/0/13754/coverbig.jpg?v=ae5621d6c3db1a10ce22e531707ef19a)
Alva tidak percaya bertemunya dengan anak sang dosen, membuat kami terikat. Perasaan yang tidak pernah diharapkan dan diinginkan itu datang bergitu saja. Apakah aku harus menerima seorang duda untuk masa depanku?
Alva Klara anak yatim piatu sejak umur enam tahun yang di asuh oleh keluarga teman ayahnya. Nicoland dan Nora orang tua angkat Alva yang memiliki satu putri tidak berbeda jauh umurnya dengan Alva. Mereka kuliah sudah semester tujuh yang sebentar lagi akan disibukkan dengan skripsi.
Kini mereka berdua sedang di taman mengerjakan tugas untuk diberikan kepada dosen. Meskipun mereka berbeda jurusan tetapi mereka sering bersama yang kadang orang lain berpikir mereka saudara kandung.
Disela-sela mereka mengerjakan, ada saja hal yang dibicarakan entah menanyakan yang mereka kerjakan sulit atau hanya mencairkan suasana.
Di meja kotak tak hanya penuh buku, kertas serta laptop. Minuman dan cemilan ikut memenuhi meja. Sampai tangan kecil menghentikan aktivitas kedua wanita dewasa itu dan menatap bocah kecil meminum boba rasa coklat milik Alva yang masih tersisa setengah lagi.
Menatap anak kecil laki-laki yang sudah menghabiskan minumnya. Si kecil yang merasa diperhatikan mendongak dan terseyum manis memperlihatkan pipi chaby.
"Makasih Kak," ucapnya lalu pergi begitu aja tanpa mau menunggu respons kedua wanita yang sedari tadi memerhatikannya.
Keempat bola mata itu menatap bocah yang berlari setelah minum, membuat mereka tertawa melihatnya. Alva geleng-geleng kepala dengan melirik bobanya habis tanpa sisa. Sedangkan Nartalie tidak bisa menahan tawanya.
"Itu anak siapa? Bisa-bisanya dibiarin berkeliran, untung masih sekitar kampus kalau keluar dan terjadi sesuatu gimana?" Pertanyaan itu keluar dari bibir tipis Nartalie.
"Sutt, jangan bicara begitu!" tegur Alva tidak suka.
"Bocah lucu. Kamu liat tadi dia jalan kek susah sama berat badannya sendiri," kata Alva dengan kekehannya.
Nartalie kembali tertawa lepas mengingat itu. Mahasiswa-mahasiswi yang berada di taman menatap ke arah bangku Alva karena tawa Narthalie. Mereka mengatakan maaf lalu kembali menyelesaikan tugasnya.
Tak lama mereka melanjutkan tugas anak kecil itu kembali lagi dengan ponsel yang dipegang. Seperti memberi kode, ia berdiri di dekat kursi yang kosong samping Alva sembari memainkan ponsel.
Alva menghela napas dengan kedua bibir tebal terangkat, "Duduk Cil," suruh Alva dengan suara lembut. Sang empu menatap tidak suka karena di panggil 'Cil.'
"Aku bukan bocil, nama aku Gar," protes anak kecil itu tidak terima. Alva mengangguk tidak mau memperpanjang masalah.
Alva dan Narthalie kembali melanjutkan pekerjaan yang sudah dua kali diganggu oleh orang yang sama dan masih kecil. Sebenernya bukan diganggu tapi karena kehadirannya membuat fokus mereka teralihkan.
Si kecil tidak bisa diam, bermain ponsel dengan suara berisik dari kedua bilah dan suara ponselnya membuat konsentrasi kedua wanita ini menatap jengah.
"Kecilin itu suara ponselnya sama jangan berisik," Narthalie bersuara dengan suara kesal. Menatap anak kecil itu tajam menunjukan raut tidak bersahabat.
Alva menatap anak kecil yang bernama Gar itu dengan mengkerut karena diomel malah asyik sendiri tidak memedulikan Narthalie.
Sahabat Alva semakin geram dengan tingkah bocil satu ini yang entah asal usulnya siapa.
"Anak siapa sih? Nyebelin banget perasaan. Gak tahu apa lagi pusing," gerutu wanita dewasa dengan memasang wajah menahan amarah.
"Heh bocil, pergi mainnya sama yang lain aja sana! Disini kita butuh ketenangan," usir Narthalie tak ingin berbasa-basi lagi.
Tetapi Gar masih diam seakan tidak mendengar ada yang berbicara dengannya. Ia masih memainkan ponsel tanpa mau menuruti permintaan Narthalie.
Puncak amarahnya sudah meledak, Narthalie merampas ponsel dari tangan si kecil mungil dan menyimpan di meja. "Kalau mau di sini jangan berisik!" Narthalie memberikan peringatan yang sudah ke berapa kalinya.
Dengan santai si kecil mengambil ponsel di atas meja dan menambah suara ponsel full. Lalu meledek Narthalie sembari mengelurkan lidah, mengejek.
