/0/16397/coverbig.jpg?v=22532312abb581bb0af87ccc4a8b6038)
Awalnya ia adalah orang yang sangat mencintaiku sepenuh hatinya. Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan demi perubahan semakin kentara terlihat, dan dapat kurasakan. Hingga suatu hari, aku menjumpai suamiku yang katanya pamit untuk memancing ternyata ada di rumah ibuku. Ia sedang bersama dengan adik kandungku. Kejadian itu sudah sangat menggores luka di hatiku. Akan tetapi, Mas Bram telah berjanji untuk tak lagi mengulanginya. Aku ikhlas, dan menganggap kekhilafan suamiku itu karena keteledoranku sebagai seorang istri yang, 'mungkin' tidak bisa menyenangkan hatinya. Beberapa bulan berjalan,hubungan rumah tangga kami berjalan seperti biasanya. Meskipun, terasa hambar, tetapi aku tetap menjalani kewajibanku sebagai istri untuk dirinya, semua kupasrahkan juga karena ada anak yang membutuhkan perhatian kami saat itu. Hingga satu tahun berjalan, ternyata untuk kedua kalinya ia melukaiku dengan cara yang sama. Mas Bram dan adikku masih berhubungan. Semua itu terbongkar saat aku menemukan chat di handphone pribadi milik Mas Bram bersama adikku dengan kata-kata mesra dan terkesan jorok. Sudah dua kali hati terluka dengan luka yang sama. Apakah harus aku bertahan dalam rumah tangga penuh duri ini?
"Dek, aku pamit untuk mancing dulu, ya!"
"Loh ..., kok mancing lagi, Mas?"
"Iya, biar nggak stress, Dek. Seminggu ini sudah kerja, jadi sekarang mau have-fan buat nge-refresh otak biar nggak jemu, Dek."
Selalu itu yang ia ucapkan. Selalu itu alasannya jika aku mulai mendebat langkahnya untuk memancing. Padahal setiap minggunya selama beberapa bulan ini ia selalu pergi memancing disetiap hari liburnya.
"Masalahnya, Karin sudah lama nungguin Mas libur. Dia pengen jalan-jalan sama kamu, Mas. Masa sih Mas nggak bisa buat ngasih waktu Abang buat keluarga, sehari aja!"
Dari minggu ke minggu, Mas Bram hanya memberikan janji palsu untuk anaknya. Padahal Karina hanya meminta waktu sehari untuk bisa bersama papahnya.
"Kenapa sih di bikin ribet, Dek! Urus dong Karinnya! Itu 'kan urusan kamu! Mau kamu kalo aku stress, terus nggak bisa bekerja lagi, dan kalian nggak bisa makan ..., mau?" sergah Mas Bram mulai naik darah.
"Tapi, Mas. Sudah beberapa minggu ini aku sudah membujuk Karin untuk sabar menunggu kamu. Masa sekarang harus suruh sabar lagi? Uang ada Karinnya bakal sedih, Mas." Protesku.
"Bodoamat ...! Aku nggak mau tau. Karena aku sudah janji dan harus aku tepati dengan tamanku."
Tanpa perduli pada janjinya terhadap perasaanku dan anaknya, Mas Bram berlalu pergi dan meninggalkan aku. Hanya demi kata merefresh-kan otak, ia sudah lupa tentang kewajibannya untuk menyenangkan anak dan istrinya.
Tanggung jawab menafkahi, tidak hanya cukup untuk nafkah lahiriah saja yang wajib terpenuhi, tetapi nafkah batin berupa kebahagiaan dan ketenangan untuk keluarga juga wajib dijalankan.
Apa susahnya jika ingin refreshing, ia bisa membawa serta anak dan istrinya, dan sama-sama mencari hiburan di luar sana. Namun, Mas Bram terkesan tak perduli. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri.
Aku hanya bisa menatap nanar pada motor yang dikendarai oleh Mas Bram. Motor yang kini sudah semakin jauh dan menghilang di balik tikungan gang yang ada di komplek ini.
"Mah, Papa pergi lagi, ya?"
Pertanyaan dari so kecil-Karin mengalihkan perhatianku.
