Melihat Giselle sudah berpakaian rapi, Lucian berkata dengan puas, "Ayo kita pergi."
Giselle melirik suaminya, pria itu mengenakan setelan hitam elegan, wajahnya tetap tampan seperti biasanya.
Itulah pria yang dia cintai selama tiga tahun, tetapi pria itu hanya menganggapnya sebagai pasokan darah cadangan yang bisa dibawa ke mana pun.
Gisella menderita anemia dan dia sangat menyadari bahwa dia tidak mampu memberikan darahnya lagi saat ini, akan tetapi Lucian sama sekali tidak peduli.
Hati Giselle terluka, tetapi dia berhasil menjaga suaranya tetap terdengar tenang. "Biasanya, pendonoran darah dibatasi hanya sekali sebulan. Tapi, kamu terus memaksaku untuk lebih sering mendonorkan darah. Baru setengah bulan sejak terakhir kali aku memberikan darahku, apa kamu mengerti tubuhku tidak sanggup menerima beban itu? Lucian, apa kamu ingin aku mati?"
Lucian mendengus sinis, sorot matanya dipenuhi dengan penghinaan yang terlihat jelas. "Apa lagi sekarang?" Bukankah kamu berjanji padaku bahwa selama kita berdua masih menikah, kamu akan mendonorkan darahmu tidak peduli kapan pun aku memintanya? Apa kamu ingin menarik kata-katamu sekarang?"
Genggaman tangan Giselle mengerat, jari-jarinya yang ramping menjadi sedikit pucat.
Ini pertama kalinya dia menolak mengikuti kemauan Lucian, dan itu ditanggapi dengan amarah pria itu. Dia sepenuhnya buta terhadap penderitaan yang Giselle rasakan setiap kali mendonorkan darah!
Dia berharap setidaknya ada sedikit simpati dari pria itu, tetapi apa yang dia terima?
Melihat ketidaksetujuan di wajah Giselle, kesabaran Lucian semakin habis. Dia berkata dengan tajam, "Jangan berpikir aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Jika bukan karena darahmu sangat penting bagi Erin, aku sudah sejak lama menceraikanmu."
Setiap kata yang dia ucapkan terasa seperti pisau yang menancap di hati Giselle.
Di matanya, Giselle tidak lebih dari seorang wanita iri yang enggan membantu seseorang yang nyawanya berada di ambang kematian. Namun, bukankah nyawa Giselle sama pentingnya juga?
"Jika kamu tidak mau pergi, tidak ada gunanya bagi kita untuk mempertahankan pernikahan ini."
Kata-kata yang kejam ini menarik Giselle kembali ke kenyataan. Akhirnya, hari yang tak terhindarkan telah tiba. Senyuman pahit terbentuk di bibirnya.
Memang, tidak ada gunanya. Kenapa dia harus mengorbankan masa depan yang menjanjikan untuk berperan sebagai istri penurut pada seorang pria yang terus menyiksa dirinya baik secara fisik maupun emosional?
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan dokumen dari laci.
Terdapat dua kata besar di bagian atas dokumen itu.
Surat perceraian.
Giselle sudah membubuhkan tanda tangannya pada surat tersebut.
Mata Lucian membelalak, sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata pun, Giselle dengan cuek menyela, "Seperti yang kamu mau, aku menyerahkan semua aset pernikahanku. Selama bertahun-tahun, kesehatanku sudah menjadi harga yang kubayar atas persetujuan kita. Lucian, aku memberikan kebebasan padamu. Mulai saat ini, kita tidak lagi memiliki utang pada satu sama lain."
Satu jam setelah itu, Giselle keluar dari vila tersebut.
Ketika dia mengemas barang-barangnya, Lucian menatapnya sebagai penawaran untuk memberikannya kesempatan lain. Jika saja Giselle setuju memberi transfusi darah lagi untuk Erin, Lucian akan berpura-pura seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Giselle pun tersenyum sinis. Apa Lucian sungguh-sungguh percaya bahwa dia akan terus mengorbankan diri setelah pria itu menginjak-injaknya dengan kejam? Bagaimanapun juga, setelah diperlakukan buruk sejauh ini, menjadi lebih mudah bagi Giselle untuk melepaskan hal-hal yang sebelumnya dianggap penting baginya.
Getaran mendadak dari ponselnya memecahkan lamunan Giselle. Melihat siapa yang meneleponnya, dia ragu sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.
"Ada apa?"
Penelepon itu menghela napas, terdengar tanpa daya. "Bu Maximilian, saya mengerti ini bukan situasi yang ideal untuk mengganggu Anda, tetapi situasinya sudah di luar kendali. Anda harus hadir secara langsung."