Nathalie membulatkan kedua matanya tidak terima dan kembali merebut ponsel Gar, kini Gar memengangnya dengan erat membuat Narthalie harus menarik dengan sekuat tenaga. Saat ponsel Gar sudah ditangannya, kini ia tersenyum mengejek.
Gar berdiri mendekati Nathalie dan langsung saja mengingit tangan kecil Narthalie sekuat tenaga sampai wanita itu berteriak kencang. Alva terkejut dengan apa yang dilakukan bocah kecil itu dan tanpa sadar bibirnya tersenyum tipis. Saat teriakan sang sahabat terdengar kembali Alva sadar dari lamunan dan menarik Gar agar terlepas dari mengigit sahabatnya.
"Aku bisa kena rabies ini," gumam Narthalie menatap bekas gigitan anak kecil yang tidak main-main. "Dasar kanibal," serunya menatap Gar dengan berbagai emosi dalam dirinya dengan waktu yang bersamaan.
Alva menarik anak itu agar menghadapnya, ia memegang kedua bahu untuk tidak bergerah. "Lain kali kamu jangan gitu lagi ya! Kalau kamu mau main sama kita bilang dan jangan ganggu orang lain yang sedang belajar, okay?" Kata Alva dengan lembut dan tangan kanan digunakan mengacak rambut yang mirip Oppa-oppa di Korea.
Tanpa sadar Gar menganggukan kepalanyan kecil dan menatap Alva senang juga dalam. Alva tersenyum melihat Gar menyetujui apa yang dirinya bicarakan.
Anak kecil bertubuh gempal menatap Alva dengan raut yang menggemaskan. Alva tidak bisa menahan lagi dan mencubit pipi chaby bocah satu ini yang sudah mengganggu kami dan melukai tangan sahabatnya.
Tiba-tiba Gar memeluk Alva sembari mengumamkan kata 'Bunda' tepat di telinga Alva dengan suara lirih dan menahan tangis. Alva lagi dan lagi membulatkan kedua matanya mendengar samar apa yang diucapkan anak kecil dalam pelukkannya.
Pikirannya lanjut memikirkan kenapa menangis dan mengatakan Bunda sembari menelirik dirinya. Tangisan Gar pecah karena tidak kunjung mendapatkan respons dari wanita dewasa yang dipeluk.
Saat itu Alva kembali sadar ke dunia yang nyata, dirinya dipeluk anak kecil dengan tangisan belum mereda. Diusapnya kepala Gar sayang mencoba memberi ketenangan. Ketika sudah tenang ada sesosok laki-laki dewasa menghampiri kami, kedua wanita dan satu anak kecil yang masih memeluk Alva posesif.
"Gar," panggilnya pelan memastikan dia anak yang sedang dicari.
Sang empu memutar kepala melihat siapa yang memanggilnya lalu kembali memeluk Alva dengan menenggelamkan wajah di dada Alva, nyaman.
"Hey, sini sama Papah." Laki-laki itu medekat mencoba mengambil Gar dari Alva.
"Gak mau, Gar mau sama Bunda." Si kecil menolak dan terus bergerak agar laki-laki itu tidak mengendong dirinya. Alva sedikit kewalahan karena pemberontakan Gar, ia mengucap punggung si kecil agar tenang dan memberitahukan tidak akan di ambil alih oleh laki-laki tersebut.
"Mangkannya Pak, kalau punya anak tuh urus yang bener jangan di suruh keluyuran sendiri. Gimana kalau nih anak keluar kampus dan terjadi hal yang tidak diinginkan?" semprot Narthalie dengan kesal mengingat si kecil mengganggu dan menggigit tangannya.
"Ouh ya, kasih makan anak yang bener juga masih kecil udah mau jadi kanibal." Narthalie kembali bersuara.
"Iya nanti saya beritahukan Bapaknya, maaf dengan semua kenakalan Gar." Laki-laki itu meminta maaf.
Narthalie megkerutkan dahinya, "Anda kan Bapaknya kenapa pake dibilangin ke Bapaknya lagi?"
Saat laki-laki itu akan protes Narthalie tidak mau mendengarkan omong kosong dan menyela, "Saya gak mau denger alasan Anda tidak mau mengakui anak sendiri. Kalau gak mau punya anak ya jangan buat lah!"
Kesialan Ranty tiba saat malam itu bersama Jean. Pria dewasa yang telah merenggut keperawananku namun keinginan putri yang menginginkan sang ayah yang tak lain Jean Monteque pria yang dirinya hindari. Lantas apa yang harus kupilih?
Karena cinta butuh keberanian Avril tidak menyangka kedatangan Jay di kehidupannya membuat dia merasakan jatuh cinta lagi. Perhatian dan kasih sayang yang nyata Jay berikan padanya berhasil meluluhkan hati yang selama ini membeku.
Cerita rumah tangga dan segala konflik yang terjadi yang akhirnya membuat kerumitan hubungan antara suami dan istri
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?