"Eh, Sayang. Udah bangun?" Aku merapikan rambut anak gadis kecilku sembari tersenyum karena ia pun ikut tersenyum sembari menganggukkan kepala melihatku.
"Papa pergi lagi, ya, Mah?" Ia mengulangi perbuatannya.
"Iya, Sayang. Maaf ya ... karena Mama belum bisa nepatin janji." balasku.
Aku bisa melihat kekecewaan di wajahnya kala ia menundukkan wajah dengan lesu.
Sebisanya aku membujuk Karin agar kembali ceria dan alhamdulillah, ia bisa dengan cepat mengubah mimik wajahnya untuk kembali tersenyum karena aku menjanjikan untuk membawanya jalan-jalan.
Bukankah Mas Bram mengatakan bahwa aku harus mengurus Karin? Maka dengan senang hati, akan aku urus dia dengan penuh kasih sayang.
Jika peran ia sebagai Ayah tidak bisa di jalankan dengan baik, maka peranku sebagai Ibu harus bisa berjalan dengan sebaik-baiknya.
***
Tepat pukul 09.00 pagi aku dan Karin-putriku sudah siap untuk bepergian karena tadi aku sengaja membujuk dirinya dengan cara menjanjikan ia untuk jalan-jalan ke mall sekadar bermain.
Kami berangkat dengan menggunakan motor matic yang kumiliki. Motor itu sengaja aku minta kepadamu Mas Bram untuk memberikannya, agar mempermudah aku jika ingin mengantar jemput Karin ke sekolah maupun ke tempat ia mengaji.
Begitu sampai di sebuah mall yang berada di pusat Kota Pontianak ini, aku sangat senang karena bisa melihat senyum dan kebahagiaan Karin hari itu.
Karin bermain dengan penuh ceria, sambil sesekali ia juga mengajak untuk aku ikut serta bersama dirinya dalam memainkan beberapa game yang ada di wahana game zone ini.
Saat aku memperhatikan Karin yang begitu bersemangat bermain, tiba-tiba aku mendengar suara notifikasi yang masuk di ponselku.
Gegas aku mengeceknya dan ternyata di layar depan ada sebuah balon notifikasi pesan yang masuk dari Nur tetanggaku yang tinggal di sekitar rumah ibuku.
(Nun, kamu balik ke rumah ibumu, ya, setiap minggu? Soalnya, sudah berapa kali aku lihat ada suami kamu di rumah ibumu. Tapi kok kamu nggak pernah main-main ke sini?)
Deg!
Aku kaget membaca isi pesan yang dikirim oleh Nur. Dan saat kubuka, ternyata pesan itu dikirim Nur sekitar 10 meniti yang lalu. Itu artinya Mas Bram masih di sana.
Nur melihat Mas Bram di rumah ibu? Bahkan saat ini Ibu sedang tidak ada di rumah karena sudah selama dua minggu ini ia berangkat umroh. Lalu ngapain Mas Bram di sana? Tidak mungkin ia ke sana jika tidak berkepentingan.
Setelah membaca pesan dari Nur itu membuat hatiku mulai merasa tidak tenang. Banyak pertanyaan yang bermunculan di dalam benakku. Mulai dari apa, mengapa, dan siapa, semua itu menjadi pertanyaan di hari ini, tentang apa sebenarnya yang Mas Bram cari di sana? Mengapa Mas Bram pergi ke rumah ibu tanpa mengajakku? dan juga, siapa teman yang Mas Bram maksud saat hendak berangkat memancing?
Karena merasa hatiku semakin kalut, akhirnya aku memutuskan untuk membuktikan sendiri, apa benar pesan yang dikirim oleh Nur ini. Sehingga aku memutuskan untuk pergi ke rumah Ibu dan melihat apa yang sedang Mas Bram lakukan di sana.
Jarak dari rumahku ke rumah ibu sekitar 40 menit. Namun, karena saat ini aku berada di mall yang berada pada tepat pertengahan rumah aku dan Ibu, akhirnya aku bisa menempuh perjalanan ke sana hanya dengan 20 menit saja.
