang pergi meninggalkan kamar Lyora.
Sudah lima menit berlalu, kini Lyora yang merasa nyawanya sudah terkumpul, ia pun beranjak turun dari kasur dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Kurang lebih lima belas menit berlalu, kini Lyora sudah keluar dari kamar mandi. Dengan bathrobe, Lyora melangkahkan kakinya menuju kasur.
Lyora mengambil seragam sekolah itu, lalu ia langsung memakainya. Lyora tidak tau siapa yang menyiapkan seragamnya, namun feeling Lyora adalah sang mama.
Saat sudah selesai memakai seragam, Lyora duduk di depan meja riasnya. Ia mengambil bedak tipis, lalu ia aplikasikan ke wajahnya. Melihat tidak ada dempul, Lyora mengambil lip balm dan ia aplikasikan ke bibirnya.
Melihat dirinya sudah cantik, Lyora mengambil sisir dan menyisir rambutnya agar rapi.
"Semoga ini cepat berakhir," ujar Lyora yang menghela nafasnya. Merasa sudah lengkap dan tidak ada yang kurang, Lyora bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya.
Tap!
Tap!
Suara langkah kaki Lyora menuruni anak tangga terdengar. Semua pasang mata menatap ke arah sumber suara. Dengan raut datarnya dan dagu yang mengangkat sedikit, Lyora berjalan menuju meja makan.
"Lo cantik banget, Lyora," puji Lyra dengan senyum manisnya.
Lyora tersenyum tipis, "makasih Lyra," Lyora tidak membenci Lyra, tapi ia membenci penyakit yang bersarang di tubuh kembarannya.
"Semua sudah lengkap, sekarang mulailah makan," suara berat Adrian terdengar. Mereka semua pun mulai memakan sarapan dengan keadaan senyap.
Namun tidak lama keadaan itu senyap, suara Davira memecahkan keheningan, "kamu makan yang banyak ya Lyra, agar kamu cepat sembuh," lembut Davira pada Lyra. Perlakuan Davira yang begitu lembut membuat Lyora menatap sedikit iri pada Lyra.
"Makanannya sayur semua, Lyra nggak suka Mah," cemberut Lyra yang memanyunkan bibirnya kedepan.
"Ini demi kesembuhan kamu sayang. Kamu harus makan yang sehat sehat," lembut Davira yang membuat Lyora semakin iri melihat interaksi ibu dan kembarannya.
Lyora iri melihat sikap lembut terhadap kembarannya. Namun Lyora segera menepis rasa irinya. Ia tidak boleh iri dengan kembarannya yang sedang sakit. Wajar jika sang mama se-perhatian ini pada kembarannya.
"Aku sudah selesai, aku pamit berangkat," ucap Lyora yang bangkit berdiri.
"Kok cepat banget? Itu sarapan mu belum habis Lyora," ucap Lyra.
"Udah kenyang, gue berangkat dulu. Bye Lyra," Lyora langsung melenggang pergi tanpa berpamitan pada kedua orangtuanya.
Sedangkan Davira dan Adrian yang tau kenapa sikap anak berubah pun hanya bisa terdiam.
***
Selama di perjalanan, Lyora hanya diam. Ia fokus mengendarai motornya dengan kecepatan normal. Sekilas terlintas kejadian saat di meja makan.
Lyora semakin menarik gas motornya hingga kecepatan motornya bertambah. Lyora benar benar iri dengan Lyra.
Kurang lebih 30 menit Lyora menempuh perjalanan, kini akhirnya ia sampai di SMA Antariksa. Suara deru motor Lyora membuat seluruh perhatian tertuju padanya.
Tanpa Lyora sadari, Lyora memarkirkan motornya di tempat para cowok famous itu. Lyora membuka helmnya, lalu ia mengibaskan rambutnya. Lyora turun dari motornya, lalu ia menaikkan satu alisnya kalau melihat kelima cowok sedang menatapnya.
"Eh, dia Lyra kan? Kok cakep bener hari ini," ucap salah satu dari kelima cowok itu yang bernama Aziel Gilbert.
"Iya, itu Lyra. Dia cakep bener njir. Apalagi dia tadi bawa motornya. Buset, ini mah idaman para cowok," sahut temannya yang bernama Ansel Putra Pradipta.
Lyora yang mendengar itu pun hanya diam. Ia melangkahkan kakinya menuju kelasnya, yaitu XII MIPA satu. Seperti biasanya, Lyora memasang wajah cuek dan datarnya, hal itu membuat aura agung terpancar dari dalam dirinya.
"Kenapa gue merasa dekat dengannya," ucap salah satu cowok dalam hati. Cowok itu bernama Rajendra Arthur Smith.