Begitu masuk ke dalam gang di mana tempat komplek perumahan yang ibu dan adikku tempati, aku pun mulai memelankan motorku dan berhenti di pinggir jalan tidak jauh dari rumah ibu.
Benar saja, dari kejauhan aku bisa melihat motor Mas Bram sedang terparkir di halaman rumah ibu. Akan tetapi, aku melihat kondisi rumah ibu saat itu sedang tertutup rapat.
"Apa mereka ada di dalam?" gumamku sembari memperhatikan ke arah rumah Ibu.
"Karina! Ayok main!" Suara seorang teman bermain Karina mengalihkan perhatianku beberapa saat.
"Boleh aku ikut main sama Deva, Mah?" tanya Karin.
"Iya, tapi nggak usah jauh-jauh karena mama nggak lama kok," balasku.
Aku bersyukur karena dengan membiarkan Karin bermain bersama teman-temannya maka akan mempermudah aku untuk melihat ke dalam tanpa dicurigai.
Setelah Karin berlari dan bermain bersama teman-temannya, aku pun memulai aksiku.
Aku melangkah mendekati rumah ibu sembari terus memperhatikan kondisi sekitar yang sepertinya memang terlihat begitu sepi, tetapi kenapa motor Mas Bram bisa ada di sini?
Aku membuka pintu rumah ibu dengan kunci cadangan yang pernah Ibu berikan padaku sebelum berangkat umroh beberapa minggu yang lalu. Untuk jaga-jaga takut ada hal-hal yang ia butuhkan di sana dan tertinggal. Maka di simpanlah kunci cadangan itu padaku.
Perlahan aku membuka pintunya, dan masuk ke dalam dengan melepaskan sandal yang saat itu kukenakan. Entahlah, aku pun merasa aneh atas perasaanku sendiri karena perasaan dan dorong diri untuk melihat keadaan rumah Ibu di bagian dalam ini begitu besar.
Hingga aku tiba di depan kamar Yuni-Adikku, tiba-tiba aku mendengar percakapan dua orang yang terdengar sangat tidak asing di kupingku.
"Kamu hebat! Kamu selalu memberikan kepuasan untukku, Sayang."
"Ah ..., Mas Bram bisa aja. Pasti Mbak Ainun juga dibilang hebat kayak aku."
"Pastinya iya, tapi itu dulu. Karena sekarang dia sudah nggak sehebat kamu. Apalagi dia sudah turun mesin. Jadi ya, tau sendiri lah bagaimana kondisinya. Mas juga nggak mau bohongin kamu cuma buat ngegombal. Karena pada kenyataannya memang sekarang ini kamu yang hebat dalam memuaskan aku."
Sreekkk!
Bagai dihiris pisau tajam, kemudian di tusuk-tusuk, lalu di remas-remas. Begitulah kira-kira gambaran kondisi hatiku saat ini.
Sakiiiittt ..., periiiihhhh ....
Seluruh tubuhku tiba-tiba terasa gemetar. Jangankan untuk berteriak, sekedar bernapas saja rasanya begitu sesak. Namun, sekuat tenaga aku berusaha melangkah dan mendekati pintu kamar itu.
"Mau lagi ...," Suara Yuni kembali terdengar seperti sedang merengek meminta sesuatu. Setelah itu kamar itu kembali senyap bagai tao berpenghuni.
"Mmmm ..., ssshhh ..., aahhh ..., enak, Mas!" Racauan dari mulut Yuni semakin membuatku hilang kesabaran, dan dengan sekali dorong, pintu kamar itu langsung berdentum hebat karena memang tidak dikunci.
Braaakk!
Pemandangan menjijikkan terpampang jelas di hadapanku. Yang mana, kedua orang yang seharusnya mendukung dan melindungi rumah tanggaku justru berbuat asusila di rumah kediaman ibuku.
Saat mendengar suara pintu yang terbuka, sontak saja kedua orang itu langsung mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Mbak Ainun!"
"Ainun!"
Tak ada kata yang bisa kuucapkan selain terpaku menatap penuh benci kepada kedua orang yang ada di hadapanmu saat ini.
Mas Bram dengan cepat mengenakan pakaiannya secara asal, sedangkan Yuli hanya tertunduk entah karena malu atau takut terhadap diriku.