"Kelas," satu kata keluar dari bibir Arthur. Dengan raut datarnya, Arthur melangkahkan kakinya menelusuri lorong kelasnya, yaitu XII MIPA satu.
Sedangkan di sisi lain, Lyora terus melangkahkan kakinya mencari kelas XII MIPA satu. Kakinya terus melangkah, namun ia belum menemukannya.
"XI MIPA satu," ujar Lyora kala membaca tulisan yang berada di depan kelas tersebut.
Lyora kembali melangkahkan kakinya, hingga tak sadar, sudah sepuluh menit Lyora mencari kelas XII MIPA satu. Lyora tidak menyerah, ia terus mencari kelasnya hingga tak lama sudut bibirnya terangkat.
"Akhirnya," Lyora bernafas lega kala menemukan kelasnya. Ia pun melangkahkan kakinya masuk kedalam XII MIPA satu. Para murid yang berada di kelas mendadak menjadi hening karena kedatangan Lyora.
Mereka semua menatap Lyora. Mereka kagum melihat penampilan Lyora yang sekarang terlihat elegan.
"Lyra, sini," salah siswi di kelas memanggil Lyora.
Lyora yang merasa terpanggil melihat ke arah sumber suara, "untung aja ada yang manggil. Jadi gue nggak capek capek buat nanya," ucapnya dalam hati.
Lyora berjalan mendekat ke cewek yang memanggilnya. Sesampainya, Lyora langsung duduk di samping cewek dengan kuncir satu.
"Selama ini lo kemana aja, Lyra? Gue kangen banget tau," ucap cewek itu yang bernama Aurelia Candramaya. Aurel adalah sahabat Lyra semenjak masuk SMA.
"Sorry, gue ada urusan penting," ucap Lyora.
Aurel menyeringit kala mendengar kata gue keluar dari bibir Lyora, "gue? Sejak kapan lo pakai kata gue-lo?" tanya Aurel.
"Shit! Gue lupa, kalau Lyra nggak pernah pakai kata gue-lo," ucap Lyora dalam hati.
"Kemarin, gue hanya belajar aja. Ternyata enak pakai kata kata itu," ucap Lyora yang bisa mengontrol rasa gugupnya.
Aurel membulatkan mulutnya, "ooh, ngomong ngomong, hari ini lo beda banget tau. Kayak lebih elegan gitu," ucap Aurel.
Lyora hanya tersenyum tipis, lalu ia mengalihkan pandangannya ke depan kala guru datang memasuki kelas.
"Selamat pagi anak anak," sang guru fisika.
"Pagi Pak," all.
Pelajaran pertama pun di mulai. Para murid sebagian ada yang fokus dan ada yang tidak. Lyora yang merasa di perhatikan, ia menolehkan kepalanya ke kanan. Lyora menaikkan satu alisnya kala cowok menatap dirinya.
Arthur yang ketahuan pun mengalihkan pandangannya. Ia merasa gugup kala di lihat oleh Lyora.
"Baiklah anak anak, siapa yang bisa mengerjakan soal di depan, maka nilainya akan bapak tambah dan boleh istirahat lebih dulu," ucap sang guru.
Hening, suasana kelas hening. Tidak ada yang berani maju ke depan untuk mengerjakan soal di depan. Namun saat Arthur hendak bangkit berdiri, Lyora sudah bangkit berdiri dan berjalan menuju papan tulis.
Lyora mengambil spidol tersebut dan mulai mengerjakan soal soal yang ada di papan tulis. Tangan Lyora begitu lihai mengerjakannya seperti tidak ada beban.
Kurang lebih 7 menit, Lyora sudah selesai menyelesaikan tiga soal tersebut. Guru itu pun mulai mengecek jawaban yang di kerjakan Lyora. Seketika guru itu melototkan matanya kalau melihat jawaban Lyora betul semua.
"Beri tepuk tangan buat, Lyra. Jawabannya betul semua," sang sang guru yang bertepuk tangan. Guru tersebut kagum melihat perubahan dari muridnya.
Prok!
Prok!
Riuh tepuk tangan terdengar. Sebagian murid ada yang tidak percaya dengan pagi ini. Lyra yang di kenal tidak pintar pintar amat, bisa menyelesaikan soal fisika di depan tanpa ada membawa buku.
"Baiklah nak Lyra, sesuai janji bapak, kamu bisa istirahat dan nilai kamu akan bapak tambah," ucap sang guru.
Lyora menganggukkan kepalanya, "terimakasih Pak," setelah mengucapkan itu Lyora melangkahkan kakinya meninggalkan kelas.
Sedangkan murid XII MIPA satu masih kaget kala Lyora mengerjakan soal di papan tulis dengan mudah.