"Yu-Yuli, ke-kenapa ...."
"Karena aku ingin melihat ikan seperti apa yang sedang kamu pancing, Mas!" sergahku memotong ucapan Mas Bram.
"I-i-ini ... ti-tidak ...."
"Yaa ..., tidak seperti memancing pada umumnya. Iya kan? Bahkan umpanmu sangat jauh berbeda, mengalahkan pemancing-pemancing lainnya. Dimana mereka memancing dengan umpan cacing dan sejenisnya, tetapi kamu ..., memancing dengan umpan len**rmu, Mas!"
"Mbak ..., aku bisa jelasin!" Yuli masih berkilah setelah apa yang aku temukan.
"Coba jelaskan! Aku mau dengar!" Sengaja mengikuti alur yang ia ciptakan, dan menunggu apa yang akan ia ceritakan, tetapi hingga beberapa menit Yuni tak kunjung berbicara lagi.
"Jelaskan, Yun! Aku tidak punya kekuatan telepati yang bisa memahami bahasa batinmu!" Sindirku.
Yuni tak menjawab, tetapi ia hanya menoleh ke arah Mas Bram.
Ya Tuhan, haruskah aku berbuat kejam terhadap adik kandungku? Ingin rasanya aku mempermalukan dirinya di hadapan orang ramai, tetapi tetap saja peranku sebagai seorang kakak seolah menahan keinginan yang muncul di hati.
Bagaimana dengan Ibu jika ia tahu masalah ini. Bahkan aku berfikir, jika aku mengungkap kebenaran ini di muka publik maka nama baik keluargaku akan tercoreng.
Ibu masih di Mekkah dan jika hal ini terungkap maka akan membuat nama baiknya ikut tercoreng.
"Astaghfirullahalazim ..., astaghfirullahalazim ..., astaghfirullahalazim ...!" Berkali-kali aku selalu beristighfar. Mencoba menahan luapan emosi yang siap meledak jika saja tak ada beban pikiran yang sedang kupikirkan saat ini.
"Allah ... Allah ... Allah ....!" Hingga akhirnya aku berusaha menguatkan diriku sendiri dan mundur perlahan menuju sofa yang tak jauh dari kamar itu.
Ternyata pamitnya suamiku untuk memancing bersama temannya, adalah memancing dengan umpan yang berbeda dan itu pun dilakukan di dalam kamar adikku. Bahkan karena ketagihan memancing itu ia sampai melupakan kewajiban untuk membahagiakan anak dan istrinya di rumah.
Vania Clarista harus rela menukar jalan kehidupannya yang awalnya penuh kasih sayang dan harta dengan jalan yang saling bertolak belakang. Karena kekagumannya pada seorang laki-laki yang bergelar Playboy di sekolahnya telah membutakan mata hatinya. Karena kekaguman itu, ia pun dengan suka cita merelakan dirinya pada Edgar Emiliano. Bahkan dari kejadian itu Vania harus menanggung akibatnya sendiri. Vania hamil, tetapi tak mau mengecewakan keluarga yang sudah sangat menyayangi dirinya. Hingga akhirnya, ia pun memutuskan untuk pergi dan memulai kehidupannya sendiri. Akankah Vania bertemu kembali dengan Edgar dan akan bersatu demi benih yang tertinggal di rahimnya enam tahun lalu? Ataukah Vania akan terus berjuang sendiri demi masa depannya dan anaknya?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Kisah Daddy Dominic, putri angkatnya, Bee, dan seorang dosen tampan bernama Nathan. XXX DEWASA 1821
Lenny adalah orang terkaya di ibu kota. Ia memiliki seorang istri, tetapi pernikahan mereka tanpa cinta. Suatu malam, ia secara tidak sengaja melakukan cinta satu malam dengan seorang wanita asing, jadi ia memutuskan untuk menceraikan istrinya dan mencari wanita yang ditidurinya. Dia bersumpah untuk menikahinya. Berbulan-bulan setelah perceraian, dia menemukan bahwa mantan istrinya sedang hamil tujuh bulan. Apakah mantan istrinya pernah berselingkuh sebelumnya?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.